Headlines News :
Home » » Mukena Merah Dini

Mukena Merah Dini

Diposting Oleh aosin suwadi pada Selasa, 08 April 2014 | 10.17



Mukena Merah  Dini
Karya : Mukhayaroh




Dingin yang terasa dari hujan yang turun nampaknya tak mendinginkan suasana hati Dinda. Matanya yang cekung dan sayu terus tertunduk menatap kosong pada lantai tanah merah rumahnya. Nafasnya berat. Sesekali terdengar hembusan dari hidungnya yang terasa sesak. Berharap dapat menghembuskan pula segala beban hidup yang harus ditanggungnya. 

Diliriknya kalender pemberian Bu Nur pedagang kentang langganannya sekaligus tempatnya bekerja di pasar. Besok Mak Eti datang menagih uang pinjaman bekas mengobati almarhum ayahnya dulu, tapi bukan itu yang menghadang nafasnya. Ya, bukan itu.
Seharian donat yang dititipkan juga tak habis. Hanya dua belas buah donat yang laku. Itu berarti Dinda hanya mengantongi uang enam ribu rupiah. Dizaman serba mahal seperti ini uang enam ribu rupiah tak dapat memberinya makan sekeluarga.
Tiba-tiba saja, tadi sore ketika dirinya baru saja pulang sehabis mengambil dagangan donat yang dititipkan ke warung, Dini adiknya, berkata...
”Kak Dinda... ”, ucapnya malu-malu. ”Dini ingin punya mukena baru, mukenanya sudah gak cukup, gak menutup aurat Dini”. Dini berdiri disampingnya sambil memperlihatkan mukena yang usang dan kekecilan. Warnanya sudah pudar. Apalagi renda bagian bawahnya entah sudah kemana terbangnya. Maklum, mukena itu warisan yang dibeli Mak ketika Dinda menginjak umur tujuh tahun dulu dan kini diwariskan kepada Dini. 
”Kata Bu Ustadzah Isra Mi’raj itu hari ulang tahunnya salat kan Kak?! Dini ingin sekali nanti memberi kado salat Dini yang pertama dengan bacaan yang tak terputus-putus lagi. Dini ingin sekali Kak!”. kata Dini polos. Kata-kata itu terus terngiang ditelinga Dinda.
Dinda tahu, Dini bukanlah anak yang manja. Diusianya yang baru delapan tahun, dirasanya lebih dewasa dibandingkan dengan umurnya. Selama ini tak sekalipun Dini meminta sesuatu yang memberatkannya. Bahkan untuk sekedar meminta baju baru di hari lebaran, Dini pun tak pernah mengingatnya. Rupanya keadaan cukup memberinya pengertian. Ya, pengertian tentang betapa susahnya mencari sesuap nasi untuk orang kecil seperti keluarganya.
Dan sekarang, disaat adiknya menginginkan sesuatu. Sesuatu yang memang sudah selayaknya dia berikan bahkan terbilang seharusnya. Dinda tak dapat melakukan apa-apa. Perasaan sedih menghapiri nalurinya sebagai Kakak. Hatinya remuk bagai dihantam palu godam. Jangankan untuk membeli mukena, untuk makan besok pun tak punya. Hatinya terasa diiris-iris. Permintaan itu tiba-tiba muncul sebagai hakim yang mendakwa dirinya sebagai orang yang tidak berguna karena tak mampu memberikan kesaksian kalimat penghibur yang dapat menjawab setiap kata permohonan sang adik.
Hujan yang mengguyur semakin deras. Suara petir serta kilat yang menyambar menambah kegetiran malam.
Uhuuk... uhuuk..uhuuk...
”Ya Allah... Mak batuk lagi...”. Dinda membatin terlebih pada dirinya sendiri. Belingsat kakinya yang gesit menuruni dipan dan terus melangkah pada kamar Mak disampingnya.
Mak tampak agak tenang setelah meminum beberapa teguk air yang sengaja disandingkannya. Matanya memerah menahan rasa sakit yang ditimbulkan. Dini masih tertidur pulas disampingnya. Mungkin kecapekan setelah seharian membantu mengisi donat ke warung-warung sekitar menggantikan tugas Mak. Samar-samar mata Mak memandang Dinda yang tanpa disadarinya telah mematung dipintu kamar.
”Kamu belum tidur?”. Mak bertanya dengan suara agak parau, jelas batuk yang menjadi penyebabnya.
Dinda tak menjawab. Langkahnya terus melaju mendekati orang yang sangat dicintainya. Diciumnya tangan Mak dengan lembut.
”Maafkan Dinda Mak...” air mata Dinda menetes, ”Dinda belum bisa merawat Mak, Dinda belum bisa membawa Mak berobat, Dinda belum bisa...”. Kata-katanya terhenti ketika Mak menempelkan jari telunjuknya dibibir Dinda dengan lembut.
Ssst... ssst...
Kepalanya tergeleng pelan. Mak memeluk tubuh kurus Dinda. Sesaat kemudian, dilihatnya wajah tua Mak. Disana matanya menangkap garis lengkung setengah lingkaran dibibir Mak, walau Dinda tahu diujung matanya terdapat butiran embun yang bersembunyi dibalik bulu matanya yang hitam.
”Mak gak apa-apa. Insya allah sembuh”. Ucapnya tegar menyembunyikan penyakit yang sudah setahun diderita.
”Bangunlah, cepat tidur! ini sudah jam dua belas malam. Besok masih mau berjualan kan?”
Dinda mengangguk. Matanya masih menyisakan butir-butir kesedihan. Tapi entah kenapa  usapan lembut tangan Mak terasa menerbangkan setiap debu yang menyesakkan hati dan pikirannya. Diturutinya perintah itu. Dinda berpaling melangkah menuju kamarnya disebelah.

***
”Kak Dinda, mau ke pasar ya?” tanya Dini dengan mata berbinar. Dengan semangat, jari-jarinya yang imut terus membantu segala perlengkapan yang hendak dibawa Dinda setiap kali pergi ke pasar. Binar mata bening Dini itu menyimpan sejuta harap akan jawaban yang menjadi permintaannya.
Dinda tersenyum dan cukup memberi jawaban pada Dini. Sebenarnya Dinda tahu jawaban apa yang sangat Dini inginkan. Tapi entahlah, dia sendiri pun tak tahu apakah dapat memenuhinya atau hanya dapat memberikan harapan kosong? Yang penting baginya saat ini adalah ikhtiar. Ya, ikhtiar. Semoga Sang Pemberi Rizki memberikan karuniaNya pada hari ini dengan rizki yang lebih.
Bergerumul orang-orang di pasar. Selalu saja banyak yang diperbincangkan. Entah itu penting atau tidak. Tapi kali ini Dinda tak sengaja mendengar obrolan mereka yang sangat heboh. Rupanya ibu-ibu itu sedang menyiapkan untuk acara peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Pantas kelihatannya ibu-ibu itu membeli beberapa lembar janur. Dan dikeranjangnya pasti terdapat segala perlengkapan sembako untuk membuat ketupat dan lepet[1]. Di Banten memang sudah tradisi membuat ketupat dan lepet setiap acara perayaan Hari Raya dan peringatan Isra Mi’raj seperti sekarang ini.
”Di acara peringatan Isra Mi’raj, kamu buat ketupat berapa?”
”Cuma tiga liter”
”Acaranya malam apa sore?”
”Malam. Oh iya nanti datang ya! Di kampungku insya allah penceramahnya TOP, itu tuh Ustadz yang sering muncul di TVOne. Kamu pengen tahu aslinya kan? Makanya jangan sampai lupa lho…”
”Iya deh..”.
 Masya allah… sudah dekat acara Isra Mi’rajnya.
Dinda kembali teringat dengan sebuah mukena baru yang ingin sekali dihadiahkan kepada adiknya, Dini. Hingga saat ini dirinya belum juga dapat mengumpulkan uang. Bayangan adiknya memakai sebuah mukena yang sudah lagi tak menutupi auratnya menari-nari dipelupuk matanya. Dadanya terasa sesak.
Dihampiri Bu Nur yang sudah sibuk melayani pembeli. Dengan tangannya yang gesit, Dinda langsung bergelut dengan sayuran serta aneka bumbu yang dipesan pembeli. Tiba-tiba Rani, teman SDnya dulu, datang menghampiri dan memesan beberapa bumbu kepadanya.
“Dinda sudah beli baju warna putih belum?”, tanya Rani. Ditangannya terdapat beberapa kantong plastik berukuran sedang, dari merknya tertulis nama toko pakaian. Pasti habis membeli baju. Rani memang anak yang modis, pakaiannya saja selalu up to date. Dan belanja adalah bagian dari hobinya yang tak bisa dia tinggalkan.
”Belum”. Jawab Dinda singkat.
”Wah cepetan beli! kan acaranya sudah dekat. Kata panitia acaranya, pakaian kita harus putih-putih lho. Isra Mi’raj kan perjalanan suci, Nabi Muhamadnya saja disucikan terlebih dahulu sebelum mendapat wahyu, makanya pakaian kita juga warna putih artinya suci begitu katanya”. Cerocos Rani panjang lebar.
Bu Nur tertawa. Rupanya mendengarkan juga apa yang dikatakan Rani, padahal kelihatannya Bu Nur cuek saja melayani pembeli.
”Ya memang, tapi kan yang menyucikan kita bukan pakaian tapi ibadah dan tingkah laku kita”, Bu Nur menimpali.
”Aduh Bu, itu sih lain lagi, yang penting kita mengikuti tema acaranya saja biar dapat ikutan menghadiri, kan rugi kalau gak datang orang penceramahnya dai kondang begitu..”
”Terserah Nong[2] Rani saja, Bu Nur mah gak beli ah, pakaian warna putih yang dulu juga masih bagus”
”Terserah juga deh. Mana nih sudah belum pesanannya?”.
Sebuah bungkusan kantung plastik diulurkannya kepada Rani. Baru saja Rani membayar, teman-temannya datang. Suasana kembali riuh. Mereka terus saja berbicara seperti dunia hanya milik mereka.
”Oh iya, kita pakai parfum paris kan nanti? ”
”Nanti kita kumpul dulu ya dirumah Rani”
”Kita datang habis maghrib saja. Biar kita dapat duduk di depan, nanti kalau habis isya datangnya gak kebagian tempat. Biasanya kan begitu, apalagi ini kan da’i kondang pasti padat”
”Ustadznya kan ganteng, masih muda, artis lagi, nanti gue mau minta foto ah...
”Pokoknya kita kudu tampil cantik, selain penceramahnya ganteng disana kan pasti ada Rio cs ha..ha..ha..”
***

Dinda pulang dengan membawa uang delapan puluh ribu rupiah sebagai upahnya membantu Bu Nur berjualan selama tiga hari. Tadi jualannya laku keras, maka Dinda pun mendapat tambahan upah. Rasanya cukup jika digunakan untuk membeli mukena. Tak usah yang bagus, asalkan mukena itu dapat menutupi aurat Dini ketika salat.
Diliriknya etalase toko perlengkapan salat disampingnya. Dihatinya, Dinda ingin langsung mampir ke toko tersebut, tetapi sebentar lagi adzan magrib berkumandang dan toko-toko pun banyak yang sudah tutup. Mak dan Dini pasti sudah menunggu dirumah.
”Masya allah Mak!”. Dinda panik melihat Mak yang batuk-batuk tiada henti. Mukanya pucat dan matanya terlihat memerah. Badannya juga panas. Padahal Mak sudah meminum obat-obatan warung dan obat tradisional pemberian tetangga.
Dini ketakutan. Air matanya tak henti-hentinya mengalir. Ada Bu Solehah, tetangnga baiknya, yang rupanya menemani Mak sambil menunggu Dinda pulang dari pasar.
”Dinda, sudah cepat bawa ibumu berobat! Kasihan, biar Dini sama ibu disini”. Bu Solehah  menyarankan. Tangannya terulur memberikan sesuatu pada tangan Dinda. Uang lembaran seratus ribu rupiah. Dini masuk kedalam kamar. Sementara itu Dinda bersiap-siap membawa Mak berobat. Semoga dengan uang yang ada cukup untuk membawa Mak ke dokter.
”Kak Dinda...”. Dini datang dari kamarnya dengan membawa sesuatu. ”Ini uang tabungan Dini. Semoga cukup untuk menambahi uang kakak”, sambungnya dengan nada yang masih terputus-putus karena sedih.
”Ini tabungan Dini untuk beli mukena kan?”, tanya Dinda
Dini menggeleng. ”Dini ingin Mak cepat sembuh”
”Nanti Kakak ganti ya insya allah”
Dini menggelengkan kepala. Menolak. Dan terus memaksa Dinda untuk menerima pemberiannya. ”Dini bisa gantian pakai mukena Mak atau Kak Dinda saja”.

***

Di depan toko perlengkapan Haji dan Umroh, Dinda melihat mukena-mukena yang sengaja dijejerkan pemiliknya. Kembali dia teringat permintaan Dini adiknya.
”Di hari Isra Mi’raj nanti, Dini ingin sekali memperbaiki hafalan salat, Kak. Dini ingin salat yang sempurna. Bacaannya gak bolong-bolong lagi kayak dulu. Kata Bu Ustadzah malam Isra Mi’raj itu kan ulang tahunnya salat, makanya Dini ingin sekali belajar salat dengan mukena yang menutupi aurat”. Jelas Dini bersemangat.
Mak cukup mengerti apa yang dirasakan oleh Dinda tentang kondisi keuangannya saat ini. Dulu, saat dirinya masih bisa membantu Dinda berjualan, kebutuhannya cukup terpenuhi. Hampir tak pernah merasa kekurangan, bahkan walaupun sedikit masih bisa menabung untuk makan besok. Tetapi sekarang, penyakit yang dideritanya membuat Dinda melarangnya untuk berjualan. Demi kesehatan Mak katanya. Apalagi saat ini, bahan adonan donat melambung tinggi membuat kondisi keuangan keluarganya makin carut-marut.
”Kalau begitu pakai punya Mak saja, punya Mak kan besar pasti bisa menutupi aurat Dini. Nanti kita pakai gantian”. Mak menawarkan pendapatnya.
”Lho nanti kalau bergantian kita gak bisa berjamaah dong!? Padahal Dini kan ingin sekali salat berjamaah bareng Mak dan Kak Dinda biar sekalian bisa belajar prakteknya langsung”.
”Bukannya di madrasah Dini belajar praktek salat?”. Tanya Mak tak mau kalah.
”Iya sih tapi kan cuma bentar, kalau ingin bisa kita harus terus melakukannya dan terus belajar dirumah, itu kata Bu Ustadzah, Mak”. ucap Dini bersemangat.
”Tapi... kalau Kak Dinda belum punya uang juga gak apa-apa, biar Dini pakai punya Mak kita gantian”. Sambung Dini sambil terus membuka buku hafalan salatnya.
Maafin Kak Dinda sayang! Kakak gak bisa bantu mempersembahkan kado sucimu itu.
”Nong Dinda!” Bu Rini memanggilnya dari belakang. Dinda menghampiri.
”Ada apa Bu?”, tanya Dinda ramah
”Dari tiga hari yang lalu Ibu cari, tapi baru sekarang ketemu orangnya. Ibu kan sudah janji mau ngasih oleh-oleh sepulang umroh. Terima ya Nong ala kadarnya”
”Terima kasih banyak Bu”

***

Suasana rumah masih seperti biasanya. Sangat biasa. Hanya satu yang membuatnya bahagia. Mak sudah semakin sehat. Melihat Dinda membawa bingkisan, semuanya berkumpul. Dibukanya bingkisan yang cukup besar itu, didalamnya terdapat kurma, kacang Arab, kerudung, dan Subhanallah....Tiga Mukena cantik buatan Arab.
”Wah, bagus sekali. Makasih banyak ya Kak Dinda!”. Dini begitu sumringah menerimanya. Tanpa basa-basi Dini langsung mencobanya.Seketika itu juga Dinda bersujud syukur kepada Sang Pemberi Kebahagiaan.
Di luar mulai ramai, orang-orang terutama ibu-ibu telah siap dengan baju bernuansa putihnya menuju masjid. Takut ketinggalan katanya. Adzan isya baru berkumandang. Tiba-tiba Dinda teringat sesuatu yang sempat terlupakan, amanat mengenai pesanan hiasan kerudung milik Bu Wardah. Hiasan kerudung itu akan dipakainya saat menghadiri peringatan Isra Mi’raj malam ini.
”Mak, Dini mana?”, tanya Dinda
”Lagi wudu. Ada apa?”.
”Enggak, Dinda mau pergi dulu nganterin pesanan hiasan kerudung milik Bu Wardah. Tadi pagi nitip dibelikan sama Dinda. Harus segera diantarkan, takut mau langsung dipakai. Dinda akan cepetan pulang kok, nanti setelah salat kita berangkat menghadiri Isra Mi’raj ke masjid bareng ya?”
”Ya sudah kalau begitu nanti Mak kasih tahu”.
Dengan langkah cepat Dinda menuju kerumah Bu Wardah. Jalanan sudah mulai ramai terutama di dekat masjid, tempat parkir kendaraannya pun sudah terisi hampir penuh. Bu Wardah telah menunggunya di depan pintu. Pakaian putihnya betul-betul indah. Dinda dipersilahkan masuk, tetapi menolak dengan santun. Bukan karena tak menghormati tawarannya, namun keadaan jalan yang sudah semakin ramai nanti bisa membuatnya menghambatnya untuk segera pulang. Lagi pula Dinda sudah terlanjur bilang kalau dirinya akan keluar hanya sebentar.
Benar dugaan Dinda, di jalan orang-orang sudah mulai ramai, ada yang menunggu temannya, ada yang sibuk bersiap-siap, dan lain sebagainya. Tetapi semuanya memakai pakaian bernuansa sama yaitu putih. Sampai didepan gang depan rumahnya pun keramaian masih terlihat, bahkan lebih ramai daripada dijalan sebelum-sebelumnya. Tapi, ada yang berbeda disana. Orang-orang banyak berkumpul diantara depan rumahya dan dua tetangganya. Entahlah pastinya didepan rumah siapa?. Hatinya merasa tak enak, tak tentu kenapa? Setelah dekat, ternyata orang-orang berkumpul tepat dirumahnya. Bahkan banyak ibu-ibu disana yang menangis. Jangan-jangan....
Inalillahi wa inna ilaihi rajiun.
Reruntuhan bagian eternit kamar Dini jatuh tepat dimana Dini sedang melakukan salat. Papannya yang tebal itu ambruk tepat mengenai bagian sumsum tulang belakangnya. Beratnya beban dan kerasnya pukulan yang menimpanya tak bisa membuat Dini bertahan. Mukenanya basah memerah oleh darah yang terus merembes keluar dari lubang hidung dan telinganya. Semuanya tak bergeming.
”Dini, Dini, ya Allah...”. Diantara sadar dan tidak, Dinda langsung memeluk jasad adiknya yang masih tetap dalam keadaan sujud. Sujud untuk salat pertama dan terakhir baginya di dunia.

SELESAI


[1] Lepet adalah makanan yang terbuat dari beras ketan dan dibungkus dengan lilitan janur. Biasanya dibuat sebagai pasangan dengan ketupat.
[2] Panggilan khas Banten yang ditujukan untuk wanita yang dianggapnya lebih muda dari si pembicara, artinya anak perempuan atau adik perempuan. Seperti kata Neng untuk Betawi.


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Popular Posts

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bahasa dan Sastra - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Aosin Suwadi