Durhaka pada Guru
Oleh: Aosin Suwadi
Siapa pun kita pastilah berstatus sebagai seorang anak, karena kita pernah dilahirkan oleh mereka. Seorang anak kecil, pasti dia anak dari orang tuanya. Jika kita sudah dewasa dan sudah mempunyai anak, di hadapa anak-anak, kita adalah orang tua, tapi di hadapan orang tua kita, tetap saja kita adalah anak. Bahkan orang tua kita, dihadapan orang tuanya, mereka adalah anak.
Sebagai apa pun predikat yang telah Anda sandang, apakah Anda sebagai pejabat, seniman, politikus, jurnalis, LSM, orang kaya atau orang miskin, dll., pastilah Anda pernah menjadi anak, dan pernah menjadi siswa atau anak didik. Perlu saya ingatkan bahwa tugas kita dalam posisi sebagai anak adalah berbakti kepada orang tua dengan mematuhi nasihatnya dan menghindari larangannya, sebagai penjabaran dari “takwa”. Sebagai seorang murid tentunya kita haru patuh pada petuah guru, bukan saja di dalam kelas, tapi di luar kelas (dalam kehidupan).
Di hadapan orang tua, sampai saat ini penulis adalah anak dan sampai kapan pun tetap anak. Di hadapan guru-guru, sampai saat ini penulis adalah murid, dan sampai kapan pun tetap murid. Perlu saya ingatkan bahwa dalam hubungan kelurga tidak pernah ada istilah “mantan anak”. dan “mantan orang tua”. Dan dalam dunia pendidian tidak pernah ada istilah “mantan murid” dan “mantan guru”. Akan tetapi sepertiya telah terjadi pergeseran nilai dalam hal pengakuan murid terhadap gurunya. Jika ada seorang murid yang telah berhasil menjadi orang sukses atau menjadi orang kaya, biasanya mereka melupakan gurunya. Apa lagi jika murid tersebut telah menjadi orang sukses dan dihormati. Sementara gurunya (yang dulu telah mengajarinya), masih tetap sosok seorang guru yang lugu, dan berpenampilan biasa-biasa saja, bahkan terkesan kampungan. Dilihat secara penampilan, mungkin bisa dikatakan kampungan. Wajarlah karena sang guru sudah tua, ditambah dengan kebiasaan berpakaian sederhana, bahkan memakai peci yang warnanya sudah bladus, dengan poisi miring. Tapi jika diukur dengan skala psikologis figur seperti ini harus kita hormati. Guru-guru seperti inilah yang telah mengajarkan moral positif dan mencetak karakter bangsa. Guru adalah jabatan yang membutuhkan profesi atau keahlian khusus. Pekerjaan sebagai guru tidak bisa dilakukan oleh seseorang tanpa mempunyai keahlian sebagai guru.
Tapi sayang, figur guru seperti ini di mata muridnya yang memiliki penampilan meyakinkan, apa lagi jika muridnya telah menjadi pejabat yang disegani, guru seperti ini sudah tidak diidolakan. Pandangan seperti ini terbawa ke dalam dunia politik. Jika adal pemilihan pemimpin bangsa, biasanya kriteria yang pertama adalah dilihat dari figur dan penampirannya.
Situasi dan kondisi seperti diuraikan di atas, sepertinya telah membuat Ibu Pertiwi murka, karena melihat bangsanya yang telah durhaka terhadap gurunya. Dulu bangsa kita sangat fanatis dengan ungkapan bahwa guru itu harus “digugu dan ditiru” kini. Akan tetapi sangat jauh berbeda dengan situasi zaman modern sekarang. Di dalam perkataan “guru” sudah tidak menyiman kharismatik lagi. Dengan kata lain citra guru telah banyak ternodai, baik oleh internal, lebih-lebih oleh eksternal.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !