Headlines News :
Home » » Berkarya dan Bercinta di Angkasa seri kesatu

Berkarya dan Bercinta di Angkasa seri kesatu

Diposting Oleh aosin suwadi pada Senin, 03 Februari 2014 | 23.20


Berkarya dan Bercinta di Angkasa
Karya: Aosin Suwadi 
Guru SMA Negeri 6 Kota Serang




“Bapak, ngantuk yah!” Ratna menegur Suryadi ketika kepalanya hampir membentur bibir meja guru. Ratna adalah siswa kelas lima yang duduk tepat di depan meja guru. “Eh, .... iya Rat! Bapak tidak tidur sampai pagi.” Suryadi menjawab dengan gugup karena belum sadar sepenuhnya. Kepala Suryadi terasa pening. “Bapak habis begadang?” Tanya Tuti yang duduk satu bangku dengan Ratna. Suryadi segera mengalihkan perhatian Ratna dan Tuti  dengan mengingatkan kepada semua siswa lainnya untuk segera menyelesaikan tugasnya. Tugas yang dikerjakan siswanya, diakses dari google dan telah diseting sedemikian rupa dan disertai dengan gambar-gambar yang menarik dan mendidik.

Baru beberapa menit Suryadi sampai di rumah  Ko bpk dh  plg, ini kn br jm 11!” Rupanya Sarmi mengetahui bahwa Suryadi udah pulang.  Iya Mi,  bp pulg dluan g thn, ngntuuuk!” Belum juga satu menit, Sarmi mengirim Fofo dengan senyumnya yang sangat menggoda, membuat rasa kantuk Suryadi berkurang. Sarmi adalah mantan murid Suryadi sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu Sarmi baru kelas VI, tapi dia sudah naksir Suryadi. Setelah hampir dua jam mereka berkomunikasi di FB membicarakan berbagai hal, akhirnya Suryadi tertidur ditemani FB-nya yang terus menyala.  Jgn diem aja dong!” Kata Sarmi melalui FB-nya. Karena tidak ada jawaban, Sarmi mengangkat HP  mencari nomor Suyadi, lalu menelponnya. Tetap tidak ada jawaban. “Terlalu!” Gumam Sarmi.  Kcian d lo, g dldni!” Tiba tiba Neneng ikutan komen dari FB-nya. Neneng adalah istri Juned yang pernah tergila gila kepada Sarmi waktu masih remaja. Bahkan sampai sekarang secara diam-diam Juned masih memendam rasa cintanya. Sepertinya cinta pertama, tak bisa dihapus. Sehari-harinya Juned bekerja menjual sayuran di pasar. Juned telah menjadi pedagang sayur yang sukses. Kini dia telah memiliki dua buah mobil, satu mobilnya digunakan untuk kepentingan berdagang, dan satu mobil lagi untuk kepentingan keluarga. “Ngpain lo ikut cmpr.” Jawab Sarmi.Dsr lo tu yah, tkng ggu suami org!” Balas Neneng. Sarmi tak mau kalah “Sk2 gw, bwel lo!” Lama sekali mereka bertengkar melalui FB dan SMS sampai akhirnya Neneng tidak menjawab lagi, karena kehabisan pulsa. Tetapi walaupun begitu mereka tidak berani bertengkar melalui telpon, karena takut diketahui oleh suaminya.
“Pah, pah,  bangun! Udah sore! Hari itu istri Suryadi secara diam-diam memasak makanan kesukaan suaminya. Suryadi menggeliat, lalu duduk dan melihat jam di Leptopnya. “Setengah lima!” Gumam Suryadi dengan suara parau. “Handuk di simpan di mana Mah”? “Di jemuran pah”! Jawab Mae  sambil mentup makanan di atas meja makan. Selesai memunaikan shalat ashar, Suryadi dipanggil istrinya di ruang makan. Dengan menggunakan sarung dan kopiah. Suryadi menghampiri dan duduk di samping istrinya. Suryadi terbengong-bengong melihat makanan kesukaannya terhidang di meja. “Terima kasih, mamah telah memasak kepiting kesukaan papah.” Kelihatannya hari itu mereka bahagia sekali. Akan tetapi sebenarnya hati Maemunah merasa  kebahaiaannya belum sempurna, karena telah tujuh tahun mereka berumah tangga, belum juga dikaruniai anak. Hapir dua tahun, Maemunah rajin memakan toge baik mentah mau pun matang. Hal itu disarankan oleh temannya, agar Maemuhan cepat-cepat hamil.
Suatu sore ketika Maemunah duduk-duduk di pos ronda di depan rumahnya, Marinah datang dengan mengendarai motor bebeknya. “Udah makan belum? Kalau belum kita makan di depan yu!” Ajak Inah dengan serius. “Enggak lah, terima kasih!” Jawab Mae. Kelihatannya dia tidak bersemangat menjawab pertanyaan Inah. Sepertinya dia hampir putus asa, karena upayanya beluma berhasil juga. “Ya udah, kalau enggak mau, ga apa-apa, yang penting kamu tidak lupa memakan itu tuuh!” Inah mengingatkan Mae, tapi Mae tidak menjawab, hanya memperlihatkan  wajahnya yang seolah-olah sedang lesu. “Jangan putus asa, mungkin Tuhan belum bengabulkan doa dan usaha kita”. Sepertinya Inah mengetahui apa yang difikirkan oleh Mae.
*************
Bunyi-bunyian malam terdengar sangat jelas. Waktu telah menunjukan pukul 03.00. Beni masih asyik mengetik puisi-puisi di situs dalam FB-nya. Beni adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan, tapi memiliki kelemahan, yaitu kurang gaul.  Akan tetapi di balik kelemahannya, ternyata dia menyimpan kelebihan. Dia sangat pandai merangkai kata-kata yang puitis. Sebenarnya Beni ingin melanjutkan pendidikan, kuliah di jurusan sastra. Tapi keinginannya itu tidak pernah disampaikan kepada ayahnya Darmani. Beni kasihan kepada ayahnya yang sehari-hari hanya pulang pergi untuk bekerja di ladang, sedangkan hasilnya tidak pernah mencukupi kebutuhan hidup.
Ketika Beni mau menutup FB-nya tiba-tiba ada komen “Puisi-puisimu bagus sekali! Aku sangat tertarik dengan puisi-puisimu itu.” Hati Beni merasa tersanjung oleh pujian itu. Setelah diklik, ternyata pengirimnya seorang gadis cantik sedang tersenyum sambil melirik ke arah Beni. Selama ini selain tidak gaul, Beni juga tidak punya nyali sedikit pun untuk menyatakan cinta kepada wanita. Setiap tertarik kepada wanita, Beni hanya menyatakannya dalam puisi, yang ditulis di situs, tapi tidak pernah ditujukan kepada seseorang. “Nm asliku Seni, nm aslimu siapa?” Tanpa ditanya, Seni menyebutkan nama aslinya. “Puisi yg mn yh?” Beni membalas dengan kaimat tanya. “Itu tuh yang ada kata-kata: Selama langit belum runtuh. Kekuatanku tak akan rapuh. Perahu kan kterus ku kayuh.  Sampai hatimu luluh dan berlabuh. .... . “Buatkn lg dng puisi khss utkku.” Rasa kantuk Beni berkurang seakan  mendapat tambahan kekuatan. Segera Beni menyusun kalimat kalimat puisi untuk dikirim kepada Seni. Akan tetapi jika dilakukan secara menadak, rupanya Beni merasa kesulitan juga. Beberapa kali Seni menanyakan perihal puisi yang dijanjikan Beni. Beni hanya menjawab singkat. “Tunggu yah!” Puisi belum selesai, tapi karena hari sudah pagi, Beni mengakhiri komennya. Setelah permisi kepada Seni, Beni pun menutup FB dan Leptopnya.
Satu minggu setelah mereka berkenalan. Beni dengan Seni selalu berkencan di udara, terkadang dilakukannya semalam suntuk. Waktu hampir menunjukan pukul lima pagi, Sarmi terbangun dan bergegas ke kamar mandi, tapi langkahnya terhenti ketika melihat Seni dari pintu kamar yang terkuak sedikit. Setelah membuka pintu kamar, Sarmi terkejut.  “Astagaaaaaa! Kamu begadang sampai pagi! Awas kalau ga sekolah!” Diancam ibunya, Seni tidak menjawab. Setelah menutup leptopnya, Seni bergegas ke kamar mandi. “Ada apa mah?” Pak Norman terbangun  karena mendengar suara bentakan dari Sarmi. Si Seni pah, begadang di depan leptop. Sampai pagi!”
*************
Lima bulan sudah Beni bercinta dengan Seni di dunia maya, tapi tidak pernah bertemu lagsung. Sebenarnya Beni pernah mengajak ketemuan di suatu tempat, dan Seni sangat senang mendengar ajakan Beni, tapi Seni takut kepada ibunya yang sangat materialistis. “Ms, Bni syngku, mhn mf yh, kt blm bs ktmuan hr ini, Sni g brni Ms. Sni tkut!! Tlngin dng Mas, aku pngn ktmu Mas!” Beni membaca SMS dari Seni dengan sikap yang gelisah. Dengan kesalnya dia keluar dari kantin setelah membayar pesanan baksonya yang belum dimakan. Sementara Seni menangis sedih di kamarnya dengan perasaan menyesal dan takut berkecamuk menjadi satu. “Angkat dong Maaas!” Seni menelpon Beni, tapi HP Beni tidak aktif. Rupanya Beni sangat kesal. Kali ini tangisan Seni mengeluarkan suara, untung tidak sampai terdengar oleh ibunya.
Malam itu Beni tidak OL. Waktu dan konsentrasinya digunakan untuk memikirkan hubungannya dengan Seni. Sampai larut malam dia hanya tiduran terlentang dengan fikiran melayang. Sampai akhirnya dia mengambil keputusan untuk melakukan shalat istiharah. “Sn Ms th Sn lg sdih. Ap pn yg trjdi, bsok Ms akn k rmh Sni utk mnghdp ortumu!” Beni mengetik dan mengirimkan SMS tengah malam, dengan harapan Seni belum tidur. “Alhamdulillaaaaaaah!!!” Secara reflek Seni mengucap syukur dengan suara keras dan memekik di tengah malam. “Mah kenapa tuh Seni?” Tanya ayah Seni kepada istrinya yang juga kaget mendengar suara Seni. “Biasa ngelindur!” Sarmi menjawab sambil membetulkan selimutnya. “Terima kasih Ms, Sni senaaaang sekali. Tapi Ms, ap Ms brni?” Tanya Seni. “Insya Allah.” Beni menjawab SMS untuk menenangkan hati kekasihnya. “Skrg Sni bbo yg nynyk, bsk siang tggu Ms yh, daaaah!” Setelah konflik dalam batinnya selesai, tidak terasa Seni pun tidur dengan lelapnya. “Jangan maaaah,  jangaaaan!!! Sarmi dan suaminya terbangun dan masuk ke kamar Seni. “Sen, Sen, ada apa Sen? Tanya Sarmi sambil membalikkan badan Seni, tapi Seni tidak menjawab. Rupanya kali ini Seni benar-benar mimpi (membawa sisa konfliknya ke alam bawah sadar). “Apa kata mamah, Seni tuh ngelindur!” Mereka bergegas kembali ke kamar untuk menghabiskan sisa rasa kantuknya.
*************
“Pergi kamu jauh-jauh dari kehidupan Seni! Dasar laki-laki gak  tak tahu diri! Aku tidak sudi punya menantu anak petani miskin kaya kamu! Mau dikasih makan apa anak saya. Ngaca dong! Cepaaat pergi!” Beni mencoba untuk menjawab. Ma’af  Tan .... . Beni tidak jadi menyampaikan maksudnya, karena dipotong oleh Sarmi dengan suara yang lebih keras lagi. “Kalau kamu gak mau pergi ... .” Sarmi mengagkat gagang sapu ke atas kepala Beni. Beni tidak bergerak sedikitpun, karena dia yakin bahwa Sarmi hanya menggertak saja. “Jangan maaaah,  jangaaaan!!! Sambil menangis Seni mencoba melarang ibunya untuk memukul kepala Beni, persis seperti yang pernah diucapkan dalam mimpinya. “Udahlah mah, gak usah diperpanjang dulu. Kita dengarkan dulu apa yang mau disampaikan oleh nak Beni. Kita kan belum tahu, apa yang mau disampaikan oleh nak Beni. Kita tidak boleh berburuk sangka dulu sebelum tahu apa maksud yang sebenarnya.” Pak Norman berusaha menenangkan istrinya yang sejak tadi, tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk komentar.
Sejak kejadian itu Seni mendapat pengawalan yang sangat ketat dari ibunya. Apa pun yang dilakukan Seni tidak ada yang lepas dari pengawasan Sarmi. Semua fasilitas komunikasi telah disita oleh ibunya. Situasi seperti ini dirasakan oleh Seni bagai hidup dalam neraka. Betapa tidak, hampir dua minggu Seni tidak berkomunikasi dengan kekasihnya. Pada suatu hari sepulang dari sekolah Seni berunjuk rasa dengan mogok makan dan mengurung diri di kamarnya. Berkali-kali Sarmi memanggilnya, tapi tidak ada jawaban. “Kalau gak mau makan terserah! Mau sehari, seminggu, atau sebulan sekalian!” Sarmi menggerutu, walau pun sebenarnya jauh di lubuk hatinya, Sarmi gak tega melihat keadaan anaknya yang mendadak murung.
            Selama di kamarnya, Seni bekerja keras dengan menguras fikirannya untuk mencari akal, bagaimana caranya agar bisa berkomunikasi dan bertemu dengan Beni. Fikirannya sempat buntu, dan memutuskan untuk mengambil jalan pintas dengan mencoba bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari jendela lantai dua kamarnya. Tapi itu tidak jadi dilakukannya. Seni takut gak langsung mati, karena persis di bawah jendela kamar Seni ada kolam renang. Sampai pada akhirnya Seni mengambil keputusan yang terbaik menurutnya. Dia ingat pada salah seorang teman setianya yang pernah menawarkan jasa, bahwa dia siap membantu Seni kapanpun.
*************
            Seni jarang hadir ke sekolah,  absennya penuh dengan i, a, dan s berselang seling, padahal setiap hari, Seni berangkat dari rumahnya ke sekolah seperti biasa. Selama tidak sekolah, Seni mencurahkan isi hatinya kepada Beni melalui FB Deti. “Sen, hari ini kamu sekolah dulu, yah! Teman-teman udah curiga. Lagi pula saya khawatir kamu ketinggalan pelajaran terlalu jau. Ingat, waktu ujian tinggal menghitung hari.” Deti berhasil mebujuk Seni. Hari itu Seni berangkat ke sekolah bersama Deti. Di sekolah mereka mereka tidak pernah menceritakan konflik percintaan Seni dengan Beni.
Bagaimanakah lanjutan cerita ini silahkan ikuti
Berkarya dan Bercinta di Angkasa 
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Popular Posts

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bahasa dan Sastra - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Aosin Suwadi