SEKILAS TENTANG METODOLOGI
PENGAJARAN BAHASA INDONESIA
Dalam Kaitannya dengan Pergeseran Pendidikan Karakter
Oleh: Aosin Suwadi, S. Pd., M. Si.
Selama kurang lebih 30 tahun
mengikuti perjalanan kurikulum, khususnya dalam bidang pengajaran bahasa
Indonesia banyak hal-hal yang ditemukan. Sejak kurikulum tahun 1962, 1964,
1968, 1975, 1984, 1994 (KYD), sampai sekarang, selalu terjadi inovasi. (bahkan
ada mata kuliah Inovasi kuikulum). Perubahan-perubahan tersebut terjadi secara
berangsur-angsur. Artinya astiap kali terjadi perubahan tida berarti menghapus
kurikulum sebelumya.
Penulis dibesarkan dan didewasakan oleh kurikulum-kurikulum tersebut. Semua
cara hidup baik yang bersifat pisikologis maupun psikologis, diajarkan oleh
kurikulum, mulai dari bagai mana cara makan, menjaga kesehatan, termasuk
pendidikan moral dan pembentukan karakter. Dalam pergeseran waktu yang relatif
sebentar, perubahan-perubahan karakter kurikulum itu nyaris tidak terasa. Akan
tetapi jika kita lihat jiwa kurikulum tahun 1962 dengan kurikulum KBK, KTSP,
dan Kurilulum 2013, maka perubahan itu terjadi sangat jauh berbeda. Kurikulum
tempo dulu lebih menekankan kepada pendidikan (moral dan karakter), sedangkan
kurikulum yang mutakhir jauh lebih menekankan kepada pengajaran (ilmu
pengetahuan dan teknologi). Sementara pendidikan moral dan karakter nyaris
diabaikan, karena mengejar go
international.
Sampai hari
ini pancasila masih menjadi dasar negara kita. Jika generasi bangsa kita ini
semua diajak go international, bagaimana
dengan pancasila, bagaimana dengan adat timur
yang penuh dengan moral dan karakter. Lebih jauh dari itu bagaimana
dengan agama kita? Secara empiris kita melihat bagaimana gaya hidup artis,
bagaimana gaya hidup pejabat yang korup, serta bagaimana pula gaya hidup
kolaborasi pejabat dengan artis (karena ada diantaranya pejabat yang
beristrikan artis). Di satu pihak kita dituntut untuk membangun katakter yang
berorientasi kepada pancasila dan agama, sementara di sisi lain kita dituntut
utuk mengantarkan siswa go international.
Dua hal tersebut kita selaku guru dituntut untuk bersikap bijak agar keduanya
menjadi seimbang.
Dari
pengamatan selama kurang lebih 30 tahun penulis bertugas menjadi guru, dengan
mengajar di SD, SMP, Tsanawiyah, Aliyah, di SMP, SMA, bahkan di STKIP, banyak
fenomena yang ditemukan dalam pengajaran bahasa Indonesia. Pada umumnya guru
mengajar bahasa Indonesia hanya menyampaikan apa yang tertuang dalam buku.
Sedangkan hal-hal penting yang harus disampaikan tidak menjadi penekanan,
kurang disadari atau bahkan nyaris diabaikan. Kita harus menyadari bahwa untuk
terampil berbahasa, kita harus menguasai kebahasaan. Akan tetpi karena Ilmu
kebahasaan dianggap sulit, maka para guru pada umumnya mengambil jalan pintas,
mengajarkan menyimak, membaca, menulis dan membaca, tanpa disertai dengan
mengajarkan materi kebahasaan. Sungguh pemahaman yang mutlak keliru. Menyimak,
membaca, menulis, dan berbicara bukan materi pembelajaran membaca, melainkan
keterampilan berbahasa.
Pembelajaran
kebahasaan dalam baasa Indonesia, dapat kita kaitkan dengan pembelajaran gremer
atau tata bahasa arab yang diciptakan oleh para ahli. Pembelajaran tata bahasa
Arab ini dirasakan sangat sulit, maka pada umumnya kita, termasuk penulis
enggan untuk mempelajari dan mendalaminya. Karena itu kita mengambil jalan
pintas, dengan mempelajari kitab gondron tanpa mempertimbangkan siapa yang
menerjemahkan, dan bagaimana menerjemahkannya. Dengan cara ini asalkan kita mau
mempelajari dan mendalami agama melalui kitab godrong, termasuk artis yang
tidak pernah menggeluti ilmu agama sekali pun, secara instran jadilah ustadz.
Fenomena di atas membuat penulis merasa sangat
berdosa, karena tidak mampu memberikan persuasi terhadap orang-orang di sekitar
penulis, khususnya para guru bahasa Indnesia. Lebih sakit lagi jika penulis
teringat akan pesan yang langsung disampaikan oleh para profesor dan guru
bersar bahasa Indnesia. “Jadilah Anda sebagai “sentripetal”. artinya
pertahankan kaidah bahasa Indonesia. Sesungguhna terjadi perdebatan antara
sentripetal dengan sentripugal. Satu sisi kita berusaha mempertahankan kaidah
bahasa, sementara di sisi lain para penutur begitu bebas dan lelusanya merusak
kaidah bahasa. Lebih ironis lagi guru bahasa ikut menjadi perusak kaidah
bahasa.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !