Petak Umpet
Karya: Gege Giani
Aku cuma anak bisu, karena pendengaranku terganggu, sehingga ibu dan ayah malu punya anak sepertiku. Setiap pagi aku sarapan ocehan mereka yang samar di telingaku karena pendengaranku terganggu. Siang hari aku makan rasa sakit di kakiku bahkan badanku karena ibu melihatku berdiam di depan rumah di balik pagar. Malam hari aku melihat ayah pulang dengan terhuyung-huyung dan sebuah botol bir di tangannya.
Ibu langsung menampar ayah, dan ayah menampar ibu. Aku tak bisa mendengar apa yang menjadi masalah mereka dengan jelas, aku menangis tapi mereka tidak akan menghiraukannya. Aku bosan melihat mereka seperti itu, aku pecahkan gelas yang ada di depanku. Akhirnya mereka berdua berhenti, aku pun merasa lega. Namun kedua pasang mata mereka melirik tajam ke arahku, seperti telah mendapatkan buruannya dan lupa akan masalah mereka, ayah dan ibu berjalan ke arahku dan langsung kudengar ocehan mereka yang tentunya samar di telingaku karena pendengaranku terganggu.
Mereka lupa dengan masalahnya dan terlihat kompak ketika memukuliku karena gelas yang aku pecahkan. Satu pukulan dipipi kanan oleh ibuku, satu pukulan dipipi kiri itu tangan ayahku. Sepertinya aku sudah mati rasa, karena terlalu sering menerima itu semua. Mereka belum puas sebelum ada yang biru ditubuhku.
******************
Aku menonton televisi, aku melihat seorang anak laki-laki sepertiku dan sepertinya sebaya denganku menggunakan baju putih dan celana merah juga sebuah tas yang digendongnya, Dengan raut muka yang ceria dia diantar oleh ayah dan ibunya ke tempat di mana anak-anak yang lain memakai baju yang sama dengannya. Ibu dan ayahnya tidak bertengkar, mereka berdua juga tidak saling pukul. Ahh… mungkin mereka sedang bersandiwara, seorang ayah dan ibu itu saling pukul dan anak adalah orang yang mereka pukuli pula.
Pagi hari aku keluar menyelinap untuk sekadar duduk di balik pagar rumah, aku melihat anak laki-laki persis seperti yang kulihat di televisi dia memakai baju putih dan celana merah dengan tas yang ia gendong dan diantar oleh ayah dan ibunya. Sejenak mereka melihat kearahku, kusunggingkan sedikit senyuman walau aku tidak paham senyum itu seperti apa, karena ibu dan ayah tidak pernah mengajariku bahkan memberikan senyum yang baik kepadaku. Mereka berlalu seiring pukulan keras menghantam telinga kiriku. Pening, dan darah segar mengalir dari telingaku. Ternyata tangan ayah, dan ia langsung menyeretku kedalam rumah. Di dalam ibu sudah siap untuk memangsa buruan ayah pagi ini. Aku tersenyum sinis, ini sudah menjadi sarapanku hari ini.
******************
Aku melihat jendela di kamarku, selimut hitam masih menyelimuti kota Madani. Orang-orang pasti sedang terlelap, namun di rumahku samar-samar ada yang tertawa. Kulihat ibu bersama seorang laki-laki (tapi bukan ayah) sedang duduk berdua dan terlihat sangat bahagia, tidak saling pukul seperti ketika bersama dengan ayah. Aku tidak mempedulikannya, aku kembali ke kamarku, tiba-tiba aku melihat anak kecil di kamarku dan mengajakku bermain. Dia sangat kecil, lebih kecil dari tubuhku. Aku bisa bicara dengannya walau aku bisu, aku juga mendengarnya bicara dengan jelas.
Sarapanku tetap ocehan yang tentunya samar di telingaku, tapi jelas sekali di telingaku ajakan bermain dari temanku yang kecil itu. Aku berlari ke sana-sini mengejar teman kecilku. Ayah datang seperti biasa dengan terhuyung-huyung dan botol bir yang sama. Kembali ibu menampar ayah dan ayah menampar ibu, selalu seperti itu. Aku bermain petak umpet dengan temanku, giliran aku yang mencari, dan kutemukan dia di balik botol ayah. Sekarang giliranku untuk ngumpet. Aku memutuskan untuk ngumpet di balik daster ibu, persis seperti laki-laki yang bukan ayah itu juga menyembunyikan kepalanya dibalik daster ibu.
Aku terus saja bermain, aku menjadi tidak kesepian. Walau aku sarapan ocehan, dan makan siang dengan biru-biru di tubuhku. Teman kecilku tidak pakai baju putih dan celana merah, tapi dia ceria bahkan dia tidak punya ayah dan ibu. Ayah datang dengan botolnya, ibu menampar ayah dan ayah menampar ibu, aku jatuhkan gelas di depan mereka, mereka memburuku, aku lari bersama teman kecilku, ayah memukul telinga kiriku, dan ibu telinga kananku. Darah segar mengalir di keduanya, pening dan buram pandanganku. Tetapi temanku terus mengajakku berlari. Hingga rasa sakitku hilang dan aku menjadi kecil seperti temanku.
Aku bermain petak umpet kembali, giliranku mencari dan kutemukan temanku berada dibalik teriakan-teriakan ibu dan ayah. Giliranku ngumpet, dan aku ngumpet di balik kotak yang di dalamnya ada anak laki-laki mirip sekali denganku, dengan darah di kedua telinganya dan biru-biru di sekujur badannya, mungkin itu teman baru kami bermain petak umpet pikirku. Temanku menemukanku, karena terlalu lama bermain aku dan teman kecilku memutuskan untuk beristirahat. Tiba-tiba sekelompok orang berseragam datang menangkap ibu dan ayah. Kemudian anak kecil yang mirip denganku itu ditemukan dan dikeluarkan dari persembunyiannya, lalu ditutuplah sekujur tubuhnya yang biru-biru dengan kain putih.
Kulihat anak yang memakai baju putih dan celana merah yang kutemui di depan rumah waktu itu, datang bersama ayah dan ibunya. Mereka menangis ketika melihat anak yang mirip denganku itu tidak bisa dibangunkan lagi. Aku tidak mengerti apa yang mereka rasakan, yang aku tahu hanya ocehan, pukulan, dan sekarang yang aku rasakan kebahagiaan bersama teman kecilku. Aku memutuskan untuk bermain lagi dengan temanku, karena aku mengenal rasa baru bersamanya, yaitu rasa lega dengan tertawa lepas. Selain itu, aku pun bisa bicara denganya dan bisa mendengar semuanya yang dia bicarakan. Aku sekarang bukan anak bisu, dan pendengaranku jelas. Aku tidak sarapan ocehan karena ibu telah pergi bersama orang-orang berseragam itu, makan siangku juga bukan pukulan karena ayah juga ikut bersama ibu.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !