Kidung Air Mata Rindu
Karya: Muhayaroh
Karya: Muhayaroh
Suasana subuh masih tampak sepi. Kabut serta embun juga masih riang berkejaran menerobos celah ruang. Dinginnya angin terus menusuk pori-pori kulit Adin. Sedingin perasaannya yang terus menyimpan kerinduan serta kegelisahan terhadap Najmi, kakak satu-satunya, yang pergi setahun lalu dan hingga saat ini belum juga kembali.
“Rangkasbitung Pak! Satu,” ucap Adin pada Bapak yang menunggu loket pembelian tiket kereta api. Dia memang sengaja kuliah di daerah itu. Menurut kabar terakhir, kakaknya tinggal di sekitar Rangkasbitung. Dia ingin mencarinya sambil melanjutkan studi. Kereta api Banten Express jurusan Serang-Jakarta masih lima belas menit lagi baru akan datang. Kesempatan itu tak Adin sia-siakan tuk mencari Najmi. Matanya menyapu setiap orang yang berada di stasiun. Sayang, lagi-lagi nihil.
Tak lama kereta yang ditunggu datang. Seperti yang lainnya, Adin juga berusaha menaiki baja bergerak itu. Diraihnya pegangan pintu dari besi itu kuat-kuat, ia harus mampu menyelipkan tubuh kurusnya ditengah padatnya penumpang. Bersyukur dirinya masih bisa kebagian tempat didalam gerbong walaupun harus berdiri sepanjang perjalanan. Karena banyak penumpang lain yang tak kebagian tempat terpaksa berdiri di tempat mesin yang panas dan bau.
“Permisi Nak, boleh geser sedikit!” pinta seorang nenek. Orang yang dimaksud nenek tersebut tak menanggapi. Cuek. Malah ia bepura-pura tidur pulas. Miris hati Adin melihat nenek tersebut. Tapi apa boleh buat, kondisinya tak dapat memungkinkan tuk menolongnya. Melihat nenek tersebut Adin teringat ibunya di rumah. Beliau kini semakin rapuh. Batinnya dahaga oleh air kerinduan kepada putri satu-satunya. Ia pergi karena tak mau dijodohkan dengan laki-laki pilihan ayahnya. Setiap dirinya pulang, ibunya seakan-akan tak pernah bosan menanyakan perkembangan pencarian kepada Adin meski nihil masih terus menjadi jawaban.
“Mas, tiketnya Mas” suara petugas menyadarkan Adin dari lamunannya. Secepat kilat Adin menyodorkan tiket itu. Setelah diperiksa, tangannya dengan lincah menghapus jejak-jejak kesedihan itu. Dia tak ingin menimbulkan tanya dalam benak mereka yang memandang. Sungguh bukan pada tempatnya. “Permisi Mas, Permisi” Bruuuk!! Seorang pedagang menyenggol keras tubuhnya. Hampir saja ambruk. Di sana memang tak ada celah bahkan untuk sekadar lewat. Benar-benar padat.
Dari arah depan, seorang wanita berjilbab ungu muda tersenyum kepadanya. Dia Rani, mahasiswi semester II. Rani tersenyum santun dan mendekat kepadanya. Garis bibir setengah lingkaran itu sangat indah. Padanan baju, rok serta kerudungnya pas sekali. Kini jarak Rani semakin dekat dengan Adin. Tak lupa mengucap salam sebelumnya, Rani mulai berkata“ Maaf, apa Kak Adin yang punya dompet ini? Aku menemukan dompet ini terjatuh tepat di atas kakiku. Mungkin copetnya sedang sial hari ini. Tadi tak sengaja, aku melihat foto Kakak di dalam dompet. Jadi, aku kira ini memang dompet Kakak.” Tanya Rani kepadanya sambil mengulurkan dompet hitam lusuh.
Adin meraba saku belakanng celananya. Benar, dompet itu tak ada di tempatnya. “Terima kasih ya? Sekali lagi terima kasih banyak!” Ucap Adin malu-malu. Tangannya dengan sigap merogoh isi dompet. Utuh. Ketika hendak mengeluarkan sebagai rasa terima kasih. Tiba-tiba Rani menolak dengan halus. “Maaf, Kak! gak usah saya ikhlas kok.” Ucapnya santun. “Kalau boleh saya minta satu hal?” “Apa?” “Bagian ujung dompet yang sobek itu tolong dijahit ya! Biar lebih rapi kelihatannya” Seketika rona wajah Adin pucat menahan malu yang tiba-tiba hinggap.
***
Tiin tin tin...!!
Suara teriakan. Bunyi ban mobil berdecit. “Kecelakaan! Kecelakaan!” Riuh suara orang memekik.
Seorang wanita bersimbah darah. Tasnya terpelanting di tepi jalan. Aspal hitam itu berubah warna seketika. Tergeletak sesosok tubuh yang mengejan menahan sakit. Sebuah mobil sedan hitam telah menghantam tubuhnya. Dan naas! Dia melarikan diri. Meninggalkan seonggok tubuh yang hampir kehilangan bentuk.
“Tolong, tolong, ada kecelakaan! Kecelakaan!.” Teriakan itu masih sempat ia dengar sebelum gelap menyelimuti pandangannya.
***
“Adin, syukurlah kamu cepat datang. Ibumu Din, ibu.” Kalimat itu tak selesai terucap oleh Ayah. Adin tahu, kata apa yang hendak diucapkan Ayah kepadanya. Adin tak mau mendengar kata itu. Dan tak ingin kata itu ada untuknya. Adin yang hatinya diliputi kecemasan, hampir ambruk melihat kondisi ibunya yang terbaring dengan peralatan medis menempeli tubuhnya. Meski ia hanya mampu memandang Ibunya dari balik kaca jendela.
“Maaf, Ibu Anda kritis. Berdo’alah untuk kesembuhannya!” ucap dokter yang baru saja keluar dari ruangan.
“Apa yang harus saya lakukan selain itu, Dok?” tanya Adin memelas
“Hmm, begini Nak!” dokter mengajak Adin berjalan beberapa langkah, seblum melanjutkan ucapannya “Coba bawakan Najmi, kakakmu, kesini! Dari tadi ibumu memanggil-manggilnya terus. Semangat untuk sembuhnya terlihat sangat lemah dan penyakit leukimia-nya kini semakin parah. Mungkin dengan begitu beban Ibu Anda akan dapat berkurang.”
“Ya Dok, nanti saya usahakan. Tolong lakukan yang terbaik untuk Ibu saya!”
“Pasti. Kalau begitu saya permisi dulu!” ucap dokter sebelum kembali memasuki ruangan.
Ayahnya terlihat gelisah. Keringat terus mengucuri dahinya, matanya juga sayu. Sementara kepala Adin terasa berat, Hatinya terus saja meletupkan pertanyaan yang belum mampu menemui jawaban.
Kak Najmi, kapan pulang? Kasian ibu.
Adin terduduk di kursi tunggu. Lemas.
***
Tekadnya sudah bulat. Ia tidak ingin menundanya lagi. Setelah beberapa hari bergelut antara hidup dan mati, berdamai dengan jarum suntik dan peralatan medis. Ia telah memutuskan untuk menghadapinya sekarang tidak lagi menghindarinya. Ia akan pulang.
Kreek
“Assalamu’alaikum Kak!” Gadis cantik masuk mendekatinya. Ia tersenyum ramah. Ditangannya terlihat membawa sekantung bungkusan dan menaruhnya di meja dekat tempatnya berbaring.
“Walaikum salam”
“Bagaimana keadaan Kakak sekarang? Saya minta maaf sekali lagi atas kecerobohan Pak Tarmin, supir bapak saya itu, yang sudah menabrak Kakak hingga jadi begini”
“Alhamdulillah sudah baikan. Sudahlah Rani! Lagi pula Kakak juga yang salah berjalan tapi pikiran kemana-mana. Jadi gak mendengar kalau ada klakson bunyi. Gak usah dibahas lagi ya!”
“Terus Kakak mau kemana? Kok bersiap-siap begini. Luka Kakak kan belum sembuh benar”
“Seperti yang pernah Kakak ceritakan, sekarang mungkin sudah waktunya Kakak bersikap dewasa. Kakak tidak mau lebih menyakitkan orang tua Kakak lagi hanya karena Kakak belum siap menikah, sampai-sampai Kakak juga gak sempat tahu siapa laki-laki yang akan dijodohkan dengan Kakak. Sekarang Kakak ingin pulang, Ran.”
“Pulang? Hmm...” tiba-tiba Rani membetulkan jilbabnya yang tak berantakan “Kakak gak usah pulang kerumah!”
“Kenapa?”
“Keluarga Kakak ada disini. Ibu Kakak dirawat dirumah sakit ini juga, dua hari yang lalu saya melihat Adin ada didepan ruang UGD”
“Astagfirullah.” Sontak Najmi berdiri, baju yang masih dipegangnya tiba-tiba terjatuh diatas lantai.
“Maaf, Kak! Saya baru bisa bilang sekarang. Saya gak tega ngasih tahu Kakak yang masih dalam keadaan sakit”
***
Rasa takut itu semakin menjadi-jadi tatkala dokter begitu tergesa-gesa dan terlihat panik memasuki ruangan dimana ibunya terbaring. Susana semakin mencekam ketika suster bolak-balik mengambil sesuatu dengan sedikit berlari.
“Din, ada apa ini? Kenapa dengan ibumu, Din?”
“Sudahlah, Ayah! Kita doakan saja. Semoga ibu baik-baik saja disana”
“Ya Allah, andai saja Kakakmu ada di sini mungkin itu bisa sedikit mengurangi beban yang diderita ibumu. Selama ini Ibumu melarang Ayah menceritakan penyakitnya kepada kalian. Waktu itu ibumu merasa kondisinya semakin memburuk. Ibumu ingin melihat Kakakmu menikah sebelum ia benar-benar meninggalkan kita semua. Untuk itu, Ayah menjodohkan Kakakmu dengan Herman, sahabatnya yang pernah menolongnya dari penjambretan”
“Kak Herman, Kakakku.” ucap Rani lirih. Secara bersamaan, Ayah dan Adin menengok ke asal suara. Di sebelah kanan mereka, Najmi dan Rani sudah berdiri lima menit yang lalu.
“Ayah, maafkan Najmi!” Najmi memeluk ayahnya dengan kerinduan yang telah membisukan kata-kata mereka. Kebisuan itu terpecahkan ketika seorang perawat dan seorang dokter tiba-tiba keluar dari dalam ruangan. Di wajahnya terlihat mendung yang dapat meruntuhkan setiap asa. Setelah menghirup nafas beberapa saat, dokter itu menegakkan kepala dan mulai mengucapkan sesuatu.
“Nak Adin dan semuanya, kalian harus bisa menerima semua ini dengan sabar! Maaf, Bu Aini sudah berpulang.”
“Ibu.”
SELESAI
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !