Karya: Nurul Fajrianti Kelas: XII MIPA 4
SMA Negeri 6 Kota Serang 2019-2020
Febby Thalita dan Dimas Adiputra adalah
teman dekat bahkan sangat dekat meski jarang
bertatap muka. Aku dan Dimas sudah lulus dari SMA dan kini sudah saatnya
aku dan dia akan melanjutkan ke Universitas yang masing-masing kita inginkan
meski akan semakin jarang bertemu.
Lampu
kaca menemani senja. Aku mencoba agar tersenyum dan selalu tersenyum. Aku
dengan jaket membalut tubuhku dan kamu dengan sebuah tiket pesawat yang kini
kamu genggam untuk membawamu pergi meninggalkanku.
Banyak
orang mengira hubungan apa yang ada di antara kami berdua. Aku hanya bisa
tersenyum untuk menanggapinya. Mereka mengira kita sepasang kekasih yang sedang
dimabuk asmara. Nyatanya kita hanya sebatas teman dekat yang jarang bertemu.
Aneh memang, karena mungkin mereka merasakan aura istimewa saat kita sedang
bersama. Mereka melihat hal semu yang terlalu tabu untuk dirasakan kita berdua
yang hanya sebatas teman.
“Alhamdulillah, akhirnya aku bisa mewujudkan
keinginanku untuk berkuliah di negeri orang.” Katamu dengan mata
penuh binar kebahagiaan yang sangat terlihat jelas dari kedua matamu. “Kapan berangkat?” Tanyaku
untuk mencoba bersemangat membahas topik perpisahan kami. “Besok Feb”. Aku terkejut mendengar jawabanmu. Kalimat itu
bagaikan talak yang terasa sangat menyakitkan untuk didengar sekaligus
dirasakan. Aku menarik napas dengan berat, berharap dengan cara itu perasaan
sedihku akan tersimpan rapat. Aku enggan menunjukkan kesedihanku malam ini,
karena jika itu terjadi malam kebahagiaan kita akan rusak dan bercacat. Aku
tidak tahu harus berbicara apa denganmu. Bibirku seakan terkunci rapat sehingga
membuatku tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Aku memalingkan tatapanku,
mencoba mencari objek yang mampu aku tatap agar tidak bertatap muka denganmu.
Hening,
diam. Dua kata itu mampu mewakili suasana seperti apa yang terjadi di antara kami
berdua. Kutatap sebuah kafe, tampaknya kafe itu menunjukkan keheningan sama
seperti yang terjadi di antara kami saat ini. “Feb?”
Suara beratmu memecah keheningan. aku masih enggan untuk langsung menatap
natanya. “Ada apa?”
Namun saat pertanyaan itu kamuunculkan begitu saja, aku gagal dalam
mempertahankan keinginanku untuk tidak menatap pupil cokelat itu “Emangnya aku kenapa? Cantik ya?”
Aku melihat dia menggelengkan kepalanya dan tertawa seolah kata-kataku itu
mengundang lawakan. “Kamu beda”. Aku kembali menatap mata itu, mata
yang selalu mampu membuatku tersenyum jika melihat ada kebahagiaan di sana. Aku
terdiam di tempat, seakan bibirku kembali terkunci, aku hanya bisa menatap
matanya lagi. Aku melihat dia menaikkan sebelah alisnya menungguku agar menyelesaikan
ucapanku. Namun bibir tak mengucapkan satu kata pun
“Udah
deh Feb, Jangan main drama gini. Gak lucu!”
Aku bisa mendengar Dimas meninggikan suaranya kesal karena tingkahku saat ini, yang
hanya bisa menunduk tidak berani menatap Dimas yang ada di hadapanku. Dimas
menepuk pundakku, ia mengucapkan dua kata yang membuat hatiku sakit. “Kamu
lebay”. Aku membranikan diri untuk menatap Dimas yang ada di
hadapanku . Aku melihat Dimas yang menatapku dalam-diam. Aku tersenyum dan
Dimas pun tersenyum sebelum aku mengatakan. “Aku suka sama kamu sebagai seorang perempuan pada umumnya bukan sekedar
suka sebatas teman”. Aku malihat ia tertawa, namun bukan tawa
bahagia hanya tawa yang menganggap seolah perkataanku barusan itu hanya lelucon
semata.
Aku melihat Dimas yang sudah menghentikan
tawanya berganti dengan Dimas yang kini menatap ke dalam mataku. “Jangan bercanda Feb! Selama ini aku suka, sayang sama kamu
sebagai sahabat perempuan satu-satunya yang aku punya gak lebih Febby”. Jawaban
itu membuatku tertawa. Tepatnya mentertawakan kebodohan sendiri yang menyukai
sahabat lelakinya. “Hahahah,
Iyah Dimas aku tahu. Besok kamu berangkat kan? Hati-hati ya Dim. Maaf
aku gak bisa ikut anter kamu ke bandara”. Aku bisa melihat ada
kekecewaan di dalam matanya. “Dimas
ini udah malam. Aku duluan ya. Daah Dimas”. Aku membalikkan
badan dan menyeka tetes air mata yang saat kini sudah saling mendahului untuk
berjatuhan di pipiku.
Aku
berlari untuk menghindari Dimas. Tepatnya untuk menjauh dari Dimas demi menutup
rasa maluku yang sudah ditolak secara tidak langsung. Tanpa ingin melihat
kondisi sekitar, aku menyebrang jalan, hingga di pertengahan jalan aku bisa
mendengar seseorang yang meneriaki namaku dengan sangat kencang menyuruhku
segera minggir.
“Febby….. Awas…….!!!”
Namun itu semua terlambat, aku merasa
tubuku melayang hingga terbentur ke sebuah benda yang begitu keras. Apakah ini
menjadi hari terakhirku? Pertemuan terakhirku dengannya? Jika jawabannya ya,
aku menyadari satu hal. Mungkin semua ini adalah tanda bahwa aku dan Dimas
hanya ditakdirkan sebagai teman selamanya ditemani perasaan yang berwarna
abu-abu tidak berubah sedikit pun atau lebih buruknya lagi akan menjadi warna
abu-abu selamanya.
Demikian
cerita ini dipublikasikan, semoga bermanfaat, dan jika berkenan mohon
tinggalkan komentar.
Terima
kasih.
As stated by Stanford Medical, It's in fact the ONLY reason women in this country live 10 years more and weigh on average 42 pounds lighter than us.
BalasHapus(And actually, it has NOTHING to do with genetics or some secret-exercise and EVERYTHING related to "how" they are eating.)
BTW, I said "HOW", not "what"...
Click on this link to see if this brief quiz can help you unlock your true weight loss potential