Headlines News :
Home » » Demi Rokok

Demi Rokok

Diposting Oleh aosin suwadi pada Minggu, 02 Februari 2014 | 05.06








Demi Rokok







Karya: Fitriani Febrianti





Kelas XII IPA 2 SMA Negei 6 Kota Serang 2013/2014




Musim hujan, musim yang sangat tidak diinginkan keluarga Rosadi, selain mata pencahariannya terganggu, kesempatan mencari uang pun terhambat. Belum lagi kondisi rumah Rosadi yang bolong-bolong membuat basah semua isi rumah. Termasuk kumpulan rokok yang Rosadi simpan di lemari baju ikut basah dan sulit untuk terbakar. Setiap hari, tanpa ada rasa bosan, Rosadi selalu menghisap rokok yang dia nikmati, pagi, siang, malam, sebelum sesudah makan, sebelum sesudah bekerja. Rosadi tak pernah berhenti mengepul asap rokok. Marni, istri Rosadi selalu berusaha menyarankan agar suaminya berhenti merokok. Begitu pula Jalu anak Rosadi, mulutnya sudah sampai berbusa karena bertanya terus pada Rosadi, mengapa bapaknya itu sangat suka sekali merokok.
Rosadi setiap harinya selalu kesal karena rokok yang dia simpan dilemari bajunya selalu kebasahan, sehingga dia harus menggarang rokok itu di atas tungku bara api sebelum pergi ke lading. Rosadi memang mempunyai watak yang sangat keras dan tegas, apapun yang menurutnya benar, maka dia akan mempertahankan kebenarannya itu meskipun kebenarannya itu bertolak belakang dengan kebenaran orang lain. “Aaah, aku sudah sangat kesal dan sangat bosan sekali, setiap hari cuaca selalu hujan, dan setiap hari pula aku harus menyelamatkan barang-barang dan seisi rumah. Belum lagi aku harus menggarang rokokku yang kebasahan ini setiap mau pergi kerja.” Keluh Rosadi pada istrinya.
Pendapatan yang tak seberapa, membuat Marni selalu kesulitan mendapatkan uang. belum lagi pendapatan itu harus di bagi 3, untuk dapur, untuk jajan Jalu, dan untuk membeli wajib rokok suami nya. “Pak, beras sudah habis, dan besok Pak Bruto pasti akan datang menagih hutang. Belum lagi tak punya uang untuk jajan sekolah Jalu” Jelas Marni pada Rosadi. “Sabarlah, nanti besok aku akan pergi ke ladang.” jawab Rosadi singkat. Muka Marni selalu mengkerut karena Rosadi setiap harinya hanya mengepul rokok dan meminum kopi sambil bersantai di depan rumah di atas bale bamboo. Sementara Marni sedang kebingungan ke sana-ke mari mencari uang makan untuk hari itu. Marni tak berani jika harus menegur Rosadi yang sedang santai itu. Pernah sekali Marni mencoba menegur, Rosadi malah memecahkan gelas berisi kopi panas kearah kaki nya. Kejadian itu membuat  Marni tak ingin menegur Rosadi lagi. Marni lebih memilih diam, merenung, dan menangis meratapi hidup atas sikap Rosadi. 
Jalu selalu rewel jika lapar dan jika ingin jajan. Berulang kali Jalu meminta uang pada bapaknya, namun tak pernah diberinya. “Pa, Jalu minta uang” pinta Jalu. “bapak tak punya uang nak, nanti saja ya…” Jawab Rosadi. “Tapi kenapa bapak bisa beli rokok?” Celetuk Jalu pada bapaknya. Petanyaan tentang rokok tak pernah Rosadi jawab, jika yang bertanya itu anak kecil ingusan yang tak tahu betapa nikmatnya rokok yang Rosadi hisap itu. Berulang kali Jalu menanyakan tentang rokok, tapi Rosadi hanya bisa memalingkan muka dan berbalik arah.
Saat hendak pergi ke ladang, segerombol bapak-bapak duduk diatas bale bambu yang serupa dengan bale di rumah Rosadi, mengajak Rosadi untuk ikut bergabung meminum kopi. Kedai kopi itu tak jauh dari penglihatan Rosadi, kitu aromanya tercium. Rosadi hanya bisa tersenyum dan meggelengkan kepala, tanda menolak permintaan bapak-bapak tadi. Dengan diselingi kepulan asap yang tak habis-habisnya rokonya, dia terus berjalan, Bibirnya yang hitam pekat seperti kopi, menambah kebal untuk menghisap asap rokoknya.
Ladang yang Rosadi bajak bukanlah kepunyaannya, melainkan kepunyaan Juragan ladang yang datang dari kota, yang mempunyai cukup luas ladang di kampung Rosadi. Setiap pagi, jika tak hujan, Rosadi selalu membajak, bertanam, dan memupuk ladang milik juragan itu. Terik panas matahari, tak mampu mengalahkan semangat mengepul rokok yang dia hisap. Tubuhnya yang ramping tak mampu memecahkan keinginannya untuk tetap merokok. Rosadi lebih memilih tidak digaji sebulan, daripada dia tak merokok selama seminggu. Kebiasaan yang aneh dan merugikan itu sudah dijalaninya selama menempuh hidup dengan Marni.
Hari semakin siang, perut Rosadi sudah sangat perih karena belum makan sejak pagi. Mulutnya belum dimasuki nasi, lauk atau pun makanan lain, tapi sudah dimasuki oleh asap rokok yang setiap hari masuk ke paru-paru nya. Kondisi seprti itu mengakibatkan lambung terasa perih. Rosadi tahu betul tentang bahaya merokok, selain merugikan bagi anggota tubuhnya, Rosadi pun tahu bahwa rokok sangat memeras pendapatan ekonominya yang hanya tak seberapa itu. Berkali-kali Rosadi merintih kesakitan karena perutnya yang sangat perih kelaparan.
Tak lama kemudian, terlihat istri Rosadi melangkahkan kakinya kearah ladang yang dibajak Rosadi, sambil menjinjing serantang makanan dan sebotol minuman. Marni terlihat sangat buru-buru menghampiri suaminya. Perut yang perih karena lapar, setelah melihat Marni membawa rantang, rasanya sedikit hilang. Dengan semangat, Rosadi langsung membuka rantang yang dibawa istrinya. Setelah dibuka, Rosadi hanya melihat satu piring nasi dan sepotong ikan asin, mungkin cukup untuk mengganjal perutnya yang keperihan itu. “Maaf pak, seperti yang bapak lihat, kita sudah tak punya cukup uang untuk membeli lauk yang enak, jadi makanan ini hanya sekedar mengganjal perut bapak yang lapar.” Keluh Marni. “Nanti, setelah aku gajian, kau bisa beli lauk yang enak untukku dan Jalu.” Timpal Rosadi. “Tapi sampai kapan Pak?? Sudah sebulan ini, bapak tak pernah memberiku uang. Uang yang bapak punya tak pernah bapak belikan lauk, melainan hanya membeli rokok dan rokok. Aku sudah capek Pak! Kalau begini terus aku akan pergi mencari pekerjaan di kota.” Ucap Marni dengan penuh kesal. “Kalau kau pergi ke kota, siapa yang akan mengurus Jalu, dan siapa juga yang akan mengurusku?? Kau tak pernah fikirkan itu Marni! Aku sudah banting tulang mencari nafkah, tapi kau ingin meninggalkanku dan anak kita,!” Balas Rosadi. “Tapi, bapak juga tak pernah memikirkan tentang perasaanku, hutang kita menumpuk, dan bapak hanya bisa mengumpulkan putung-putung rokok itu. Apa putung itu bisa membayar semua hutang kita? Tak mungkin pak.” Jawab Marni sambil  berlalu meninggalkan Rosadi di ladang.
Kebiasaan itulah yang biasa dilakukan Rosadi, selain merokok, Rosadi juga sering membuat raut muka Marni selalu tak pernah ceria, selal dipenuhi kebingungan dan kegelisahan. Raut muka Marni perlahan-lahan menjadi keriput, dan terlihat tua, padahal umurnya lebih muda daripada Rosadi.
Suatu hari, di depan bale bambu depan rumah, terlihat Jalu menghampiri bapaknya. “Pak, kemarin Jalu lihat di TV, pemuda yang umurnya 18 tahun meninggal gara-gara merokok sejak kecil pak, kasihan ya Pak.” Cerita Jalu pada bapaknya. “Itu namanya takdir Jalu, kita tak boleh menyalahkan rokok atau siapapun.” Jawab Rosadi. “Tapi, kata bu guru, rokok itu berbahaya pak. Katanya sih paru-paru kita akan bolong karena asap rokok itu Pak,” Seru Jalu. “Sudahlah Jalu, yang penting kan kamu tidak merokok” Ujar Rosadi. “Tapi, Jalu takut bapak meninggal.” Ucap Jalu dengan lirih. “Kamu tenang saja bapak, tidak akan meninggal Jalu. Ya… sudah, kamu main lagi ya dengan temanmu…” Timpal Rosadi. Mendengar pertanyaan dari anaknya itu, Rosadi sepertinya sudah kebal dengan keyakinannya untuk tidak berhenti merokok. Pertanyaan itu seperti angin lewat yang menghampiri Rosadi, setelah itu anginnya menghilang terbawa ke hilir.
Pagi itu, cuaca terlihat mendung, ladang terlihat gelap tertutupi kabut, hujan turun setitik demi setitik dan akhirnya turun dengan deras. Terlihat Rosadi dan Marni sedang sibuk menyelamatkan barang-barang, agar tak kebasahan. Air mata jatuh dari kelopak mata Marni yang sedang kesusahan itu, Tubuhnya yang kurus kering seperti tak pernah makan, membuat hati Marni semakin terluka. Tak ada barang berharga apa pun dalam rumahnya, hanya ada sebuah lemari yang terbuat dari kayu jati yang mereka punya, itu pun sudah terlihat keropos dimakan usia dan rayap. Jika hujan turun deras seperti itu, Jalu selalu berada di pelukkan Marni. Sedangkan Rosadi ditemani dengan kepulan asap rokok dimulutnya dan hidungnya.
Suatu hari, saat Jalu hendak pergi ke sekolah, lagi-lagi Jalu berbicara pada bapak nya. “Pak, bapak tahu pak Badrun?” Tanya Jalu. “Ya, bapak tahu, kenapa?” Jawab Rosadi singkat. “Bulan lalu, Pak Badrun meninggal pak, bapak tahu apa penyebabnya?” Tanya Jalu kembali. “Tidak, bapak tak tahu” Jawab Rosadi. “Pak Badrun meninggal, karena rokok pak, rokok yang di hisap pak Badrun katanya mengandung makanan berbahaya pak,” Jelas Jalu polos. “Jalu, sudah bapak katakan, itu namanya takdir dari yang maha kuasa, kamu tidak boleh menyalahkan siapapun dan apapun itu!” Jelas Rosadi. “Tapi aku tidak bohong pak, Pak Badrun meninggal gara-gara…”Ucap Jalu terputus. “Sudahlah, sudah siang, nanti kamu terlambat, cepat pergi sekolah” Titah Rosadi.
Jalu selalu bertanya pada bapaknya jika melihat kematian seseorang yang disebabkan oleh rokok, namun, sepertinya Rosadi sangat tidak suka dan tidak akan pernah suka menjelaskan secara real pada anaknya. Hingga suatu hari, rumah tetangga Rosadi kebakaran karena lupa mematikan putung rokok yang akhirnya membakar dinding rumah yang terbuat dari bilik bambu. Seisi rumahnya ludes habis terbakar, tak ada satupun yang tersisa kecuali baju yang menempel pada tubuhnya. Rosadi tersentak kaget, karena baru kali ini melihat dengan mata kepala sendiri, kejadian tragis menimpa tetangganya karena rokok. Rosadi terlihat ketakutan dan hanya bisa menyaksikan tetangganya yang terkapar lelah melihat seisi rumahnya dilalap si jago merah.
Semenjak kejadian itu, Rosadi menyimpan seribu ketakutan dan kepenasaran, perasaannya dihantui oleh rokok yang tiap hari Rosadi kepulkan. Fikirannya sedang kacau, karena hutang-hutang yang menumpuk tak kunjung terbayar. Suatu waktu, Jalu bertanya pada Rosadi yang tak tahu kalau fikiran bapaknya sedang kacau. “Bapak, masih mau mengepul rokok itu? Sedangkan tetangga bapak sudah habis segala hartanya karena rokok?” Tanya Jalu. “Jalu! Sudah bapak katakan berulang-ulang kali, kalau itu namanya takdir! Kamu tak boleh menyalahkan siapa pun dan apa pun itu!” Tegas Rosadi dengan nada marah. “Tapi pak, rumah sebelah rumah kita terbakar karena api dari rokok yang dihisap nya!” Balas Jalu. “Sudahlah, kamu anak kecil tahu apa tentang itu! Bapak tak suka kalau kamu memaksa bapak untuk berhenti merokok! Bapak  tak akan bisa dan tak akan mau!” Pinta Rosadi. Percakapan itu terdengar sampai ke telinga tetangga. “Bapak! Sudahlah, jangan memarahi Jalu seperti itu, Jalu hanya tidak ingin bapak mengalami hal serupa dengan kejadian kemarin! Memang sudah waktunya, bapak untuk berhenti dan membuang jauh rokok itu!” Ucap Marni kesal. “Kamu lebih baik diam! Mau paru-paru ku bolong atau mati sekalipun, aku tak perduli!” Tegas Rosadi. Perdebatan malam itu, membuat Marni dan Jalu sudah lelah mengingatkan dan melarang Rosadi untuk tidak merokok. Tapi itu hanya sia-sia, Marni dan Jalu hanya merasakan sakit hati, mendengar perkataan yang terlontar oleh Rosadi.
Mungkin Allah mendengar do’a yang setiap hari Jalu panjatkan. Jalu ingin, bapaknya berhenti merokok walaupun Jalu harus mati sekalipun. Pada suatu malam, dua hari setelah Rosadi beredebat dengan anak dan istrintanya, ketika Marni dan Jalu terbaring tidur di atas kasur tipis beralaskan tikar lusuh yang terbuat dari anyaman bambu, Rosadi asyik mengepulkan rokoknya. Karena dibebani rasa kantuk, dia tidak menyadari api yang ada di rokoknya menyambar dan membakar kain selimut yang di pakai Jalu. Sedikit demi sedikit membakar seluruh kain, bahkan akhirnya Jalu ikut terbakar bersama sarungnya. Sementara itu Marni dan Rosadi sedang tidur dengan nyenyaknya. Mereka tidak tahu kalau anaknya sedang diselimuti api yang membakar seluruh tubuhnya. Tiga jam berikutnya barulah, mereka terbangun. Mereka tersentak kaget, karena Jalu anaknya sudah gosong dilalap si jago merah. “Astagfirullahaladzim, lihatlah Rosadi! Lihat dan bangun! Anak kita Jalu! Ini yang membuat kamu tetap bertahan merokok? Ini yang membuat kamu tak bisa terlepas dari rokokmu! Buka matamu, liihat Rosadi! Anak kita gosong terbakar api rokokmu!” Sambil mencucuran air mata, Marni sibuk mencoba memadamkan api yang masih bekobar di tubuh Jalu. Rosadi hanya diam dan tak bisa mengucapkan sepatah katapun. Mata Supardi berkaca-kaca, mengisyaratkan rasa penyesalan yang sangat dalam. “Aku tak mau hidup denganmu lagi Rosadi! Ingat itu!” Ancam Marni.
Tak lama setelah Jalu dimakamkan, Marni dengan  kesal meninggalkan Rosadi yang tak mampu menjaga keutuhan rumah tangganya dan tak bisa melepas kebiasaan buruknya. Setelah kejadian itu, Rosadi yang setiap harinya hanya mengepul asap rokok dan meminum secangkir kopi, tiba-tiba stress dan gila. Akhirnya, Kini Rosadi hidup sebatang kara. Kebiasaan menyimpan puntung rokok ditelinga, masih terus dilakukan. Akan tetapi sekarang dilakukannya sambil keliling-keliling kampung, membawa foto anaknya, sambil menangis dan tertawa secara bergantian.
Tamat
Terima kasih Anda telah membaca cerita “Demi Rokok” ini. Selamat melanjutkan aktivitas Anda!


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Popular Posts

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bahasa dan Sastra - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Aosin Suwadi