Legenda Kampung Wadaskubang
Karya: Aosin Suwadi
Lokasi Legenda Kampung Wadaskubang
Penulis sendiri mendapat informasi ini pada sekitar tahun 60-an. menurut ayah dan kakek, bahwa dahulu, pada suatu dini hari sekitar pukul 04.00 ke kampung kami yaitu kampung Wadas, kedatangan sebuah gerobak yang berhenti di pinggir sawah di tengah perkampungan kami. ketika ditanya oleh salah seorang nenek yang berprofesi sebagai pedangang “pecel” pengemudi gerobak itu hanya membisu. Dengan sejuta tanda tanya si nenek pergi meninggalkannya, dan melanjutkan perjalanan ke pasar untuk mempersiapkan barang dagangannya. Bagaimana tidak aneh, karena menurut si nenek bahwa gerobak tersebut penuh dengan ikan lele yang masih hidup.
Pada pagi hari itu juga terjadi suatu peristiwa yang menggemparkan semua penduduk kampung Wadaskubang dan sekitarnya. Sawah tadah hujan yang disinggahi pengemudi gerobak pada dini hari tadi, mendadak menjadi danau yang meluapkan air. Semua rumah yang letaknya berdekatan dengan sawah itu terendam air. Para kasepuhan dikampung itu mengambil keputusan secara mendadak, meminta tolong kepada para ulama dan kiai. menurut pengamatannya bahwa air tersebut berasal dari tiga buah sumber atau mata air yang ukurannya masing-masing sekitar sebesar mulut “dangdang”. Setelah beberapa saat mermunajat, para kiai mendapat ilham, kemudian menyumbat mata air tersebut dengan 3 buah kitab Al qur an. Luapan air mendadak berhati, meninggalkan genangan yang memenuhi tiga petak sawah. Dan selanjutnya sawah tersebut berubah menjadi kubang, dan sejak itu pula kampung Wadas menjadi Wadaskubang.
Legenda itu seperti ada hubungnya dengan fakta empiris. Sejak penulis berusia balita, sering menyaksikan bahwa setiap ada peringatan atau perayaan keagamaan, seperti “Muludan, dan Rajaban” penduduk kampung secara beramai-ramai mengambil ikan dari kubangan tersebut, seperti tidak pernah habis. Jika terjadi hujan besar dan air melimpah ke rumah-rumah, dan hujan telah berhenti, keluarga kami sibuk mengambil ikan lele di sekitar rumah. Penulis masih ingat setiap pulang dari sekolah (SR) jika di rumah tidak ada ikan, maka penulis segera turun ke solokan yang dialirkan dari kubangan tersebut. Jenis ikan yang diambil yaitu belut dengan lele. Betapa Tuhan memberi kemurahan pada kami waktu itu. Bagaimana tidak, saking mudahnya menangkap ikan di solokan itu seperti mengambil dari wadah.
Muncul satu kekecewaan, andaikata waktu itu penuis telah dewasa dan telah berpendidikan mungkin dapat menyumbangkan ide untuk tidak menyumbat mata air tersebut. dan mungkin kejadiaannya tidak seperti sekarang. Setiap musim kemarau penduduk sangat mengeluh kekurangan air. Bahkan jika dua minggu saja tidak turun hujan, kampung kami kekeringan. Lebih dari satu bulan sulit untuk mendapatkan air untuk mandi. lebih dari tiga bulan sulit mendapatkan air untuk minum.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !