Ketika negara kita sedang
membutuhkan tenaga profesional dalam
membangun bangsa, sementara para ahali yang benar-benar profesional,
banyak yang melarikan diri ke negara lain. Selain itu tenaga kerja kasar juga berduyun-duyun mengantre menanti giliran
berangkat ke luar negeri, hanya untuk menjadi pembantu rumah tangga. Fenomena
ini mengandung tanda tanya besar, ada apa sebenarnya di balik semua ini. Sunggguh
sesuatu hal yang sangat ironis.
Sulit rasanya memisahkan Neil dan
Ray dari layar TV ketika serial animasi tentang si kembar botak dari Malaysia,
Upin-Ipin, telah mengudara. Maklum, kedua sepupu saya yang masih kelas 1 SD itu
juga kembar. Mereka mungkin merasa ada ikatan emosional tersendiri dengan
Upin-Ipin.
Neil dan Ray kerap meniru si Ipin
yang sering berkata, “Betul..betul..betul!” Tak cuma itu, mereka juga fasih
berdialek Melayu. Sering kali kalimat seperti, “Nak main ape?” (“e” dilafalkan
“e” seperti kata emas), tercetus dari mulut mereka. Atau, “tidur” diubah
menjadi “tido”, dan “takut” menjadi “takot”. Kalau sudah begitu, saya hanya
bisa geleng kepala sambil tersenyum pahit. Sebab, idola masa kecil saya
bukanlah tokoh dari negeri jiran, melainkan si Unyil.
Upin-Ipin memang sudah sangat
terkenal. Bahkan, Disney Channel tak ragu menayangkannya,
berdampingan dengan animasi “bule” seperti Donald Duck dan Shaun the Sheep yang
duluan populer dan sudah mendunia. Publik jatuh-cinta pada Upin-Ipin
karena sarat dengan pesan moral dan budaya yang disajikan secara menghibur.
Sepak-terjang film memang fenomenal. Hal ini juga tengah terjadi di China.
Demam Korea, Korean Wave, kini semakin menjadi-jadi. Koran The Wall Street Journal
baru-baru ini melaporkan bahwa gemarnya masyarakat China akan film Korea
membuat pola konsumsi barang mewah semakin tinggi.
Soal film Korea ini pun mendapat
tanggapan dari Wang Qishan, Sekretaris Komite Sentral Partai Komunis China
untuk Bidang Inspeksi Disiplin. “Saya telah menonton sejumlah film drama
Korea…saya sadar bahwa mereka berada di depan kita…Mereka mempromosikan
nilai-nilai budaya,” kata Wang. Tapi, siapa sangka bahwa salah satu
animator Ipin-Upin adalah orang Indonesia? Ya, dia adalah Chikita Fawzi. Chikita hanyalah satu dari banyak
animator Indonesia yang sukses berkiprah di luar negeri. Kita bisa lihat juga
kiprah Ronny Gani, animator di
Industrial Light & Magic, Singapura. Ia mengerjakan animasi yang terdapat
di film buatan Hollywood, AS, bertajuk Pacific Rim.
Brain Drain & AFTA
Apa yang sebetulnya terjadi? Mengapa tenaga ahli yang
kreatif asal Indonesia malah berkarya di negeri orang? Bukankah Indonesia juga sangat
membutuhkan mereka? Apa yang terjadi jika kita kekurangan SDM ahli dan terdidik
itu? Ya, “pelarian” SDM kreatif asal
Indonesia ke luar negeri memang kerap menjadi topik diskusi hangat. Fenomena
ini dinamakan brain drain. Tentu saja, jika tren ini terjadi
terus-menerus dan dalam jumlah besar, Indonesia akan terkena imbas negatif.
Apalagi, kita segera memasuki era perdagangan bebas ASEAN (AFTA) tahun depan.
Kelak, izin bekerja di negara anggota ASEAN pun semakin gampang.
Sebetulnya, kisah brain drain juga
sempat dialami Kanada pada periode 1990,
berbarengan dengan berlakunya era perdagangan bebas di Amerika Utara (NAFTA).
Kala itu, Kanada kehilangan banyak tenaga ahli–khususnya di sektor kesehatan,
manajemen, dan pemrograman komputer–yang pindah dan bekerja ke AS.
Dukungan Pemerintah
Sebagai salah satu subsektor ekonomi kreatif, industri
perfilman nasional memang layak mendapat perhatian lebih dari pemerintah.
Jangan sampai tenaga ahli asal Tanah Air malah hijrah ke luar negeri dan tak
kembali lagi. Apalagi, kontribusi subsektor film,
video, dan fotografi pada 2013 terhadap PDB nasional mencapai Rp 8,4 triliun,
naik 13,5% dari tahun sebelumnya. Tentu saja, statistik itu menunjukkan betapa
potensialnya bidang usaha tersebut. Pemerintah harus mampu membuat
industri film atau animasi nasional berdaya saing tinggi. Supaya, tenaga ahli
asal Indonesia yang sudah sempat berkiprah ke luar negeri mau kembali ke Tanah
air. Kalau tidak demikian, sulit mengharapkan mereka “pulang kampung”.
Menurut Chikita Fawzi, animator asal Indonesia yang
membuat Upin-Ipin, pemerintah Malaysia kerap
memfasilitasi industri animasi lokal. Dukungannya sangat beragam, dari
pendanaan, gedung kantor, hingga kegiatan promosi. Namun,
pemerintah juga harus memperhatikan pelaku lokal. Tak banyak yang tahu bahwa Yogyakarta ternyata
menyimpan potensi animator yang ahli dan kreatif. Alih-alih membuat karya untuk
Indonesia, mereka malah mengerjakan proyek film pesanan rumah produksi luar
negeri.
Animator di
Yogyakarta beralasan, film animasi lokal tak mendapat jaminan iklim usaha yang
kondusif. Menurut mereka, stasiun TV lokal di Korea Selatan hanya boleh
menayangkan serial animasi lokal. Di sisi lain, pemerintah Korea pun memberikan
dukungan pembiayaan kepada stasiun TV tersebut. Lagipula,
bukankah industri film sudah lama dianggap sebagai salah satu kekuatan nonfisik
(soft power) suatu bangsa? Dalam konteks hubungan internasional dan
globalisasi, kekuatan nonfisik sudah mendapat posisi penting. Itu akan menjadi
salah satu tolak-ukur suatu bangsa untuk bisa bersaing dengan yang lain..
Joseph Nye (Soft Power: The Means To Success in
World Politics:2004), ilmuwan politik asal AS, mengatakan bahwa pemerintah
zaman sekarang harus berbagi tempat di panggung politik, dengan para aktor yang
bisa menggunakan informasi guna memobilisasi publik.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !