Cairan Rindu yang Tertumpah
Karya: Aosin Suwadi
Paimin dan Sutinah adalah pasangan suami istri yang setia, sehidup semati. Keduanya berasal dari dua keturunan yang miskin. Paimin anak kedua dari pasangan Kusno dengan Nadiem dari ujung timur Jawa Tenga. Sedangkan Sutinah anak dari pasangan Karim, dengan Sanah dari ujung Barat Jawa Barat. Kesetiaan dan kekuatan cinta mereka memotivasi mereka untuk berjuang keras demi memenuhi kebutuhan hidup. Mereka bercita-cita ingin keluar dari belenggu kemiskinan. Bahkan lebih dari itu mereka ingin menjadi orang kaya.
Enam tahun yang lalu waktu baru lulus dari pendidikan SLP, Paimin melamar kerja di pabrik sepatu yang berlokasi di wilayah barat Tangerang. Baru dua tahun bekerja dia sudah mengeluh, karena dirasakan upah kerja tidak sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan, dan terlalu jauh selisihnya dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Belum lagi Paimin harus ikut menanggung beban kehidupan keluarganya. Hampir saja dia memutuskan untuk berhenti bekerja. Untung saja ada seorang wanita yang sangat lugu memberi saran. Anehnya apa pun yang disarankan oleh wanita itu selalu memtivasi dirinya untuk tidak berhenti bahkan menambah semangat bekerja.
“Mas... mencari kerja itu susah. Apa lagi kita yang hanya memiliki STTB SLP, enggak mungkin kita bisa mendapatkan pekerjaan ringan dengan gaji besar. Lebih baik kita syukuri sambil meningkatkan prestasi kerja kita. Ingat Mas, tidak semua orang dapat dengan mudah diterima di pabrik ini!!!” Sutinah memberi saran panjang lebar kepada Paimin, layaknya orang tua kepada anaknya, padahal usia Sutinah empat tahun lebih mudadari Paimin. Diberi saran seperti itu Paimin tidak menentang malah hatinya merasa tenag. “Terima kasih Nah, kamu telah mengingatkan aku.” Paimin mengucapkan terima kasih dengan penuh rasa haru.
Hubungan Paimin dangan Sutinah makin lama makin akrab. Hampir tidak ada rahasia di antara mereka. Setiap ada masalah, baik masalah pribadi mau pun masalah keluarga, selalu mereka bahas bersama. Sebagai orang tua, Sanah dapat membaca sikap dan kedekatan Tinah dengan Paimin. “Min sebenarnya sejauh mana hubunganmu dengan Sutinah?” Sanah ingin tahun isi hati dan perasaan Paimin kepada anaknya. Pertanyaan itu dia lontarkan pada suatu hari ketika Paimin bertandang ke rumahnya. “Maksud ibu?” Paimin menjawab dengan agak gugup. “Maaah... maaah, sabun mandi di simpan di mana, kok ga ada di tempatnya?” Sutinah memanggil ibunya dari kamar mandi. “Iyah... tunggu, mamah ambil dulu. Sabunnya tadi dipake bapakmu di kamar mandi sebelah!” Sementara Paimin duduk sendiri di ruang tamu sambil menerjemahkan ucapan Sanah.
Sebenarnya Sanah ingin bertanya lebih banyak tentang hubungan Paimin dengan anaknya, tapi momennya kurang tepat. Karim dan Sanah adalah sepasang Ustadz dan Ustazah. Tentu saja mereka harus lebih teliti mengawasi hubungan percintaan anaknya. Sementara itu, gosip negatif telah mulai menyebar dikalangan ibu-ibu tetangga Sanah. Untung saja Sanah termasuk orang yang sabar dan bijak.
Berkat saran dari Sutinah, pretasi kerja Paimin terus meningkat. “Gimana Nah, terima jangan?” Paimin meminta persetujuan Sutinah, tentang tawaran bekerja di Korea dengan gaji empat kali lipat dibandingkan dengan gaji di tempat kerja sekarang. Sebenanya Sutinah sangat berat jika harus berpisah dengan Paimin, walaupun tidak untuk selamanya. Akan tetapi Sutinah bisa berpikir bijak demi masa depan hubungan dan cita-cita mereka. “Inah sih gimana Mas Aja!” Inah menjawab dengan nada agak ragu. “Justru Mas serahkan keputusan ini kepada Inah. Kalau Inah mengizinkan, Mas akan berangkat, dengan syarat... “ Paimin tidak melanjutkan ucapannya karena dipotong oleh Sutinah. “Syarat apa Mas?” Sutinah mencubit pinggang Paimin dengan gerakan manja. “Mas takut kalau Inah... !” Lagi-lagi Sutinah memotong pembicaraan Paimin. “Gak usah khawatir mas satu tahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun, Inah akan setia menunggu!” Ucapan Sutinah membesarkan harapan Paimin. “Kalau sepuluh tahun gimana...?” Pembicaraan mereka terputus, karena Angkot jurusan ke tempat kosan Sutinah sudah datang.
“Hallo,.....!! Ada apa Nah?” Paimin menerima telepon dari Sutinah melalui HP jadulnya. Tolong sampaikan ke teman-teman, hari ini Inah ga masuk kerja, lagi kurang enak badan Mas!” Sutinah menjawab dengan suara terputus-putus, maklum HP Sutinah sama jadulnya. “Kenapa yang?” Paimin bertanya dengan penuh nada khawatir. “Gak apa-apa Mas, Cuma ak enak badan.” Jawab Inah. “Ya udah tar pulag kerja Mas ke situ.”
“Min, jadi kamu berangkat ke Korea?” Tanya Sardi teman kerjanya. “Mudah-mudahan jadi, doanya aja Mas Sardi!” Paimin menjawab seadanya, dengan harapan Sardi tidak menambah pertanyaan. Tapi Sardi malah penasaran ingin tahu lebih banyak. “Terus Sutinah gimana, kesepian dong!” Sardi menanyakan hubungan Paimin dengan Sutinah. “Sutinah baik-baik aja Mas!” Paimin menjawab singkat. “Baik-bak gimana..... belum ditinggal aja udah sakit-sakitan tuh, gak kerja kan hari ini?” Untung saja Paimin dipanggil oleh atasannya, untuk kepentingan keberangkatan ke Korea. Dengan begitu depat menghentikan pembicaraannya dengan Sardi.
“Termosya disimpan di mana Nah?” Paimin mencari termos untuk kepentingan mengompres kening Sutinah, karena suhu badannya agak tinggi. “Di samping kompor Mas!” Sutinah menjawab dengan suara agak lemah. Badan Sutinah agak menggigil, karena demam. Paimin sangat khawatir dengan keadaan Sutinah. Sebenarnya dia ingin membawanya ke dokter, tapi dia ga yakin dengan uang saku di dompetnya. “Mas, kalau mau pulang, pulang aja, Inah ga apa-apa, gak usah khawatir!” Paimin tidak tega meninggalkan Sutinah sendirian dalam keadaan sakit seperti itu. Kebetulan Hera temen kosnya sedang mengambil cuti, karena orang tuanya sedang menikahkan kakak perempuannya. “Mas pulang dulu yah, tar sore ke sini lagi!” Paimin pamit pulang untuk membereskan cucian yang masih tergantung di belakang tempat kosnya.
Besambung ke seri kedua
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/03/18/rindu-yang-tertumpah-642354.html
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !