Valentine Day dan Free Sex
SAYA telah memaksakan persepsi bahwa sesungguhnyalah Valentine Day itu positif. Serah terima kasih sayang dan hormat-menghormati harkat. Rupanya implementasi Hari Kasih Sayang itu telah digeser implementasinya, diwujudkan dalam bentuk yang tak seideal Hari Kasih Sayang. Ini jadi alasan pokok atas pelarangan perayaan Valentine Day di Kota Makassar, hingga Sang Walikota Mohammad Ramdhan Pomanto, berpendapat bahwa Valentine memprovokasi remaja dalam aksi-aksi asusila.
Dapat dicernah bahwa Pak Wali sesunggguhnya bukan anti Valentine Day, yang dia persoalkan adalah manifestasinya yang bisa dikatakan hanya memperalat perayaan hari kasih sayang itu. Kemasannya V-Day tetapi isinya adalah aksi-aksi pergaulan bebas yang tentu dilarang oleh agama manapun. Saya meyakini pak wali justru akan menganjurkan perayaan Hari Kasih Sayang bila sekelompok remaja mengunjungi panti-panti jompo, bertandang ke pusat-pusat rehabilitasi narkoba, atau mengumpulkan remaja-remaja putus sekolah. Malah pak wali (mungkin) akan membantu para remaja bila manifestasi Hari Kasih Sayang diwujudkan dalam bentuk serupa ini.
Sulit
Ada tanya hadir di tulisan ini; mengapa yang antusias rayakan Hari Kasih Sayang itu adalah mayoritas remaja? Mengapa bukan seperti saya yang sudah orangtua begini tak ‘kuat’ para remaja menyambut perayaan ini? Bukankah anak istriku butuh kasih sayang di hari ’spesial’ ini? Akh,..ini hanyalah tanya biasa walau tetap mengherankanku.
Cukup sulit memaknai Hari Kasih Sayang ini, namun cukup mudah melihat fenomena sosial budaya ini yang diarak dari luar negeri (Barat/Timur Tengah). Dan, saya kaget atas survey di Thailand, menyebutkan bahwa 83% remaja mengagendakan untuk berhubungan intim pada saat perayaan V-Day. Pemerintah Thailand hanya merekomendasikan ‘warganya’ untuk ‘makan malam sepasang kekasih’, setelah itu pulang ke rumah masing-masing.
Akui Sajalah
Free sex remaja kita memang telah cukup ‘mencengangkan’, telah menembus demarkasi agama, moralitas dan etika ‘ketimuran’. Tanpa Valentine pun, remaja kita sudah terlanjur ‘basah’. Ini tamparan bagi kita selaku orangtua, bukan remaja kita yang gagal, tetapi kitalah yang tak sukses menjaga anak, mendidik anak, membesarkan dan mendewasakannya. Gempuran teknologi media, telah menaklukkan kita. Remaja pun terancam setiap saat. Lengah sedikit saja, anak-anak kita sudah tersungkur di lembah amoralitas versi ketimuran kita. Barat mungkin tak persoalkan ini, namun kita masih memegang prinsip-prinsip ketimuran kita.
Sisi lain, media penyalahgunaan hakikat valentine day telah cukup mengancam kesehatan reproduksi remaja-remaja kita, mengancam sikon psikologik mereka. Lalu apa yang mesti kita lakukan selaku ayah ibu mereka? Itu pertanyaan yang butuh penyikapan yang sangat ekstra. Beberapa dekade, kita hanya sanggup mengeluh atas perilaku anak-anak kita, tetapi sungguh kita jarang mengeluh atas teknik mendidik kita selama ini.
Sebuah Kisah Fiksi
Seorang ABG tanggung, berjenis kelamin pria, minta izin pada ayahnya, rayakan Hari Kasih Sayang. Ayahnya izinkan. Anak lugu itupun bergabung dengan kawan-kawan sebayanya di sebuah rumah yang sudah ditentukan. “Kenapaki cepat pulang Nak?, tanya sang ayah dalam dialek Makassar “ “Dak enak Pak!” “Dak enak bagaimana Nak?” “Baku peluk-pelukki, baku cium-ciumki teman-temanku Pak!” Ayah itu memeluk putranya, sambil bergumam dalam hati: “Saya bersyukur punya anak lugu!”
Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2015/02/14/valentine-day-dan-free-sex-723474.html
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !