Mukena Merah Dini
Karya : Mukhayaroh
Dingin yang terasa dari hujan yang
turun nampaknya tak mendinginkan suasana hati Dinda. Matanya yang
cekung dan sayu terus tertunduk menatap kosong pada lantai tanah merah rumahnya.
Nafasnya berat. Sesekali terdengar hembusan dari hidungnya yang terasa sesak.
Berharap dapat menghembuskan pula segala beban hidup yang harus ditanggungnya.
Diliriknya kalender pemberian
Bu Nur pedagang kentang langganannya sekaligus tempatnya bekerja di pasar. Besok
Mak Eti datang menagih uang pinjaman bekas mengobati almarhum ayahnya dulu,
tapi bukan itu yang menghadang
nafasnya. Ya, bukan itu.
Seharian donat yang dititipkan
juga tak habis. Hanya dua belas buah donat yang laku. Itu berarti Dinda hanya mengantongi uang enam ribu rupiah. Dizaman serba mahal seperti ini
uang enam ribu rupiah tak dapat memberinya makan sekeluarga.
Tiba-tiba saja, tadi sore
ketika dirinya baru saja pulang sehabis mengambil dagangan donat yang
dititipkan ke warung, Dini adiknya, berkata...
”Kak Dinda... ”, ucapnya
malu-malu. ”Dini ingin punya mukena baru, mukenanya sudah gak cukup, gak
menutup aurat Dini”. Dini berdiri disampingnya sambil memperlihatkan mukena
yang usang dan kekecilan. Warnanya sudah pudar. Apalagi renda bagian bawahnya
entah sudah kemana terbangnya. Maklum, mukena itu warisan yang
dibeli Mak ketika Dinda menginjak umur tujuh tahun dulu dan kini diwariskan kepada Dini.
”Kata Bu Ustadzah Isra Mi’raj
itu hari ulang tahunnya salat kan Kak?! Dini ingin sekali nanti memberi kado salat Dini yang pertama dengan bacaan
yang tak terputus-putus lagi. Dini ingin sekali Kak!”. kata Dini polos. Kata-kata itu terus terngiang ditelinga Dinda.
Dinda tahu, Dini bukanlah anak yang manja. Diusianya yang baru
delapan tahun, dirasanya lebih dewasa dibandingkan dengan umurnya. Selama ini tak sekalipun Dini meminta sesuatu yang memberatkannya. Bahkan untuk sekedar meminta baju baru di hari lebaran, Dini pun tak
pernah mengingatnya. Rupanya keadaan cukup memberinya pengertian. Ya,
pengertian tentang betapa susahnya mencari sesuap nasi untuk orang kecil
seperti keluarganya.
Dan sekarang, disaat adiknya
menginginkan sesuatu. Sesuatu yang memang sudah selayaknya dia berikan bahkan terbilang
seharusnya. Dinda tak dapat melakukan apa-apa. Perasaan sedih menghapiri nalurinya sebagai Kakak. Hatinya remuk bagai dihantam palu godam. Jangankan
untuk membeli mukena, untuk makan besok pun tak punya. Hatinya terasa
diiris-iris. Permintaan itu tiba-tiba muncul sebagai hakim yang mendakwa dirinya
sebagai orang yang tidak berguna karena tak mampu memberikan kesaksian kalimat
penghibur yang dapat menjawab setiap kata permohonan sang adik.
Hujan yang mengguyur semakin
deras. Suara petir serta kilat yang menyambar menambah kegetiran malam.
Uhuuk... uhuuk..uhuuk...
”Ya Allah... Mak batuk lagi...”. Dinda membatin
terlebih pada dirinya sendiri. Belingsat kakinya yang gesit menuruni dipan dan
terus melangkah pada kamar Mak disampingnya.
Mak tampak agak tenang setelah
meminum beberapa teguk air yang sengaja disandingkannya. Matanya memerah
menahan rasa sakit yang ditimbulkan. Dini masih tertidur pulas disampingnya.
Mungkin kecapekan setelah seharian membantu mengisi donat ke warung-warung
sekitar menggantikan tugas Mak. Samar-samar mata Mak memandang Dinda yang tanpa disadarinya telah mematung
dipintu kamar.
”Kamu belum tidur?”. Mak
bertanya dengan suara agak parau, jelas batuk yang menjadi penyebabnya.
Dinda tak menjawab. Langkahnya
terus melaju mendekati orang yang sangat dicintainya. Diciumnya tangan Mak
dengan lembut.
”Maafkan Dinda Mak...” air
mata Dinda menetes, ”Dinda belum bisa merawat Mak, Dinda belum bisa membawa Mak
berobat, Dinda belum bisa...”. Kata-katanya terhenti ketika Mak menempelkan
jari telunjuknya dibibir Dinda dengan lembut.
Ssst... ssst...
Kepalanya tergeleng pelan. Mak
memeluk tubuh kurus Dinda. Sesaat kemudian, dilihatnya wajah tua Mak. Disana matanya menangkap garis lengkung setengah lingkaran dibibir Mak, walau Dinda tahu diujung matanya terdapat butiran embun yang bersembunyi
dibalik bulu matanya yang hitam.
”Mak gak apa-apa. Insya allah
sembuh”. Ucapnya tegar menyembunyikan penyakit yang sudah
setahun diderita.
”Bangunlah, cepat tidur! ini sudah jam dua belas malam. Besok masih mau
berjualan kan?”
Dinda mengangguk. Matanya masih
menyisakan butir-butir kesedihan. Tapi entah kenapa usapan lembut tangan Mak terasa menerbangkan setiap debu yang menyesakkan
hati dan pikirannya. Diturutinya
perintah itu. Dinda berpaling melangkah menuju kamarnya disebelah.
***
”Kak Dinda, mau ke pasar ya?” tanya Dini
dengan mata berbinar. Dengan semangat, jari-jarinya yang imut terus membantu
segala perlengkapan yang hendak dibawa Dinda setiap kali pergi ke pasar. Binar mata bening Dini itu menyimpan sejuta harap akan jawaban yang menjadi permintaannya.
Dinda tersenyum dan cukup
memberi jawaban pada Dini. Sebenarnya Dinda tahu jawaban apa yang sangat Dini
inginkan. Tapi entahlah, dia sendiri pun tak tahu apakah dapat memenuhinya atau
hanya dapat memberikan harapan kosong? Yang penting baginya saat ini adalah
ikhtiar. Ya, ikhtiar. Semoga Sang Pemberi Rizki memberikan
karuniaNya pada hari ini dengan rizki yang lebih.
Bergerumul orang-orang
di pasar. Selalu saja banyak
yang diperbincangkan.
Entah itu penting atau tidak. Tapi kali ini Dinda tak sengaja mendengar obrolan
mereka yang sangat heboh. Rupanya ibu-ibu itu sedang menyiapkan untuk acara
peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Pantas kelihatannya ibu-ibu itu membeli beberapa
lembar janur. Dan dikeranjangnya pasti terdapat segala perlengkapan sembako
untuk membuat ketupat dan lepet[1]. Di Banten memang sudah tradisi membuat
ketupat dan lepet setiap acara perayaan Hari Raya dan peringatan Isra Mi’raj
seperti sekarang ini.
”Di acara peringatan Isra Mi’raj,
kamu buat ketupat berapa?”
”Cuma tiga liter”
”Acaranya malam apa sore?”
”Malam. Oh iya nanti datang
ya! Di kampungku insya allah penceramahnya TOP, itu tuh Ustadz yang sering
muncul di TVOne. Kamu pengen tahu aslinya kan? Makanya jangan sampai lupa lho…”
”Iya deh..”.
Masya allah… sudah dekat acara Isra Mi’rajnya.
Dinda kembali teringat dengan sebuah
mukena baru yang ingin sekali dihadiahkan kepada adiknya, Dini. Hingga saat ini
dirinya belum juga dapat mengumpulkan uang. Bayangan adiknya memakai sebuah
mukena yang sudah lagi tak menutupi auratnya menari-nari dipelupuk matanya.
Dadanya terasa sesak.
Dihampiri Bu Nur yang sudah sibuk
melayani pembeli. Dengan tangannya yang gesit, Dinda langsung bergelut dengan
sayuran serta aneka bumbu yang dipesan pembeli. Tiba-tiba Rani, teman SDnya
dulu, datang menghampiri dan memesan beberapa bumbu kepadanya.
“Dinda sudah beli baju warna putih
belum?”, tanya Rani. Ditangannya terdapat beberapa kantong plastik berukuran
sedang, dari merknya tertulis nama toko pakaian. Pasti habis membeli baju. Rani
memang anak yang modis, pakaiannya saja selalu up to date. Dan belanja adalah bagian dari hobinya yang tak bisa dia tinggalkan.
”Belum”. Jawab Dinda singkat.
”Wah cepetan beli! kan acaranya sudah dekat. Kata panitia acaranya, pakaian kita harus
putih-putih lho. Isra Mi’raj kan perjalanan suci, Nabi Muhamadnya saja
disucikan terlebih dahulu sebelum mendapat wahyu, makanya pakaian kita juga
warna putih artinya suci begitu katanya”. Cerocos Rani panjang lebar.
Bu Nur tertawa. Rupanya
mendengarkan juga apa yang dikatakan Rani, padahal kelihatannya Bu Nur cuek
saja melayani pembeli.
”Ya memang, tapi kan yang
menyucikan kita bukan pakaian tapi ibadah dan tingkah laku kita”, Bu Nur
menimpali.
”Aduh Bu, itu sih lain lagi, yang penting kita mengikuti tema acaranya saja biar
dapat ikutan menghadiri, kan rugi kalau gak datang orang penceramahnya dai
kondang begitu..”
”Terserah Nong[2]
Rani saja, Bu Nur mah gak beli ah, pakaian warna putih yang
dulu juga masih bagus”
”Terserah juga deh. Mana nih sudah
belum pesanannya?”.
Sebuah bungkusan kantung
plastik diulurkannya kepada Rani. Baru saja Rani membayar, teman-temannya
datang. Suasana kembali riuh. Mereka terus saja berbicara seperti
dunia hanya milik mereka.
”Oh iya, kita pakai parfum
paris kan nanti? ”
”Nanti kita kumpul dulu ya
dirumah Rani”
”Kita datang habis maghrib
saja. Biar kita dapat duduk di depan, nanti kalau habis isya datangnya gak
kebagian tempat. Biasanya kan begitu, apalagi ini kan da’i kondang pasti padat”
”Ustadznya kan ganteng, masih
muda, artis lagi, nanti gue mau minta foto ah...”
”Pokoknya kita kudu tampil cantik,
selain penceramahnya ganteng disana kan pasti ada Rio cs ha..ha..ha..”
***
Dinda pulang dengan membawa
uang delapan puluh ribu rupiah sebagai upahnya membantu Bu Nur berjualan selama
tiga hari. Tadi jualannya
laku keras, maka Dinda pun mendapat tambahan upah. Rasanya cukup jika digunakan
untuk membeli mukena. Tak usah yang bagus, asalkan mukena itu dapat menutupi
aurat Dini ketika salat.
Diliriknya etalase toko
perlengkapan salat disampingnya. Dihatinya,
Dinda ingin langsung mampir ke toko tersebut, tetapi sebentar lagi adzan magrib berkumandang dan toko-toko pun banyak yang sudah tutup. Mak dan Dini pasti
sudah menunggu dirumah.
”Masya allah Mak!”. Dinda
panik melihat Mak yang batuk-batuk tiada henti. Mukanya pucat dan matanya
terlihat memerah. Badannya juga panas. Padahal Mak sudah meminum obat-obatan
warung dan obat tradisional pemberian tetangga.
Dini ketakutan. Air matanya
tak henti-hentinya mengalir. Ada Bu Solehah, tetangnga baiknya, yang rupanya menemani Mak sambil menunggu Dinda pulang dari pasar.
”Dinda, sudah cepat bawa ibumu berobat! Kasihan, biar Dini sama ibu disini”.
Bu Solehah menyarankan. Tangannya
terulur memberikan sesuatu pada tangan Dinda. Uang lembaran seratus ribu
rupiah. Dini masuk kedalam kamar. Sementara itu Dinda bersiap-siap membawa Mak
berobat. Semoga dengan uang yang ada cukup untuk membawa Mak ke dokter.
”Kak Dinda...”. Dini datang
dari kamarnya dengan membawa sesuatu. ”Ini uang tabungan Dini. Semoga cukup
untuk menambahi uang kakak”, sambungnya dengan nada yang masih terputus-putus
karena sedih.
”Ini tabungan Dini untuk beli
mukena kan?”, tanya Dinda
Dini menggeleng. ”Dini ingin
Mak cepat sembuh”
”Nanti Kakak ganti ya insya
allah”
Dini menggelengkan kepala.
Menolak. Dan terus memaksa Dinda untuk menerima pemberiannya. ”Dini bisa
gantian pakai mukena Mak atau Kak Dinda saja”.
***
Di depan toko perlengkapan
Haji dan Umroh, Dinda melihat mukena-mukena yang sengaja dijejerkan pemiliknya.
Kembali dia teringat permintaan Dini adiknya.
”Di hari Isra Mi’raj nanti, Dini ingin sekali memperbaiki hafalan
salat, Kak. Dini ingin salat yang sempurna. Bacaannya gak bolong-bolong lagi kayak dulu. Kata Bu Ustadzah malam Isra Mi’raj itu kan ulang
tahunnya salat, makanya Dini ingin sekali belajar salat dengan mukena yang
menutupi aurat”. Jelas Dini bersemangat.
Mak cukup mengerti apa yang
dirasakan oleh Dinda tentang kondisi keuangannya saat ini. Dulu, saat dirinya
masih bisa membantu Dinda berjualan, kebutuhannya cukup terpenuhi. Hampir tak
pernah merasa kekurangan, bahkan walaupun sedikit masih bisa menabung untuk
makan besok. Tetapi sekarang, penyakit yang dideritanya membuat Dinda
melarangnya untuk berjualan. Demi kesehatan Mak katanya. Apalagi saat ini, bahan
adonan donat melambung tinggi membuat kondisi keuangan keluarganya makin carut-marut.
”Kalau begitu pakai punya Mak
saja, punya Mak kan besar pasti bisa menutupi aurat Dini. Nanti kita pakai
gantian”. Mak menawarkan pendapatnya.
”Lho nanti kalau bergantian
kita gak bisa berjamaah dong!? Padahal Dini kan ingin sekali salat berjamaah
bareng Mak dan Kak Dinda biar sekalian bisa belajar prakteknya langsung”.
”Bukannya di madrasah Dini
belajar praktek salat?”. Tanya Mak tak mau kalah.
”Iya sih tapi kan cuma bentar,
kalau ingin bisa kita harus terus melakukannya dan terus belajar dirumah, itu
kata Bu Ustadzah, Mak”. ucap Dini bersemangat.
”Tapi... kalau Kak Dinda belum
punya uang juga gak apa-apa, biar Dini pakai punya Mak kita gantian”. Sambung
Dini sambil terus membuka buku hafalan salatnya.
Maafin Kak Dinda sayang! Kakak gak bisa bantu mempersembahkan kado sucimu itu.
”Nong Dinda!” Bu Rini memanggilnya dari belakang. Dinda menghampiri.
”Ada apa Bu?”, tanya Dinda
ramah
”Dari tiga hari yang lalu Ibu
cari, tapi baru sekarang ketemu orangnya. Ibu kan sudah janji mau ngasih
oleh-oleh sepulang umroh. Terima ya Nong ala kadarnya”
”Terima kasih banyak Bu”
***
Suasana rumah masih seperti
biasanya. Sangat biasa. Hanya satu yang membuatnya bahagia. Mak sudah semakin
sehat. Melihat Dinda membawa bingkisan, semuanya berkumpul. Dibukanya bingkisan
yang cukup besar itu, didalamnya terdapat kurma, kacang Arab, kerudung, dan Subhanallah....Tiga
Mukena cantik buatan Arab.
”Wah, bagus sekali. Makasih banyak ya Kak Dinda!”. Dini begitu sumringah
menerimanya. Tanpa basa-basi Dini
langsung mencobanya.Seketika
itu juga Dinda bersujud syukur kepada Sang Pemberi Kebahagiaan.
Di luar mulai ramai,
orang-orang terutama ibu-ibu telah siap dengan baju bernuansa putihnya menuju
masjid. Takut ketinggalan katanya. Adzan isya baru berkumandang. Tiba-tiba
Dinda teringat sesuatu yang sempat terlupakan, amanat mengenai pesanan hiasan
kerudung milik Bu Wardah. Hiasan kerudung itu akan dipakainya saat menghadiri
peringatan Isra Mi’raj malam ini.
”Mak, Dini mana?”, tanya Dinda
”Lagi wudu. Ada apa?”.
”Enggak, Dinda mau pergi dulu nganterin
pesanan hiasan kerudung milik Bu Wardah. Tadi pagi nitip dibelikan sama Dinda. Harus
segera diantarkan, takut mau langsung dipakai. Dinda akan cepetan pulang kok,
nanti setelah salat kita berangkat menghadiri Isra Mi’raj ke masjid bareng ya?”
”Ya sudah kalau begitu nanti
Mak kasih tahu”.
Dengan langkah cepat Dinda
menuju kerumah Bu Wardah. Jalanan
sudah mulai ramai terutama di dekat masjid, tempat parkir kendaraannya pun
sudah terisi hampir penuh. Bu Wardah telah menunggunya di depan pintu. Pakaian
putihnya betul-betul indah. Dinda dipersilahkan masuk, tetapi menolak dengan
santun. Bukan karena tak menghormati tawarannya, namun keadaan jalan yang sudah
semakin ramai nanti bisa membuatnya menghambatnya untuk segera
pulang. Lagi pula Dinda sudah terlanjur bilang kalau
dirinya akan keluar hanya sebentar.
Benar dugaan Dinda, di jalan
orang-orang sudah mulai ramai, ada yang menunggu temannya, ada yang sibuk
bersiap-siap, dan lain sebagainya. Tetapi semuanya memakai pakaian bernuansa
sama yaitu putih. Sampai didepan gang depan rumahnya pun keramaian masih
terlihat, bahkan lebih ramai daripada dijalan sebelum-sebelumnya. Tapi, ada
yang berbeda disana. Orang-orang banyak berkumpul diantara depan rumahya dan
dua tetangganya. Entahlah pastinya didepan rumah siapa?. Hatinya merasa tak
enak, tak tentu kenapa? Setelah dekat, ternyata orang-orang
berkumpul tepat dirumahnya. Bahkan banyak ibu-ibu disana yang menangis.
Jangan-jangan....
Inalillahi wa inna ilaihi
rajiun.
Reruntuhan bagian eternit
kamar Dini jatuh tepat dimana Dini sedang melakukan salat. Papannya yang tebal
itu ambruk tepat mengenai bagian sumsum tulang belakangnya. Beratnya beban dan
kerasnya pukulan yang menimpanya tak bisa membuat Dini bertahan. Mukenanya
basah memerah oleh darah yang terus merembes keluar dari lubang hidung dan
telinganya. Semuanya tak bergeming.
”Dini, Dini, ya Allah...”. Diantara sadar dan tidak, Dinda
langsung memeluk jasad adiknya yang masih tetap dalam keadaan sujud. Sujud
untuk salat pertama dan terakhir baginya di dunia.
SELESAI
[1] Lepet adalah makanan yang terbuat dari
beras ketan dan dibungkus dengan lilitan janur. Biasanya dibuat sebagai
pasangan dengan ketupat.
[2] Panggilan khas Banten yang ditujukan untuk
wanita yang dianggapnya lebih muda dari si pembicara, artinya anak perempuan
atau adik perempuan. Seperti kata Neng untuk Betawi.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !