Kenangan di Jembatan Merah
Bagian Kedua
Karya: Sekuati Ardini
Pada bagian kesatu telah diceritakan bahwa jembatan merah merupakan tempat berkumpul, bercengkrama sesama teman kami waktu masih kecil. Dan ini lanjutannya.
Duapuluh tujuh tahun silam, saat aku duduk di bangku SLTA, aku dan teman-teman seperti biasa sering berangkat bersama sambil berjalan kaki berbondong bondong menuju sekolah yang berbeda.Walau pun sekoah kami berbeda-beda, namun terlebih dahulu kami menyeberangi jembatan yang sama, yaitu jembatan merah tempat kami bermain. Mana kala salah satu dari kami belum kelihatan berangkat, maka di jembatan itulah kami saling menunggu hingga bermunculannya teman-teman lain dari berbagai arah. Begitu pula pulang dari sekolah kami akan bertemu di sana. Saat menjelang ulangan jembatan merah pun menjadi tempat kami bertengger, sambil menghafal. Di situ terdengar teriakan-teriakan hingga membuat hiruk pikuk suasana. Yang lebih menyenangkan lagi kami membawa perabotan rumah yang kotor bekas memasak, misalnya wajan yang kotor kami cuci bersama dan berlomba merubahnya menjadi kinclong. Begitu bahasa kami untuk wajan dan perabotan lain. Moment itu kami lakukan di sungai persis di bawah jembatan merah.
Sungguh tempat itu sama sekali menjadi ajang tempat kami bermain sekaligus tempat kami melupakan konflik yang terjadi dalam kehidupan setiap harinya. Maka masing-masing orang tua kami tidak perlu khawatir ketika mencari kami, pasti mereka akan menemukan kami di sana. Di tengah kebahagiaan itu tiba-tiba musim ujian tiba saat itu aku dan beberapa temanku sudah duduk di kelas tiga SLTA. dengan perasaan sedih kami harus mengurangi aktivitas bermain di jembatan. Aku mulai di karantina menjaga adik-adikku dan lebih banyak belajar di rumah. Aku menjadi kehilangan kontak dengan teman-teman.Telfon rumah pun di batasi penggunaanya. Aku harus menikmati peraturan itu agar tidak merasa terbebani oleh peraturan yang orang tua tetapkan. Mulai saat itu pula aku semakin lama tidak bertemu dengan teman-temanku, hingga aku meninggalkan desaku dan kembali pada saat liburan panjang saja.
Rindu yang terpendam semakin karam ditelan waktu. Kami semakin sibuk dengan tujuan kami masing-masing. Hanya beberapa teman saja yang masih menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah pada saat liburan. Teman pria yang suka berkunjung, yaitu teman yang pernah memendam perasaan " sayang", amun belum sempat diungkapkan di tengah padatnya waktu bermain. Hal itu menandakan bahwa saat itu kami benar-benar tidak sempat untuk bercinta yang terjadi adalah kebersamaan yang tidak perduli apa dan siapa pasangan kami kelak. Terbukti jodoh kami bukan salah satu dari sahabat atau dari teman kami bermain, Padahal seandainya saja aku memimirkannya hal yang mereka (teman pria) lakukan misalnya bentuk perhatian, sikap setia kawan sudah terlihat saling tertuju kepada kami kelompok wanita. Namun kami belum bisa mengartikan apa yang mereka perlihatkan. Hingga baru disadari ketika masa bermain terhenti karna peluangnya sudah tidak memungkinkan lagi.
Aku baru menyadarinya dan mengingat-ingat apa yang terjadi kala itu. Beselang waktu yang berganti aku kembali ke kampung halaman di desa sinar banten. Aku kembali melintasi jembatan merah yang menjadi tonggak sejarahku, tapi betapa terkejutnya aku ternyata jembatan itu telah berubah setelah direnovasi karna usianya yang sudah tua. Konon jembatan itu di buat pada thn 1967, memang sudah layaknya untuk di renovasi. Sayang sekali jembatan merah itu kini tinggallah nama sama halnya dengan sahabat-sahabat kecilhkan beberapa diantara mereka ada yang sudah meninggal dunia dengan penyebab yang beragam. Jembatan merah kami kini sudah tidak lagi berwarna merah serta tidak menggunakan material besi baja, tapi terbuat dari beto dan berdisain tembok yang berbaris. Catnyapun berwarna kuning. namun hingga saat ini kami masih menyebutnya dengan nama jembatan merah.
Teman bermain di Jembatan Merah
yang sempat diabadkan
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !