Karya Fajriani Utami kelas XI
MIPA 3
SMA Negeri
6 Kota SERANG 2019/2020
Remaja laki-laki dengan ransel neon di punggungnya itu, memaksimalkan kecepatan berlarinya, saat
melihat gerbang sekolah nyaris terkunci. Ia memberi isyarat kepada Pak Udin
satpam sekolah agar menunggunya sebentar.
Namun, sial. Pak Udin malah mengacuhkannya.
“Pak, tolong bukain, Pak! Hari ini saya ada ulangan
fisika.” Pinta remaja itu dengan nafas yang masih tersenggal-senggal. Tangannya
bergelayutan di gerbang besar itu. “Saya sudah bosan lihat kamu ngemis-ngemis kaya gitu.
Untuk sekarang, saya gak akan bukain
gerbangnya!” Sentak
Pak Udin sambil kemudian meninggalkan, dengan bersikap
masa bodo.
Remaja yang sedang tak
beruntung itu bernama Alfan si tukang bully.
Eh tidak, ‘si tukang bully’ itu
julukannya. Mungkin tanpa dijelaskan juga, kalian sudah mengerti maksud dari
julukannya tersebut. Terlahir dari keluarga broken
home, membuat separuh kebahagiaannya hilang. Oleh karenanya, Ia memilih
untuk mencari kesenangan tersendiri. Alfan pernah ingin berhenti melakukan
kesenangannya itu, karena muak dengan rasa bersalah yang terus-menerus
menghantuinya. Namun, ia berpikir, perubahannya tetap takkan mengubah kedua orang tuanya.
Alfan gamang, antara harus memanjat gerbang atau kabur.
Walau punya keahlian mem-bully, tapi soal panjat-memanjat, ia kalah dengan anak kecil,
yang demen nyolong mangga tetangga. Setelah cukup lama nyender
di gerbang sekolah (sampai dilirik orang-orang yang berlalu lalang), Alfan pun bangkit dari duduknya, dan bergegas kembali
ke parkiran motor. Ia melepas seragam putihnya, menyisakan kaos merah gelap
yang terlihat kusut. Seragamnya itu dimasukkan ke tas. Kemudian, Alfan
menyalakan mesin motornya, dan mulai melaju menembus keramaian jalan raya.
Motor yang dikendarainya
itu, sampai pada sebuah lapangan basket megah, namun tak berpenghuni. Sepi nan
hening. Sudah hampir dua bulan, ia mendatangi lapangan basket ini. Sepulang
sekolah, ia memilih ke sini, daripada ke rumah. Baginya, tempat ini merupakan
tempat terbaik untuk berpulang. Alfan mengambil bola basket di salah satu sudut lapangan,
dan mulai memantul-mantulkan kesana-kemari. Ia bermain sangat mahir, walaupun
tak pernah mempelajari dengan tekun.
Pletak……… Sebuah kaleng minuman cincau mendarat tepat di
punggungnya yang basah karena keringat itu. Alfan meringis kesakitan. Bola
basket di tangannya terlepas dengan sendirinya. Kemudian, menengoklah ia ke
belakang. Telah berdiri lima orang remaja dengan tatapan sengit dan senyum miring.
Salah satu dari mereka yang berdiri di tengah, merupakan seorang perempuan.
Mereka berseragam putih abu-abu, dan mulutnya mengunyah permen karet.
Sepertinya, mereka bolos sekolah. “Lo Alfan kan?” Tanya gadis berparas lumayan itu, memulai percakapan. “Siapa
lo? Kok lo tau nama gua?” Alfan bingung bukan main. Bagaimana bisa, lima anak
SMA yang baru ia temui itu, mengetahui namanya.
“Mending lo pergi dari sini. Sebelum kita tendang.” Sahut
salah satu dari mereka. “Gak akan!” Alfan bersikeras untuk tetap tinggal.
Kelima remaja itu kembali tersenyum, namun kali ini,
senyumnya Tampak
hambar. Beberapa saat kemudian, mereka melangkah maju mendekati
Alfan, yang terlihat mulai cemas. Remaja berbadan kekar dan berkumis tebal
salah satu dari mereka, menyergap bola basket milik
Alfan, dan kemudian mulai bermain. “Woy, balikin
bola basket gua!” Tukas Alfan berani. Laki-laki itu tak memedulikan celoteh Alfan yang mulai
berontak. Empat remaja yang tersisa, berdiri melingkar di sekitar Alfan. Bola
basket milik Alfan kemudian di lempar kesana-kemari, dan di oper ke satu sama
lain. Gelak tawa menggelegar di setiap sudut lapangan ini.
“Balikin woy!” Alfan berusaha keras untuk merebutnya,
namun karena tinggi badannya yang tak mendukung, ia gagal terus.
SelAng beberapa saat, Alfan diam. Kepalanya pening. Keringatnya tumpah. Ia
menunduk dan mengibas-ngibaskan kaosnya. Lelah, dan pening rasanya campur aduk. Beginikah
rasanya pembully-an itu?
Batinnya. Tiba-tiba, bug…
Bola basket itu menghantam keras telinganya. Telinganya
berdenging, seakan mati seluruh saraf telinganya. Ia sudah tak berdaya, dan
akhirnya jatuh pingsan.
Alfan mengerjapkan matanya pelan-pelan, mencoba mengatur ulang penglihatannya. Kepalanya masih
pening, namun telinganya sudah membaik. Perlahan, ia bangkit.
Ia duduk lesuh sambil menatap setiap sudut lapangan
basket ini bergantian. Di ujung kakinya, ia menemukan secarik kertas. Ia pun
segera menggapainya. Rasakanlah rasanya. Karma itu
ada. Semua yang lo lakuin, akan kembali untuk lo.
“Kakak tersayang Jack? Jack si Culun itu?” Gumamnya. Memori ingatannya membuka, munculkan sosok Jack di sana.
Ingatannya tentang Jack terputar otomatis.
Waktu
itu hari Senin, tepatnya lima menit sebelum upacara dimulai. Alfan kewalahan
mencari topinya. Kelas sepi, hanya tersisa Alfan dan Jack di ujung sana. Dengan
nekat, Alfan merebut paksa topi milik Jack yang sedang Jack genggam. Jack
menahannya, namun badannya di dorong oleh Alfan. Dan Jack pun
terjatuh. Setelah berhasil mendapatkan topi tersebut, Alfan bergegas turun ke
lapangan, sementara Jack kesakitan memegangi dadanya.
Selesai
upacara, Jack di hukum karena tak mengikuti upacara. Anak OSIS yang
memergokinya, mengira bahwa ia membolos upacara, padahal ia kesakitan di dalam
kelas. Jack tak bisa melawan, karena ia berhadapan dengan kakak kelasnya.
Akhirnya, Jack hanya menuruti perintah hukuman itu, yaitu lari sepuluh kali memutari
lapangan. Jack berlari sambil meringis kesakitan, dadanya terus ia pegangi. Dan
akhirnya, ia jatuh pingsan. Ternyata, Jack memiliki penyakit jantung.
Air mata Alfan menetes. Semakin banyak, semakin deras. Ia
tak kuasa mengingat kembali memori itu. Terlalu menyakitkan.
“Bodoh, bodoh, bodoh!” jeritnya sambil memukul-mukul
kepalanya. Ia amat sangat merasa bersalah kepada Jack. Ingin rasanya menangis
dan memohon ampun di hadapan Jack, namun apa daya. Jack sudah pindah sekolah
sejak tiga minggu lalu.
Sudah satu jam berlalu,
Alfan masih pada posisi yang sama, meringkuk memeluk kedua kakinya yang
sejajar. Namun, dengan jumlah air mata jatuh yang lebih melimpah. Ia bingung
harus berbuat apa, karena tetap takkan mengubah keadaan. Akhirnya, ia hanya bisa meratapi rasa
bersalahnya itu. Namun sebenarnya, ada tanda tanya besar yang muncul di hatinya sejak tadi,
Jika salah satu dari mereka benar Kakak si Jack, bagaimana bisa mereka
mengetahui aku secara jelas? Bahkan, mereka tahu kalau aku di sini….
Demikian
cerita ini dipublikasikan, semoga bermanfaat. Terima kasih atas apresiasinya,
dan jika berkenan mohpon tinggalkaan komentar.
Your Affiliate Profit Machine is ready -
BalasHapusAnd making money with it is as simple as 1, 2, 3!
This is how it works...
STEP 1. Input into the system what affiliate products the system will promote
STEP 2. Add some PUSH BUTTON traffic (it ONLY takes 2 minutes)
STEP 3. See how the system explode your list and up-sell your affiliate products for you!
Are you ready to start making money???
Click here to start running the system