Berkarya dan
Bercinta di Angkasa Seri Kedua
Karya: Aosin Suwadi
Pada seri kesatu telah diceritakan hubungan percintaan Beni dengan Seni yang tidak direstui oleh ibunya Seni yang materialistis. Tiga puluh lima tahun yang lalu Seni diusir dan tidak diperkenankan bertemu dengan Sarmi ibunya. Kini Sarmi menderita sakit kanker payu dara stadium lima.
“Je..., bapakmu mana? Sarmi menanyakan pak Norman kepada anak sulungnya. “Mau apa mah? Bapak masih di perjalanan, sebentar lagi juga datang!” Sebenarnya Sarmi mau menanyakan perihal Seni. Jauh di lubuk hatinya Sarmi sangat rindu ingin bertemu dengan Seni. Akan tetapi terhalang oleh ego dan gengsinya yang sangat tinggi. Beni dan Seni telah hidup bagahia bersama dengan ketiga anaknya. Beni telah menjadi pengusaha yang sukses, dengan berproprofesi sebagai penulis puisi di dunia maya. Beni telah bekerja sama dengan beberapa penerbit. Penghasilannya dari profesi sebagai penulis, ada yang diterima perbulan, permingguan, bahkan ada yang diterimanya setiap hari. “Assalaamu ‘Alaikuuuum!!” Pak Norman membuka pintu kamar rawat inap Sarmi. “Wa “Alaikumussalaam!” Jeje menyambutnya dengan mencium tangan bapaknya. “Gimana keadaan mamahmu?” Pak Norman bertanya dangan nada rendah. “Mamah dari tadi menunggu bapak terus!”
“Je..., bapakmu mana? Sarmi menanyakan pak Norman kepada anak sulungnya. “Mau apa mah? Bapak masih di perjalanan, sebentar lagi juga datang!” Sebenarnya Sarmi mau menanyakan perihal Seni. Jauh di lubuk hatinya Sarmi sangat rindu ingin bertemu dengan Seni. Akan tetapi terhalang oleh ego dan gengsinya yang sangat tinggi. Beni dan Seni telah hidup bagahia bersama dengan ketiga anaknya. Beni telah menjadi pengusaha yang sukses, dengan berproprofesi sebagai penulis puisi di dunia maya. Beni telah bekerja sama dengan beberapa penerbit. Penghasilannya dari profesi sebagai penulis, ada yang diterima perbulan, permingguan, bahkan ada yang diterimanya setiap hari. “Assalaamu ‘Alaikuuuum!!” Pak Norman membuka pintu kamar rawat inap Sarmi. “Wa “Alaikumussalaam!” Jeje menyambutnya dengan mencium tangan bapaknya. “Gimana keadaan mamahmu?” Pak Norman bertanya dangan nada rendah. “Mamah dari tadi menunggu bapak terus!”
“Pak.....!” Sarmi memanggil suaminya sambil menggeliat dan membalikkan
badannya pelan-pelan. Walaupun matanya tidak bisa melihat, tapi dengan indra
pendengarannya masih bisa mengenali bahwa yang datan adalah suaminya. Pak Norman
mengelus-ngelus kepala istrinya dengan penuh rasa sayang dan haru. “Pak...,
pak...!” Sarmi memanggil suaminya, dengan nada yang aneh, lain dari biasanya.
Hampir satu bulan dia dirawat di rumah sakit, kondisinya bukan membaik tapi semakin
menurun. Pak Norman bangkit dari duduknya, tapi Sarmi menarik tangannya dengan
sekuat tenaganya yang tersisa. “Paaaaaak, paaaak, jangan ke mana-mana yah!” Pak Norman dan Jeje
semakin cemas. “Suruh Jeje memanggil Seni Paaaak!” Pak Norman sangat memahami
apa yang ada di pikiran istrinya. Rupanya Sarmi tidak bisa lagi menahan rasa
rindu dan penyesalannya kepada Seni yang telah diusirnya selama 35 tahun yang
lalu. “Iya mah, akan Jeje susul sekarang juga!” Tanpa suruh Jeje bergegas
pergi.
“Eh, Jenal, mau ke mana terburu-buru gitu!” Tanya Rani menyapa
Jaenal di depan gerbang rumah sakit. Jeje tidak menjawab, malah menancap gas mobilnya
seakan mau balap. “Jangan-jangan..., ah semoga saja yang ada di pikiranku ini
salah.” Rani mempercepat langkah kakinya memasuki pintu utama rumah sakit.
Sampai di pintu ruang rawat, Rani masuk tampa izin, karena di ruangan itu ada
dokter dikelilingi oleh empat orang perawat. Nafas Sarmi terengah-engah seperti
habis bekerja keras. “Paaak... paaaak, mana Seni? Tanya Sarmi seakan sedang
mengigau. “Sabar yah, Seni kan lagi dijemput, mungkin masih di perjalanan.
“Gimana kondisnya Pak?” Tanya Neneng dengan nada yang
sangat khawatir. Neneng baru saja datang menjenguk Sarmi karena ditelpon oleh
Jeje, yang mengatakan bahwa ibunya dalam kondisi kritis. “Hallo,
udah sampai mana Je?” Neneng menelpon Jeje untuk memastikan
apakah Seni datang apa tidak. “Iya Tente, kami udh di gerbang nih, Tante udah
di rumah sakit?” Tanya Jeje. “Iya, iya
udah cepetan.” Semenjak Sarmi menderita penyakit kanker payu
dara dua tahun yang lalu, Neneng telah saling memaafkan dengan Sarmi. Bahkan hubungan
Neneng dengan Sarmi melebihi saudara sekandung. Mungkin mereka telah menyadari
akan kekeliruannya selama ini.
Sambil terisak-isak Seni memasuki pintu ruang rawat ibunya.
“Sen... mana suami dan anak anak-anakmu?” Sarmi menggapai-gapaikan tangannya. “Iya
mah, ini bang Beni, ini Dila, ini Ganis, dan ini Fahri!” Seni menyatukan tangan
semua anggota keluarganya untuk dipegang oleh ibunya. “Dengarkan baik-baik yah!
Pinta Sarmi dengan sungguh-sungguh. “Seni...., Beni...!” Sarmi terdiam sambil
mengumpulkan nafas dan kekuatannya untuk mengeluarkan kata-kata. “Ma... ma... afkan
mam...ah yah!” Sarmi menyampaikan permohonan maafnya kepada seni dan suaminya
dengansuara terbata-bata. “Dilll... la, Ga...nis, Fa...hri... ma... af...kan
nennn....nek yah!”. Berangsur-angsur pegangan tangan Sarmi semakin melemah, dan
akhirnya terlepas semua tangan yang dipengangnya. Bersamaan dengan itu,
terdengar serempak suara tangisan, dan tangisan yang paling keras adalah
tangisan Seni. Maklumlah karena telah tiga puluh lima tahum rumah tangganya
tidak direstui ibunya. Sekalinya direstui ibunya meninggalkan untuk
selama-lamanya.
Sejak ibunya meninggal, Seni dan keluarganya pindah ke
desa, rumahnya yang dikota dikontrakkan. Kepindahannya ini atas permintaan pak
Norma, dan kakak-kakak Seni. Waktu mendiang masih hidup, pernah mengamanatkan
pada anak-anaknnya. “Jika kelak mamah sudah tiada mamah harap kalian mengikhlaskan
rumah ini untuk diberikan kepada Seni!” Pesan itu kini telah dilaksanakan. Kini
telah tiga bulan Keluarga Seni tinggal di desa. Kelihatannya mereka merasa
nyaman tinggal di situ. Di kiri kanan rumah mereka terdapat pesawahan, kolam
ikan, dan perkebunan. Hampir setiap hari anak-anak Seni, terutama Fahri bermain
dan memaning di situ. Maklumlah selama ini mereka hidup di kota yang
lingkungannya sudah tidal alami lagi.
Akan
tetapi namanya kehidupan, tidak pernah terlepas dari masalah. Aktivitas Beni agak
terhambat, karena masalah jarak antara tempat tinggal dengan perusahaannya.
Sementara aktivitas Seni dengan ibu-ibu anggota kelompok usahanya juga
terhambat. Kegiatan perkuliahan Dila terganggu. Sedangkan Ganis dan Fahri telah
pindah sekolah dari SMA dan SMP di kota,
ke Aliyah dan Tsanawiyan di desanya. Belum lagi kisah cinta Dila, yang
semakin mendekati ke jenjang pernikahan. Selama satu tahun lebih Dila menjalin
cinta dengan salah seorang asisten dosen di kampus tempat kuliahnya. Kisah
cinta mereka ini kelak akan diceritakan pada seri ketiga
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/03/15/berkarya-dan-bercinta-di-angkasa-seri-kedu-641664.html
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !