Karya Muhamad
Ari Setiawan Kelas XII MIPA 2
SMA Negeri
6 Kota Serang Tahun Pelajaran 2019/2020
Kehancuran
telah membawa setiap tetes keringat menuju karirku sebagai pegulat professional.
Muhamad Ari Setiawan, yang akrab di panggil Ari dengan tinggi 180 cm badan
tegap berisi, membuat aku disegani banyak orang. Tidak ada lagi rasa takut
seakan rasa takut menjelma menjadi keberanian. Tidak pernah terbayangkan cinta
yang amat indah yang pernah aku pupuk bersamanya akan menimbulkan rasa sakit
yang amat kejam, menusuk dan merusak segala harapan. Bertarung dengan orang
adalah hal yang aku pikir bisa menghilangkan rasa sakitnya walau kenyataanya
tidak sama sekali.
Setiap
orang yang lahir bukan untuk berjalan sendiri, dan waktu akan mengalir setiap
hari. Apakah dunia ini hanya berisi tangisan dan kesendirian? Jawaban sekarang
yang aku punya adalah “ya”.
Orang
depresi sepertiku sangat paham apa artinya meminta kesendirian. Mungkin semua
orang selalu berpikir bahwa keramaian selalu berdampak pada suasana yang ramai
pula, tapi tidak untukku orang yang sedang mengalami depresi, seramai apa pun
keadaan itu aku tidak benar-benar ada di sana. Pikiran kacau, hatiku patah,
bahkan air mata ini sudah tidak bisa lagi keluar.
Dibayanganku,
dunia ini sudah tidak bisa diubah lagi. Cinta, persahabatan, dan kasih sayang
sudah mulai lenyap, bahkan aku bisa lebih mencintai hewan peliharaannku
ketimbang teman, cinta, bahkan kasih sayang dari orangtua. Aku punya alasan
tersendiri, mengapa aku mencintai kucing sejak aku mengalami depresi? Karena
hanya sepi ini yang setia mendengar tanpa pergi melarikan diri, bahkan dia rela
menungguku walaupun temannya sudah mulai mengajaknya main.
Aku
bosan mendengar semua kata orang, dan mulai berpikir bahwa kepedulian mereka
semua itu omong kosong, ada beberapa orang yang menasehati, tapi yang kudengar
hanya menyarankan untuk sabar. Ya memang sabar jawabannya, tapi sabar bukanlah
suatu hal yang dapat mengubahku menjdi lebih baik. Ada pula yang berkata diriku
kurang bersyukur. “Hei man, you dont know
about it”. Aku mulai kebal dengan kata-kata tersebut, jawabannya yang
terbaik kala itu hanya diam, apakah jika bicara mereka akan mengerti? Jangan
harap, mereka akan menyalahkan aku sebagai pokok masalah utama yang ada. Jika
sudah terlanjur seperti ini, apakah aku harus mengulangi tangisan seperti
kemarin, aku sudah patah semangat apakah harus dipatahkan lagi hingga tidak
bisa disambung kembali? Aku mulai berhenti mendengar apa yang mereka katakan.
Gista,
begitulah aku memanggilnya, gadis cantik berambut gelombang dan kulit sawo matang memiliki tinggi 166 cm. Alasan
dia tersenyuman setiap hari dan dia berikan untukku tidak pernah menandakan
atau memancarkan bahwa dia mampu
mematahkan hatiku. Hidup terkadang pahit, bunga memang indah tapi tidak
semuanya pantas digenggam erat seperti mawar yang memiliki duri. Mungkin wanita
ini mawar yang memiliki racun di durinya, yang dapat membunuh perlahan,
menyiksa dengan detail. Aku mendapat kehancuran yang berlebihan dan
menghantarkanku bertarung dengan rekan gulatku, membanting lawan salah satu
cara yang aku pilih untuk menghilangkan rasa sakit.
Awal
pacaran masa SMA sungguhlah indah, kata kata manis dan senyuman yang ia
pancarkan sungguh membuat hatiku luluh dan menjadi penyemangatku sekolah,awal
pertemuan kami seperti pada umumnya anak SMA, Gista adalah murid pindahan dari
sekolah lain di jawa tengah, awalnya dia sangatlah aneh karena dia orang
pertama yang mengejek sepatu kusamku, tidak suka teh manis dan sangat sulit
diajak berbicara tapi bukan Ari namanya jika langsung menyerah sebelum mendapatkan
cintanya, singkat cerita kami resmi berpacaran dan 4-5 tahun kami jalani
bersama masa pacaran semenjak SMA hingga sekarang semester 7 di suatu perguruan
tinggi di kota serang. Di waktu pertama kali kuliah tepatnya masa ospek aku
bertemu sahabatku yang bernama Dion Kartomidjojo, orang nya hitam bertubuh
proporsional dan tingginya hampir sama denganku, pada saat itu aku dan dia sama
sama telat
“Ehh Mas semaba juga ya?” Dialah yang memulai
percakapan di saat bertemu di parkiran. “Ehh iya”. Jawabku. “Ayo masuk Mas udah
telat nih kita”. Dia adalah orang jawa tengah, sama dengan Gista hanya berbeda
kabupaten. Benar saja kita sudah ditunggu oleh kating (kaka tingkat) yang
bermuka garang, kami dihukum dan disuruh melakukan hal hal konyol. dan dari situlah
awal persahabatan kami dimulai.
Dion
pada dasarnya orang yang cukup asik dan
lucu karena berbicaraya yang medok. Dia di sini kos sendirian dan aku tinggal
dengan ibuku, aku sering mengajaknya ke rumah untuk sekedar makan minum. 3
tahun berjalan kami sudah layaknya saudara kandung karena sangat akrab dan
sering melakukan hal konyol bersama. Dia juga sudah kenal dengan pacarku sejak
SMA dan sudah seperti sahabat.
Aku
sangat percaya dengan Dion untuk melakukan hal hal yang lumayan privasi dan
tidak biasa seperti antar jemput Gista jika aku sedang berhalangan. Tanpa aku
sadar dari situlah awal kehancuran hubungan kami dimulai.
“Dion
aku minta tolong kamu jemput Gista di
perpustakaan daerah ya, aku lagi ada latihan gulat tambahan nih, maaf
merepotkan” Pintku. “aku?” Mungkin kata
yang lumayan aneh bagi sebagian anak muda laki-laki dengan sesamanya tapi tidak
dengan aku karena dia berbahasa jawa yang halus tentu aku harus menyesuaikanya
agar tidak terlihat kasar. “Langsung diantar kerumah aja Ri? Tapi nanti ganti
uang bensin ya aku lagi krisis dompet hahah… udah tanggal tua nih”. Jawabnya. “Iya seperti biasa, hahah tenang saja
itu udah aku siapkan untukmu”. Itulah chat yang sering aku kirimkan ke Dion.
Kringg
kringg kringg (bunyi dering telepon dari Gista menandakan Gista telah selesai
dengan buku-bukunya di perpus). “Hallo sayang, kamu jadi jemput aku kan?” Pungkas
Gista. “Sayang aku minta maaf ya ga bisa jemput kamu, aku masih ada latihan
tambahan untuk persiapan pertandingan di Padang nanti”. Dengan nada memelan. “Iya
gapapa kok sayang aku udah biasa”. Gista
langsung menutup teleponnya.
Tidak
lama Dion sampai di perpustakaan dan
Gista sudah paham betul jika ada mobil jazz merah yang menunggu di depan siapa,
Gista hanya terdiam dan menangis saat perjalanan pulang dan Dion coba
menenangkanya dengan berbagai cara agar Gista tidak lagi bersedih, begituah
yang Dion ceritakan padaku.
Karena
perasaan bersalahku yang sering tidak menjemputnya seperti yang dia harapkan
aku berniat mengajaknya untuk makan malam pada hari sabtu karena aku sudah bisa
beristirahat dari latihanku. “Sayang, nanti sabtu malem aku jemput kamu yaa,
kita makan bareng”. “Jawaban yang aku terima untungnya saja sesuai harapan.
“Ya
udah ke rumah aja”. Mungkin dia masih
kesal karena dia hanya membalas seperti itu tapi tidak apa yang penting dia
sudah mau di ajak bertemu. Sesampainya di kafe biasa kami makan dia agak
terlihat berbeda, dia seperti lebih diam dari sebelumnya ( Padahal pada
dasarnya dia orang yang cerewet) .“Kamu kenapa diam terus sayang, masih kesel
ya sama aku?” Pembuka kata yang aku lontarkan. “Engga kok yang, aku Cuma lagi
ga enak badan aja”. Tidak lama setelah itu aku mengantarnya pulang agar dia
beristirahat agar segera sehat kembali.
Dua
bulan telah berlalu dari malam itu dan aku tidak menemuinya sehari pun karena
aku harus di karantina. 2 hari lagi tepatnya tanggal 11 november 2018 aku akan
bertolak ke tanah sumatera yaitu Padang. Persiapan yang telah aku lakukan
diharapkan bisa membawa hasil yang maksimal yaitu gold medal yang pasti, tetapi pada hari itu aku mendapat telefon
tidak mengenakan dari sahabat dan pacarku sendiri, Dion bercerita bahwa ia akan
menikahi Gista karena dia telah menghamilinya dan sekarang telah mengandung 1
bulan setengah. Gista pun memberi kabar yang sama padaku bahwa ia akan menikah,
aku hanya terdiam dan mengajak Dion bertemu walau awalnya dia tidak mau tapi
aku tetap mengajaknya bertemu.
Keesokan
harinya kami bertemu di kafe yang sama pada saat malam itu. Mungkin pembaca merasakan hal yang sama denganku,
dan saat bertemu Dion akan langsung memukul, berkelahi dan hal hal keras
lainya, tapi berbeda denganku. “Cepat kamu ceritakan yang sebenarnya terjadi “
ujarku. “Iya ri, saat perjalanan pulang di tengah jalan hujan deras dan mobilku
tiba tiba mogok, saat keadaan sunyi karena gelap dan hujan, aku sangat tergoda
akan paras pacarmu itu karena beberapa kali aku mengantarnya pulang dan aku
memperhatikanya. Tetapi di sini bukan hanya aku yang salah, Gista juga karena
aku tidak memaksanya melakukan hubungan itu tetapi kami sama-sama ingin
melakukanya” Mendengar jawabanya aku langsung memeluk sambil berkata “Dion kamu harus jaga Gista, sayangi dia dan
anaknya kelak, jadilah pria yang bertanggung jawab, jangan sakiti dia, jika itu
terjadi aku mungkin akan bertindak lebih padamu”. Lalu aku meninggalkanya,
memang aku sangat emosi pada saat itu tetapi aku tidak boleh menghancurkan
persahabatanku hanya karena wanita, aku berlapang hati memaafkanya dan mencoba
menerima kenyataanya.
Aku
berangkat menuju Padang dengan perasaan yang sangat kacau dan hilang arah,
tetapi pelatihku adalah sarjana psikologi dia sangat tau perasaan orang dari
raut wajahnya, tanpa bertanya padaku dia langsung memberiku kata kata
penyemangat menjalani semua cobaan karena aku pasti kuat menjalaninya. Kami
tiba di Padang pukul 3.00 WIB karena pesawat delay selama 6 jam karena cuaca
buruk, mungkin terlintas dalam hatiku ingin berdoa agar aku mengalami
kecelakaan saat terbang menuju Padang, tapi aku masih punya tanggung jawab pada
ibuku yang sangat aku cintai.
Kami
semua beristirahat dan bangun pukul 5.00 WIB, tubuh sangat lelah untuk beranjak
dari tempat tidur, namun otak berkata lain, otak tau alasan aku ke sini untuk apa, ya untuk memulihakan hati yang
hancur serta mencari prestasi. Matras bagiku merupakan tempat pelampiasan yang
sangat aman karena tidak menyakiti siapa pun, aku melakukan latihan pagi agar
badan tetap fit. Hari pertama di Padang kami hanya beristirahat. Pelatih
sengaja mengajak berangkat lebih awal agar kami tidak kelelahan di perjalanan.
Aku
menikmati suasana malam yang dingin di rooftop
hotel Ibis di kota Padang, Sumatera Barat. Ya minggu ini aku akan melakoni
pertandingan besar untuk melawan para juara di tanah Sumatera, sudah banyak
latihan, ocehan hingga makian yang aku terima untuk bisa sampai di sini. Aku
duduk setengah rebahan menghadap langsung ke arah laut di temani segelas kopi
yang dibuatkan pelayan hotel untukku. Di rumah, aku biasa menghabiskan malam
dengan duduk di teras rumah sambil melemaskan otot yang tegang akibat latihan
yang berat.
Sesekali
aku mengecek HP yang sejak kabar buruk itu terjadi tidak diaktifkan agar tidak
ada orang yang dapat mengganggu waktu sepiku. Lain hal jika di rumah, aku
sering mengotak atik motor CB yang di wariskan almarhum ayahaku ketika beranjak
SMP. Benda yang selalu mengingatkku kepada Gista. Hampir setiap hari aku selalu
menghabiskan Weekend bersama Gista dengan
motor tersebut berkeliling kota Serang sambil bercanda ria. Sempat terbesit ada
niatan untuk menjual motornya tersebut, tetapi aku memikirkan perasaan ayahku
yang telah mewariskan motornya tersebut akan kecewa. Ada kenangan lain di motor
tersebut selain dengan Gista, ketika aku kecil, ayahku ketika berada di rumah
selalu mengajaknya berkeliling kota sambil membeli banyak makanan.
Tidak
semua kenangan harus dilenyapkan, ada kenangan yang memang harus terus diingat
karena akan menjadi hal yang indah saat di kenang nanti. Aku tidak jadi
menjualnya karena sampai saat ini masih menjadikan motor CB itu sebagai alat
transportasiku ke mana-mana. Meski banyak kenangan Gista yang selalu terngiang
saat melihat motornya tersebut dan kenangan tersebut selalu memburuku
Salah
satu hal paling aku benci di dunia adalah saat kita ingin melupakan sebuah
kenangan, kenangan tersebut malah semakin teringat oleh otak. Satu kenangan itu
bisa melibatkan banyak orang penting dalam hidup kita. Di sisi lain harus
melupakan karena sakit hati di sisi lain harus mengingatnya karena bawaan hati.
Hari
ini adalah pertandingan penting karena ini event
terakhirnya di tingkat mahasiswa, aku selalu menggunkan headset saat pemanasan
agar otakku relaks dan berhenti
memikirkan Gista, sekaranglah pembuktian hasil latihan beratku hingga harus dikhianti
orang yang paling aku cinta.
Setelah
satu minggu berada di Padang, aku pulang ke Banten tapi tidak langsung ke rumah,
aku langsung menuju Bandung untuk mencari tempat di mana aku bisa melupakan masalah-masalahku.
Aku pulang sebagai seorang juara 1 kelas 76 kg gaya bebas putra, tetapi raihan
medali tersebut belum bisa menghilangkan rasa sakit yang selalu menusuk-nusuk
hatiku yang sudah rapuh.
Karena
prestasi itulah aku mendapatkan beasiswa dari universitas untuk melanjutkan
kuliah S2 di Jepang dan semuanya ditanggung oleh sebuah perusahaan karena aku
berprestasi dan nilai-nilaiku yang
lumayan bagus di beberapa bidang. Uang hadiah nya pun tak lupa selalu aku
simpan untuk sewaktu waktu aku butuh.
Seperti
biasanya, aku menghabiskan malam dengan rebahan di kursi depan teras rumah, ditemani
segelas kopi hangat buatan ibu "Ari!!" Panggil wanita lima puluh
tahunan tersebut dan menghampiriku. Aku bangkit dAri tempat duduknya dan
membetulkan posisi dudukku. "Bagaimana hasil pertandinganya?" Tanyanyaa.
"Alhamdulillah Bu, dapat emas lagi". Jawabku.
"Lantas
kenapa dengan perolehan medalimu yang semakin banyak, kamu malah seperti
semakin terpuruk hanya karena Cinta". Aku tidak menjawab, hanya menatap ke
arah langit dan cahaya rumah dengan mata berkaca-kaca. Pernyataan ibunya seolah
membenarkan apa yang terjadi. Pertandingan kemarin sebagai pelarian ini seakan
tidak memberikan efek positif apa pun, yang ada hanya semakin jatuh yang aku
rasakan.
Aku
tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutku, hanya pelukan dingin
yang bisa aku lakukan yang menandakan aku tidak sanggup menjawab. Tidak ada
yang lebih pedih kecuali saat aku melihat mata ibu yang kepedihan saat melihat
mata anaknya yang sangat terpuruk. "Ibu ga pernahkan ngelarang kamu ngelakuin
hal positif apa aja? Tapi kamu juga jangan lupa sadar. Kalo yang selama ini
kamu lakuin sebagai pelarian ini. Gada efeknya sama sekali, rasa sakit emang ga bisa di hilangin. Harus dinikmatin
dan dilawan, bukan malah ditinggal pergi. Kadang rasa sakit harus dilawan
dengan doktrin kalo kita bisa memberikan kebahagian kita sendiri, bukan malah
kebencian". Ucap ibuku yang masih dalam pelukkanku.
Aku
dan ibu memang memiliki ikatan batin yang sangat dekat semanjak ayahku
meninggal. Ibulah tempat renungan aku yang pertama, tempat bersandar, menangis
dan sebagainya, karena ayahku jarang di rumah untuk mencari nafkah keluarga, dan
aku mengerti akan hal itu. Saat aku bercerita tentang putusnya dengan Gista dengan
alasan yang sangat menyakitkan, ibuku ingin sekali bertemu dengan Gista untuk
menanyakan langsung perihal tersebut, namun aku melarangnya.
Hal
yang tidak banyak orang pahami mengapa orang yang sudah memberikan rasa sakit
berlebih dapat memberikan efek sayang yang berlebih juga. Kalo manusia sudah
jatuh cinta, semua pikiran menjadi positif untuk keberlangsungan cintanya
terjalin. Sesakit apa pun yang di rasakan tidak memberikan efek jera kepada
orang yang percaya pada cinta. Orang yang cinta memang mudah untuk mengalahkan
logika dan akal sehat. Padhal aku tau,
tidak mungkin mengulang kisah lama, namun otak dan perasaan tidak merasakan
kalau dia sudah tidak diterima lagi.
Saat
ini hanya ibulah teman yang aku miliki saat hati sedang kacau. Kakakku hanya
dapat diam dan melihat adiknya yang sangat kacau saat setelah ditinggalakan Gista,
seperti orang yang kehilangan cahaya hidupnya. Melihat cara aku memperlakukan Gista
kakaku dapat menyimpulkan bahwa Gista adalah perempuan yang paling aku cintai
dari banyaknya perempuan yang pernah dikenalkan padanya, semua memang ada feed back-nya.
Saat
kamu mencintai orang lebih, maka kamu juga harus siap dengan sakit hati yang
lebih pula.
"Sudahlah Ari..,
kamu ga perlu memikirkan wanita
pelacur itu". Ucapanya begitu ketus dan tajam sekali kalimat yang baru
pertama kali kudengar dari ibuku. "Apa sih Buu". J awabKU dengan nada
pelan. "Kamu jangan memikirkan dia lagi, bikin sakit hati aja". Kata ibu.
"cukup Bu". Ujarku dengan nada agak tinggi dan langsung menyesal
dengan jawabnya itu. "Maaf Bu, aku terlalu emosi". Aku langsung
menuju kamar meninggalkan ibu bersama segelas kopi di teras depan.
Aku
meminta maaf karena aku sadar, ibuku emosi seperti itu karena sayang sekali
dengan aku. Tidak ingin melihat anaknya terpuruk dan sakit yang berlarut larut.
Aku tidak selayaknya membuat ibuku sedih akan perkataanya tersebut. Perempuan
yang sangat aku cintai melebihi apa pun dan balasan cintanya. Aku mendapat kAsih
sayang dari ibu beda dengan Gista. Yang aku cintai sepenuh hati tapi di balas
dengan sepenuh api dan sakit hati.
Setelah
7 bulan tak mendengar kabar dari Gista, ada sebuah pesan whatsapp dari mantan pacarku itu. “Ari, aku mau cerita sama kamu,
penting, kamu bales ya, aku tau kamu
marah sama aku karena kejadian itu, tapi saat itu umur kandunganku 8,5 bulan Ri,
sebentar lagi aku akan melahirkan tetapi Dion kabur entah kemana dia menghilang
begitu saja dan meinggalkan surat cerai di kasur, karena terus di ceramahi
ibuku karena ia tidak mau bekerja”. Ucapnya. Membaca pesanya itu aku sangatlah
iba padanya dan dalam hatiku, aku sangatlah masih mencintainya. Bagaimana pun
juga aku akan ke rumahmu besok.
Keesokan
harinya aku kerumahnya yang berencana akan melamarnya walau ada sedikit
perasaan berat tetapi aku lupakan dan menjaganya sekuat tenagaku dan aku belum
bercerita hal ini kepada ibu. Ternyata Gista menerima lamaranku. Sepulangnya dari
rumah Gista aku bercerita kepada ibu. Awalnya ibu menolak aku menikahinya,
tetapi aku terus membujuknya agar diperbolehkan karena aku sangat mencintainya.
Seminggu
kemudian kami melangsungkan pernikahan dan seminggu kemudian Gista melahirkan
seorang anak perempuan yang sangat cantik dan kuberi nama Anastasiya Putri. Setelah
aku lulus S1 langsung mencari pekerjaan tetapi sangatlah sulit dan dengan
berbekal keahlian ngotak ngatik motor aku diterima di sebuah bengkel, ya aku
merelakan beasiswa ke Jepangku untuk merawat Gista dan Anastasiya sepenuh hati
dan menjual motor CB untuk modal menyewa sebuah kos kosan.
Setelah
1 bulan aku bekerja di bengkel tersebut aku bertemu dengan Dion di bengkel
tersebut sedang service mobilnya. Sontak
aku menyeretnya keluar dan memukulinya karena dia telah melanggar permintaanku
saat itu. “Kemana aja lo selama ini? Gua cari-cari Lo buat tanggung jawab semua
ini”. Ucapku sambil mencengkram kerah bajunya. “Iya Gua minta maaf Ri, beberapa
minggu ini Gua nyari Gista buat
tanggung jawab tapi ga pernah ketemu, rumahnya pun udah kosong”. Jawabnya. “Udah
telat, sekarang Gua suaminya, Lo jangan coba coba muncul di kehidupanya”. Ancamku
sambil meninggalkanya
Keras
kepala tetaplah keras kepala, dia mengikutiku sampai rumah dan aku memergokinya
dan langsung memukulinya agar ia segera pergi dari sini dan jangan pernah
kembali lagi dan aku mencaci makinya habis habisan agar ia kapok dan kembali
lagi. Ternyata mencacinya sangatlah salah. Keesokan harinya saat aku berencana
membuat kejutan untuk Gista untuk makan siang bersama di rumah, aku melihat
Gista bersimbah darah di bagian dada dan perutnya dan aku melihat Dion memegang
pisau dan sedang mengarahkannya kepada putriku. Aku langsung menendangnya agar
menjauh dari Anastasiya. “Apa yang Lo lakuin
Dion, Lo udah gila ya?” Kataku. “Ini karena Lo ngelarang gua nemuin Gista dan
anak gua, gua ga rela semua ini jadi milik Lo”. Sambil mau menusuk wajahku,
untung aku mempunyai basic seorang
pegulat aku bisa menghindarinya tetapi pisau itu malah mengarah ke arah jantung
Dion itu sendiri, lalu aku langsung melihat keadaan Gista yang sudah sangat
pucat.
“Sayang
maafin aku ga bisa jagain kamu seperti ucapaanku waktu itu”. Sambil bercucuran
air mata dan darah di tanganku. “Kamu berhasil jadi suami yang baik kok sayang,
jaga anak kita sampai dia dewasa dan kamu rawat dia sampai bisa jadi seperti
ibu kamu yaa sayang, aku minta maaf pernah nyakitin
kamu”. Ucapnya sambil terbata bata.
Aku
menciumnya pelan dan itulah tanda perpishan kami yang menjadi akhir kisah cinta
kami yang pernah kandas, dan semua itu sudah berakhir. Dion masih bisa
bernafas, aku meminta pertolongan warga untuk membawanya ke rumah sakit dan aku
mengurus jenazah istriku sampai menguburkanya…
Demikian
cerita pendek yang agak panjang ini dipublikasikan, semoga bermanfaat. Dan jikaa
berkenan mohon tinggalkan komentar.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !