Cairan Rindu yang Tertumpah
seri kedua
Karya: Aosin Suwadi
Sebelum Anda mulai membaca saya ingatkan, bahwa cerita ini merupakan lanjutan dari cerita ‘’Cairan Rindu yang Tertumpah” bagian kesatu.
“Ini foto teman mamah, dan yang ini foto teman papah!” Kata Sutinah kepada anak kesayangannya yang baru berusia dua tahun. “Nyangi...nipappppp... pah!” Kata Neli sambil menunjuk foto Paimin. Tiga tahun yang lalu sebelum berangkat ke Korea Paimin dan Sutinah mengajukan permohonan kepada orang tuanya, agar merka dinikahkan. Kebetulan orang tua Paimin dan orang tua Sutinah menyetujuinya. Maka dengan upacara yang sangat sederhana, mereka dinikahkan. Selang satu minggu Paimin berangkat ke Korea. Dan selama tiga tahun Paimin tidak pernah bertemu dengan istrinya. Paimin hanya bisa berkomunikasi dengan istrinya lewat telpon dan SMS.
Kini Sutinah dan anaknya tinggal di sebuah rumah yang lumayan bagus. Rumah tersebut dibangun dengan menggunakan biaya dari tabungan Sutinah. Gaji Paimin selama 3 tahun ditambah dengan bantuan dari mertuanya, semua digunakan untuk membangun rumah. Akan tetapi Kerinduan Sutinah kepada suaminya tidak terobati dengan memiliki rumah. Lebih dari itu, di tempat kerjanya dia sudah merasa kurang nyaman, karena Sardi sering menggodanya. Sebenarnya Sardi telah lebih dahulu menyatakan cinta kepada Sutinah, tapi entah apa alasannya Sutinah tidak mau menerimanya. Padahal dilihat dari fostur dan wajahnya Sardi jauh lebih tampan dari pada Paimin. Dilihat dari kekayaan, Sardi anak orang kaya. Yaaa, itulah namanya cinta. Sisa waktu dua tahun lagi kontrak kerja di Korea, gaji paimin akan ditabung semua untuk membeli mobil.
Jika Sutinah tidak kuat menahan rindu kepada suaminya, dia berusaha menutupinya dengan membuka-buka album foto pernikahannya dengan Paimin, sambil memperlihatkannya kepada Neli. Sisa waktu dua tahun bagi Sutinah dirasakan sangat lama sekali. Berbeda dengan Sardi, waktu dua tahun dirasakannya seperti dua minggu. Semakin sering Sardi menggodanya, Sutinah semakin merasa tidak nyaman. Bahkan sekarang Sardi memasang strategi baru, yaitu berusaha mendekatkan dirinya dengan Neli. Sardi sering memberikan hadiah apa saja yang disenangi oleh Neli. Sebenarnya Sutinah melarang keras Sardi memberikan apa pun kepada Neli, tapi Sardi selalu memberikannya tanpa sepengatahuan Sutinah. Pernah satu kali Sutinah membuang hadiah boneka pemberian Sardi, tapi kemudian diambil lagi karena Neli tidak henti-hentinya menangis. Ya... namanya anak kecil.
Strategi Sardi mendekatkan diri dengan Neli berhasil, bahkan sedikit demi sedikit Neli mulai mau memanggil Sardi dengan panggilan papah. Melihat kedekatan Sardi dengan Neli, Sutinah semakin merasa tidak nyaman. Hampir setiap hari dia bertengkar di darat dan di udara. Sebaliknya Sardi justru merasa semakin nyaman. “Kamu ini tidak tahu diri yah! Semakin diperingatkan malah semakin menjadi-jadi!” Sutinah marah kepada Sardi ketika Sardi terus menerus menggoda dan merayu di ruang kerjanya. Selama ini Sutinah tidak pernah marah kepada siapa pun. Akan tetapi menerima perlakuan yang keterlaluan dari Sardi, Sutinah bisa marah juga. “Kamu tuh yang seharusnya menyadari, pernahkah kamu menyadari betapa tersiksanya perasaanku ditolak olehmu?” Sardi balik bertanya. Ditanya begitu, Sutinah tidak merespon.
“Wa’alaikum salaaam! Gimana kabarnya Mas?” Sutinah menerima telpon dari Paimin dengan nada gugup sebagai campuran rasa gembira dan rindu yang hampir tertumpah. “ Gimana kabar Neli” Tanya Paimin singkat karena dia menelpon hanya memanfaatkan waktu istirahat kerja yang hanya lima belas menit. “Inah sayang!!” Paimin mengekspresikan rasa rindunya dengan kata sayang. “Ya Mas Inah baik-baik aja Mas!” Suara Sutinah hampir tidak terdengar, karena nafasnya terhalang oleh kesedihan. Inah yang sabar yah! Mudah-mudahan tiga bulan lagi Mas bisa pulang!” Paimin menyampaikan kabar gembira untuk Sutinah. “Yang bener Mas? Sutinah penasaran. “Iya Mas, Inah akan selalu bersabar menunggu Mas, apa lagi kalau hanya tiga bulan, Insya Allah Inah kuat Mas!” Karena waktu istirahat Paimin tinggal tiga menit, Paimin menutup telonnya setelah mengingatkan untuk hati-hati terhadap sikap Sardi. Wa’alaikum salaaam! Daaaaaaah!
“Yang rapi Mang!” Sutinah mengontrol Mang Supri yang sedang mengecat rumahnya, maklum satu minggu lagi suaminya akan datang. “Iya Neng tenang ajah, pokoknya beres!” Minggu itu Sutinah sibuk merapihkan seluruh bagian rumahnya, mulai dari bagian luar sampai dengan kamartidurnya. Terrrrr, terrrrr HP Sutinah bergetar. Sutinah sudah menduga bahwa suaminya yang menelpon. Tapi dugaannya ternyata salah. “Sutinah menutup telpon, dengan wajah yang agak cemberut. “Kenapa Neng, ko telponnya ga diangkat!” Tanya mang Supri. “Si cunihin mang!” Jawab Sutinah singkat. “Oooooh!” Terrrrrr, terrrrrr, terrrrrrr, terrrrrrr HP Sutinah bergetar berkali-kali, tapi tidak diangkat juga. “Maaf Kang Maaaaas, Ina kira si cunihin yang menelpon!” Sutinah menyesal karena tidak cepat-cepat mengangkat HP-nya. “Ya, udah ga apa-apa, Mas Cuma mau memastikan aja, apa semuanya baik-baik aja? Oh, iya Nah, Mas udah dapat tiket, untuk terbang besok.” Paimin menyampaikan kabar gembira kepada istrinya. “Alhamdulillaaaaaaah, syukurlah Mas! Sutinah meluapkan kegembiraan dengan ucapan syukur.
Pada hari yang kedatangan Paimin yang telah diinformasikan sebelumnya, Sutinah bersama ayah, ibu dan adik-adiknya semua siap menunggu kedatangan Paimin. Bahkan beberapa teman setia Paimin ada yang tidak masuk kerja, hanya demi untuk menyambut kedatangan Paimin. Yang pasti semua sahabat, teman, dan simpatisan Paimin semua ikut senang mendengar kabar tentang kepulangan Paimin, kecuali Sardi. Di tempat kerjanya sardi hanya marah-marah kepada anak buahnya. “Ada yang galau ni yeeeeh” Darma nyeletuk sambil mengelem bagian bawah sepatu.
Kurang lebih Jam 15.15 mobil taxi warna biru muda yang ditumpangi Paimin, berhendi dan parkir di depan ruma Sutinah, Semua keluarga, sahabat dan teman-teman, serta simpatisan Paimin menyambutnya di halaman rumah Sutinah. Sambil menggendong Neli, Sutinah menangis sambil merangkul suaminya, sebagai ekspresi dan luapan kegembiraannya yang telah ditahan selama lima tahun. Kurang lebih setengah jam berselang, datanglah sebuah mobil mini bus warna silver, berhenti dan parkir di depan rumah Sutinah. Ternyata cita-cita Paimin membeli mobil, tercapai juga. Sutinah, orang tua dan anak-anaknya yang lain sangat senang melihat keberhasilan Paimin.
Waktu telah menunjukan pukul 09.30 malam. Paimin kelihata sudah lelah, sementara Sutinah sudah sejak tadi tidak keluar dari kamarnya. Entah apa yang dilakukannya. “Nah, Nah! Ko ga keluar-keluar!” Sutinah tidak menjawab, padahal dia belum tidur. “Maaaas, Maaaaas!” Sutinah memanggil suaminya dengan suara berbisik. Entah apa maksudnya. “Iya..... sebentar yah, Mas masih nemeni tamu, ga enak!” Ketika Paimin keluar kamar, ternyata tamu telah pulang semua tanpa permisi kepada Paimin, entah apa maksudnya. Paimin kembali ke kamar dan menutup serta menguncinya dari dalam. Hampir semalam suntuk mereka tidak tidur, karena sibuk menumpahkan cairan kerinduannya yang telah terbendung selama lima tahun.
Walau pun begadang hampir semalam suntuk, tapi pagi-paginya mereka telah bangun seperti biasa. Hanya saja kegembiraan mereka aga terganggu dengan sikap anak kesayangannya yang belum akrab dengan Paimin. Lebih dari itu Neli belum mau memanggil papah kepada bapaknya, malah memanggil papah kepada Sardi. Yaaaah, begitulah jalan cerita kehidupan manusia, tidak ada yang sempurna seratus persen sesuai dengan keinginan kita.
Tamat.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !