Headlines News :
Home » » Fenomena Upin-Ipin dan AFTA 2015

Fenomena Upin-Ipin dan AFTA 2015

Diposting Oleh aosin suwadi pada Kamis, 03 April 2014 | 06.56

Ketika negara kita sedang membutuhkan tenaga profesional dalam  membangun bangsa, sementara para ahali yang benar-benar profesional, banyak yang melarikan diri ke negara lain. Selain itu tenaga kerja kasar  juga berduyun-duyun mengantre menanti giliran berangkat ke luar negeri, hanya untuk menjadi pembantu rumah tangga. Fenomena ini mengandung tanda tanya besar, ada apa sebenarnya di balik semua ini. Sunggguh sesuatu hal yang sangat ironis.

Sulit rasanya memisahkan Neil dan Ray dari layar TV ketika serial animasi tentang si kembar botak dari Malaysia, Upin-Ipin, telah mengudara. Maklum, kedua sepupu saya yang masih kelas 1 SD itu juga kembar. Mereka mungkin merasa ada ikatan emosional tersendiri dengan Upin-Ipin.

Neil dan Ray kerap meniru si Ipin yang sering berkata, “Betul..betul..betul!” Tak cuma itu, mereka juga fasih berdialek Melayu. Sering kali kalimat seperti, “Nak main ape?” (“e” dilafalkan “e” seperti kata emas), tercetus dari mulut mereka. Atau, “tidur” diubah menjadi “tido”, dan “takut” menjadi “takot”. Kalau sudah begitu, saya hanya bisa geleng kepala sambil tersenyum pahit. Sebab, idola masa kecil saya bukanlah tokoh dari negeri jiran, melainkan si Unyil.

Upin-Ipin memang sudah sangat terkenal. Bahkan, Disney Channel tak ragu menayangkannya, berdampingan dengan animasi “bule” seperti Donald Duck dan Shaun the Sheep yang duluan populer dan sudah mendunia. Publik jatuh-cinta pada Upin-Ipin karena sarat dengan pesan moral dan budaya yang disajikan secara menghibur. Sepak-terjang film memang fenomenal. Hal ini juga tengah terjadi di China. Demam Korea, Korean Wave, kini semakin menjadi-jadi. Koran The Wall Street Journal baru-baru ini melaporkan bahwa gemarnya masyarakat China akan film Korea membuat pola konsumsi barang mewah semakin tinggi.
 
Soal film Korea ini pun mendapat tanggapan dari Wang Qishan, Sekretaris Komite Sentral Partai Komunis China untuk Bidang Inspeksi Disiplin. “Saya telah menonton sejumlah film drama Korea…saya sadar bahwa mereka berada di depan kita…Mereka mempromosikan nilai-nilai budaya,” kata Wang. Tapi, siapa sangka bahwa salah satu animator Ipin-Upin adalah orang Indonesia? Ya, dia adalah Chikita Fawzi. Chikita hanyalah satu dari banyak animator Indonesia yang sukses berkiprah di luar negeri. Kita bisa lihat juga kiprah Ronny Gani, animator di Industrial Light & Magic, Singapura. Ia mengerjakan animasi yang terdapat di film buatan Hollywood, AS, bertajuk Pacific Rim.
 
Brain Drain & AFTA
Apa yang sebetulnya terjadi? Mengapa tenaga ahli yang kreatif asal Indonesia malah berkarya di negeri orang? Bukankah Indonesia juga sangat membutuhkan mereka? Apa yang terjadi jika kita kekurangan SDM ahli dan terdidik itu? Ya, “pelarian” SDM kreatif asal Indonesia ke luar negeri memang kerap menjadi topik diskusi hangat. Fenomena ini dinamakan brain drain. Tentu saja, jika tren ini terjadi terus-menerus dan dalam jumlah besar, Indonesia akan terkena imbas negatif. Apalagi, kita segera memasuki era perdagangan bebas ASEAN (AFTA) tahun depan. Kelak, izin bekerja di negara anggota ASEAN pun semakin gampang.
Sebetulnya, kisah brain drain juga sempat dialami Kanada pada periode 1990, berbarengan dengan berlakunya era perdagangan bebas di Amerika Utara (NAFTA). Kala itu, Kanada kehilangan banyak tenaga ahli–khususnya di sektor kesehatan, manajemen, dan pemrograman komputer–yang pindah dan bekerja ke AS.

Dukungan Pemerintah
Sebagai salah satu subsektor ekonomi kreatif, industri perfilman nasional memang layak mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Jangan sampai tenaga ahli asal Tanah Air malah hijrah ke luar negeri dan tak kembali lagi. Apalagi, kontribusi subsektor film, video, dan fotografi pada 2013 terhadap PDB nasional mencapai Rp 8,4 triliun, naik 13,5% dari tahun sebelumnya. Tentu saja, statistik itu menunjukkan betapa potensialnya bidang usaha tersebut. Pemerintah harus mampu membuat industri film atau animasi nasional berdaya saing tinggi. Supaya, tenaga ahli asal Indonesia yang sudah sempat berkiprah ke luar negeri mau kembali ke Tanah air. Kalau tidak demikian, sulit mengharapkan mereka “pulang kampung”.

Menurut Chikita Fawzi, animator asal Indonesia yang membuat Upin-Ipin, pemerintah Malaysia kerap memfasilitasi industri animasi lokal. Dukungannya sangat beragam, dari pendanaan, gedung kantor, hingga kegiatan promosi. Namun, pemerintah juga harus memperhatikan pelaku lokal. Tak banyak yang tahu bahwa Yogyakarta ternyata menyimpan potensi animator yang ahli dan kreatif. Alih-alih membuat karya untuk Indonesia, mereka malah mengerjakan proyek film pesanan rumah produksi luar negeri.
Animator di Yogyakarta beralasan, film animasi lokal tak mendapat jaminan iklim usaha yang kondusif. Menurut mereka, stasiun TV lokal di Korea Selatan hanya boleh menayangkan serial animasi lokal. Di sisi lain, pemerintah Korea pun memberikan dukungan pembiayaan kepada stasiun TV tersebut. Lagipula, bukankah industri film sudah lama dianggap sebagai salah satu kekuatan nonfisik (soft power) suatu bangsa? Dalam konteks hubungan internasional dan globalisasi, kekuatan nonfisik sudah mendapat posisi penting. Itu akan menjadi salah satu tolak-ukur suatu bangsa untuk bisa bersaing dengan yang lain..
 
Joseph Nye (Soft Power: The Means To Success in World Politics:2004), ilmuwan politik asal AS, mengatakan bahwa pemerintah zaman sekarang harus berbagi tempat di panggung politik, dengan para aktor yang bisa menggunakan informasi guna memobilisasi publik.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Popular Posts

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bahasa dan Sastra - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Aosin Suwadi