Sisa Cerita di Bangku SMA
Karya: Aosin Suwadi
Hampir satu tahun aku lulus dari SMA, dan betapa banyak kutinggalkan kenangan di sana. Selama itu pula hari demi hari kulalui dalam ketidakpastian. Pagi, siang sore sampai malam kujalani aktivitasku dengan hati yang gundah. Dalam kondisi seperti ini pikiranku tidak pernah stabil. Kegiatan apa pun yang kulakukan tidak pernah ada kenyamanan. Manis dan pahitnya kenangan selama tiga tahun di SMA, masih ada yang tersisa. Kini aku merasa bagai sedang tersesat di persimpangan jalan. Belum terpikirkan sama sekali jalan mana yang harus kupilih. Lurus, ke kiri, atau ke kanan, atau diam di tempat.
Entah keputusan apa yang harus kuambil, yang pasti seseorang telah mengisi dan menggores kenangan di lubuk hatiku. Aku tidak dapat mencurahkan perasaanku ini kepada sembarang orang, termasuk kepada mamahku. Untunglah ada Erlin yang bisa memahami isi hatiku. Kepadanyalah aku biasa curhat tentang isi hati dan perasaan. Itulah salah satu kelebihan sahabat dibandingkan dengan teman biasa. Dalam suasana pikiran kacau seperti ini aku butuh orang lain untuk mendengarkan suara hatiku. Pasalnya aku menduga Riki ada main dengan cewe lain. Kerena berkali-kali aku menangkap pembicaraan mereka melalui in box di HP Riki. Kalau pembicaraan Riki dengan Nabila sekedar kalimat biasa, bagiku tidak jadi masalah. Akan tetapi kali ini kalimat-kalimat dialog yang ditulis oleh Riki dan Nabila, menjurus dan berbau kencan. Hal ini pernah kutanyakan langsung kepada Riki dan Nabila pada waktu yang berbeda, dan keduanya tidak merasa kalau di antara mereka ada hubungan cinta. Tapi hati ini tetap ragu, dan sakit. Sepertinya ada dusta di antara mereka.
“Menurutku sih, jalani aja dulu, sambil berusaha mencari informasi yang sebenarnya!” Erlin memberi pandangan untuk menenangkan hatiku. “Tapi hatiku sakit Lin!” Aku tidak puas dengan jawaban Erlin. “Sebenarnya kamu tuh masih sayang engga sih sama dia?” Erlin ingin meyakinkan perasaanku pada Riki. “Iya sih... tapi aku bingung, dia tuh selalu begitu.” Jawabku. “Begitu, gimana maksudnya?” Tanya Erlin pura-pura tidak tahu. “Ya begitu, kadang kadang sayang sama aku, kadang-kadang menyakitkan!” Jawabku sambil mengusap dada. “Sebaliknya bagaimana dengan Riki masih sayang enggak sama kamu?” Tanya Erlin lebih tandas lagi. “Justru aku ke sini mau minta bantuan kamu, kira-kira dia masih sayang engga yah?” Begitu lama aku curhat kepada Erlin sambil tiduran di kamarnya. Sampai akhirnya waktu memisahkan kami.
Sesampainya di rumah, kurebahkan tubuhku diatas kasur, dengan harapan bisa langsung tidur dan melupakan semua kemelut dalam hatiku, namun yang terjadi malah sebaliknya. Sampai lewat jam satu malam aku enggak bisa tidur, karena sibuk berdiskusi sendiri melanjutkan curhat dengan Erlin. Pikiranku sedikit tenang ketika aku ingat seseorang yang biasa kujadikan tempat curhat juga. Beliau adalah orang tua yang menurutku bijaksana dan bisa memahami perasaan anak muda. Entah mengapa kepada bapak yang satu ini aku berani mengungkapkan perasaan dan isi hatiku. Entah sampai jam berapa aku menghayal dan membayangkan obrolan dengan bapak itu, seakan-akan beliau ada di hadapanku.
“La... Milaaaa..., bangun, dah setengah enam!” Sayup-sayup mamahku memanggil. Aku tak sanggup mengangkat badanku, karena energiku terkuras habis untuk memikirkan kemelut cintaku dengan Riki. Tiba-tiba tubuhku terasa ditiup angin dingin. Perlaha-lahan kubuka mata, sekilas dari balik selimut kulihat pintu kamarku telah terkuak lebar. Ternyata mamah telah membuka pintu kamarku, untuk memberitahu bahwa hari sudah siang. “Jangan begitu La, masa anak perawan bangunnya siang!” Aku menggeliat, dan terpaksa aku bangun, padahal mataku masih lengket. “Kenapa kamu, sakit?” Mamah memandangku dengan raut muka tanda tanya. “Ga tahu mah, badan Mila terasa agak lemes!” Jawabku singkat. “Kalau sakit, periksa ke dokter!” Mamahku khawtir. “Ga usah mah, Mila ga apa-apa, Cuma lemes aja!”
“Bapak lagi sibuk yah?” Tanpa sepengetahuan pak Hadimi aku duduk di sampingnya. “Eeeh Mila..., tumben nih!” Pak Hadimi seakan tidak tahu apa maksudku, agar orang-orang di sekeliling kami tidak mengetahui apa yang akan kami bicarakan. “Iya Pak, kangen nih sama bapak!” Kujawab pertanyaan pak Hadimi dengan pura-pura juga. Padahal yang sebenarnya aku telah berjanji dengan Pak Hadimi untuk ketemuan di kantin itu. Permintaanku untuk bertemu dengan pak Hadimi kusampaikan melalui in box di FB.
“Terus gimana nih” Tanya Pak Hadimi dengan suara lemah. “Iya pak Mila bingung!” Suaraku mulai lirih, seperti ada yang menghalangi saluran pernafasanku. “Kalau menurut bapak ga usah bingung, pastikan aja dulu bagaimana yang sebenarnya, siapa tahu di antara mereka memang ga ada apa-apa. Berbaik sangka aja dulu!” Saran Pak Hadimi. “Kayanya udahan aja lah!” Suaraku hampir tidak terdengar karena menahan rasa sakit dan sesak dalam dada. “Jangan begitu, Mila harus kuat. Bapak selalu ada di belakang Mila.” Aku tak sanggup mengeluarkan kata-kata lagi, dan yang keluar malah isak tangisku. Aku telah hanyut ke dalam perasaanku, sampai tidak menghiraukan masih ada dua orang ibu kantin yang belum pulang. Tapi aku yakin dia tidak akan menyangka yang bukan-bukan terhadap obrolan kami.
Lama sekali pak Hadimi memberi saran dan nasehat kepadaku, sementara aku haya mendengarkan sambil tetap terisak-isak. “Orang lain juga sama punya masalah seperti Mila, bahkan ada yang lebih parah dari Mila". Pak Hadimi memberikan perbandingan. “Kalau siswa di sini ada engga yang bermasalah seperti Mila?” Aku mulai mengeluarkan kata-kata, setelah saluran pernafasanku agak longgar. “Ada !” Jawab pak Hadimi singkat. “Siapa pak?” Tanyaku penasaran. “Teman Mila juga!” Jawab pak Hadimi. “Gimana ceritanya, terus curhat juga ke bapak. Bapak suka ngasih saran juga?” Tanyaku semakin penasaran. “Tentu saja harus bapak layani, karena semuanya anak bapak, sama seprti Mila.” Jawab pak Hadimi. “Iya pak, tapi siapa itu, kasih tahu dong pak....!” Saya mengharap. “ Nanti akan bapak ceritakan. "Enggaaak... Mila mau sekarang!" Pintaku dengan nada manja. "Sabar dulu!" Natikan lanjutan "Sisa Cerita di Bangku SMA" di seri kedua.
Bagussss
BalasHapus