REGRET part 2
Created by Ghina Sausan
Setiap hari minggu, aku dibiasakan oleh orang tua ku untuk berolahraga setiap pagi. Yah, minimal jogging selama 30 menit pun tidak apa-apa. Mungkin karena ayahku seorang dokter, beliau menyarankan atau lebih tepatnya menyuruh anak-anaknya untuk berolah raga dan memakan makanan yang sehat agar kami selalu sehat.
Setelah memakai sepatu olah raga, aku berdiri bersiap untuk berolah raga sendiri karena kedua adik perempuanku sudah lebih dulu berolah raga. Aku memutar playlist lagu di MP4 orangeku sambil berlari-lari kecil keluar rumah.
“Good morning, Robby!!” seru suara seseorang mengagetkanku dari belakang. Aku sudah bisa menebaknya, pasti perempuan itu lagi. Dan seperti biasa aku tidak membalas sapaanya dan terus melanjutkan lari pagiku.
Selama jogging pagi ini, Devi selalu saja ada di sampingku—mengikuti dan dia tak pernah berhenti untuk berbicara. Entah dia berbicara tentang apa, aku tak mendengarnya karena musik yang aku dengar lewat headphone sengaja aku naikkan volumenya.
Tetapi di akhir pembicaraannya samar-samar aku mendengar perkataanya tentang kepergian? Siapa yang mau pergi? Dan saat aku meliriknya, dia terlihat sedih saat membicarakan hal itu.
Mungkin dia bersama keluarganya harus pergi ke suatu tempat dan selama itu dia tidak akan mengganggu hidupku untuk sementara? Yeah, mungkin dia membicarakan hal itu, karena seingatku ada hari-hari dalam sebulan dimana dia dan keluarganya pergi ke luar kota. Hmm, siapa peduli?
“Maafkan aku ya, semoga kita bisa bertemu lagi.” ucap Devi setelah aku melepas headphone dan sampai di depan rumahku. Aku mengerenyitkan alisku bingung dengan perkataannya yang aneh. Memangnya dia mau pergi lama ya sampai harus mengatakan hal itu padaku? Awalnya aku ingin menanyakan maksudnya tetapi tidak jadi karena itu sama sekali tidak penting bagiku.
“Ya sudah kalau begitu. Aku pulang dulu ya? Bye!”
CUP –what?!
“H-hey!!” aku menatap kepergiannya sambil membelalakan mata, kaget. Dia mencium pipiku dan lari begitu saja?! Oh, astaga! Berani sekali dia! Untung tidak ada orang yang melihatnya. Devi, lihat saja nanti kalau ketemu akan ku marah-marahi dia! Eerrr
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
ROBBY’S POV END
5 HARI KEMUDIAN
Hari-hari dilalui Robby seperti biasa. Pergi ke Sekolah, menghadiri rapat hingga sore dan langsung pulang. Yeah, Tidak ada kejadian yang menarik atau masalah yang tiba-tiba muncul. Hanya saja entah apa yang dirasakan Robby, namun ia merasa ada yang kurang dalam menjalani hidupnya. Memang lima hari ini Robby tidak lagi marah, kesal atau terbebani karena kepergian Devi minggu lalu, malah ia bersyukur kalau Devi kini tak akan mempermalukannya lagi atau membuat mood nya hancur.
Tapi terlepas dari hal itu, disisi lain Robby merasakan ada yang aneh dalam dirinya. Rasa itu seperti… hampa?
Ya, hampa. Karena jauh di dalam hatinya, Robby pun merasa kehilangan dengan tak ada Devi di sisinya. Terkadang kebiasaan atau kelakuan Devi terbayang dalam pikirannya. Contohnya saja ketika Robby berangkat ke Sekolah, biasanya Devi yang selalu di sampingnya sambil memuji penampilan Robby setiap pagi. Lalu ketika Robby harus pulang telat karena rapat, biasanya Devi lah yang akan menunggunya dengan sabar dan setelah itu mereka pulang sambil meminum minuman dingin yang dibelikan Devi, katanya sih untuk mendinginkan pikiran Robby sesudah rapat. Selain itu ketika Robby dipanggil wakil kepala sekolah untuk menanyakan laporan hasil rapat atau kegiatan-kegiatan ekskul sehingga harus pulang telat –lagi- hanya Devi yang mengertinya untuk membawakan tas Robby yang ditinggalkan di kelas, membuat Robby tak perlu lagi balik ke kelas tetapi langsung pulang.
Dan sekarang? Robby harus melakukan semua itu sendiri. Bukannya dia tidak mempunyai teman tetapi tak ada seorang pun yang semengerti Devi di antara teman-temannya yang lain. Sepertinya bukan Devi yang membutuhkan Robby, melainkan Robby lah yang membutuhkannya. Ya, sekarang dia mengerti akan hal itu. Dia harus segera meminta maaf pada Devi atas segala kekasaran yang dia lakukan selama ini. Semoga Devi cepat pulang dan menerima permintaan maaf nya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
SEMINGGU KEMUDIAN
“Pagi semua.” sapa Robby dengan nada malas ketika menuruni tangga keluar dari kamar. Robby menghampiri adik-adik nya yang sedang sarapan di meja makan.
“Kak Robby kenapa sih? Akhir-akhir ini terlihat kurang semangat begitu?” kata Melly dengan tatapan aneh.
“Kesambet kali.” celetuk Selly membuat Robby menjitak kepalanya dan Selly pun mengeluh sambil menggerutu tak jelas. Robby duduk sambil mengambil roti yang sudah di sediakan ibunya. Walaupun kedua adiknya kembar tetapi sifat mereka sangat berbeda jauh. Melly yang 5 menit lahir terlebih dahulu memiliki sifat lembut dan ceria seperti ibunya, sedangkan Selly cenderung seperti Robby dan ayahnya, dia sangat dingin dan tegas.
Robby tidak menjawab pertanyaan dari Melly, ia malah asyik memakan roti selainya. Sang adik hanya menghela nafas melihat sikap kakak nya itu.
“Oya, kenapa kalian tidak memakai seragam? Kalian membolos ya?! Dimana ibu? Biar kakak memberitahunya!” tanya Robby bertubi-tubi membuat kedua adik kembarnya melihatnya bingung.
“Apa kakak tidak tahu? Keluarganya kak Devi sudah pulang semalam,” jawab Melly pelan,
“Dan Ibu sedang ada disana sekarang.” lanjutnya lagi. Robby terdiam mendengar perkataan adiknya itu mencoba mencernanya.
“A-apa?! Kok kakak tidak tahu?” Robby tersedak dan Melly segera membantunya dengan memberinya segelas susu.
“Itu karena semalam kakak tidak keluar kamar. Pasti kakak kelelahan dan langsung tidur.” sahut Selly yang tahu kebiasaan kakaknya kalau sedang sibuk dan kelelahan.
Robby mengangguk membenarkan perkataan Selly.
“Hmm… baiklah, kakak mau jemput Devi dulu ya, sudah telat nih.”
“Tapi kak-,” perkataan Melly terputus karena kakaknya sudah pergi keluar rumah.
Robby melangkah cepat menuju rumah Devi. Dia sangat tidak sabar untuk bertemu dengan sahabatnya itu. Senyum Robby kian melebar ketika langkahnya hampir sampai di depan rumah bercat hijau tua, ya, itu rumah Devi.
Setelah sampai di depan rumah Devi, Robby mengerenyitkan alisnya bingung melihat banyak orang yang tengah memenuhi rumah itu.
“Ada apa ini?” tanyanya pada dirinya sendiri.
Karena penasaran Robby pun melangkah memasuki rumah dengan hati-hati. Dia melihat beberapa tetangganya yang sedang duduk di ruangan tamu. Robby jadi memikirkan kapan terakhir kali dia masuk ke rumah Devi? Hmm… mungkin 5 tahun yang lalu? Sudah lama sekali dia tidak masuk ke rumah Devi. Kelihatannya banyak sekali perbuhan pada tata letak peralatan yang terlihat lebih rapi dari sebelumnya.
“Ibu? Dimana Devi?” tanya Robby begitu melihat ibunya sedang membawa beberapa minuman gelas di tangannya.
“Robby…” wanita berkepala 4 itu menyebutkan nama anaknya lirih, menatapnya dengan perasaan yang sulit diartikan.
“Maaf bu, kali ini aku tidak bisa membantu membawakan barang-barang milik keluarga Devi seperti biasanya, karena aku ada keperluan penting dengan Devi sekarang. Dan kami pun harus segera berangkat ke Sekolah.” perkataan Robby membuat ibunya mengerenyitkan alisnya bingung. Dia meletakkan beberapa minuman gelas itu di atas meja.
“Lagi pula sudah banyak tetangga yang datang hari ini. Tumben sekali, tidak bisanya mereka datang membantu keluarga Devi. Biasanya hanya kita saja yang datang.” Lanjut Robby sambil menggaruk belakang lehernya yang tak gatal.
Beberapa detik ibunya menatap mata anaknya itu dan akhirnya berkata.
“Pasti kamu tidak mendengar perkataan ibu semalam,” ibunya menghela nafas berat sebelum melanjutkan perkataannya.
“Robby, Devi sudah tiada… Devi sudah meninggal.”
Robby membelalakan matanya, terlihat kedua kelopak matanya seperti akan keluar dari tempatnya. Sungguh dia sangat terkejut mendengar berita itu. Bagaikan petir yang menyambarnya di pagi hari, dia terduduk tak sanggup untuk menopang tubuhnya. Kedua kakinya terasa mati rasa setelah mendengar itu.
Ibunya ikut duduk dan memeluk anaknya itu dengan erat. Dia bisa merasakan kesedihan yang dialami Robby, karena dia tau kalau Devilah sahabat satu-satu nya bagi Robby, bisa dibilang keluarganya sudah menganggap Devi seperti saudara yang mereka sayangi. Tapi sayang anaknya terlalu bersikap dingin dan kasar pada Devi setelah anaknya itu beranjak remaja.
“Ba-bagaimana bisa?” tanya Robby dengan suara pelan tapi masih bisa didengar oleh ibunya.
Ibunya mengusap air mata yang keluar dari mata anaknya itu. Dia tau sebenarnya anaknya itu memiliki sifat yang keras, dia tidak pernah menangis, tapi kini? Anaknya terlihat rapuh dan lemah.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Robby berjalan mendekati sebuah peti mati berwarna putih bersih. Sesungguhnya ia tak sanggup untuk melihat Devi, karena ia sadar selama dihidupnya Robby hanya bisa menyakiti dan melukai hati Devi. Tetapi Robby ingin sekali melihat sahabat terbaiknya itu untuk terakhir kalinya.
Devi terlihat sangat cantik dengan balutan gaun putih, sepatu putih dan rambutnya yang dihias rapi dengan jepitan yang dia ketahui kalau itu hadiah yang diberikannya ketika Devi masih kecil.
Robby tersenyum miris mengingat penjelasan ibu nya tadi, kalau selama ini alasan kenapa keluarga Devi selalu pergi ke suatu tempat setiap bulan, itu karna Devi harus check up ke dokter spesialis kanker hati di luar kota. Selain itu alasan kenapa ibu nya Devi terlalu protektif dalam menjaga Devi, sekarang dia tahu dan mengerti.
Robby menutup mukanya yang merah karena daritadi air matanya itu tak mau berhenti. Ia sangat sangat bersalah pada Devi. Ingin sekali ia meminta maaf dan memperlakukan Devi dengan baik. Tapi nyatanya? Kini ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Karena Devi sudah tenang di alam sana.
“Robby?” Robby melihat ke samping kanan dan ternyata Ibu nya Devi, tante Deasy, sedang menatapnya sendu.
“Tan-tante…” katanya lirih. Tante Deasy mengangguk mengerti. Raut wajahnya yang terlihat pucat karena habis menangis itu tersenyum tulus pada Robby.
“Tante mengerti Robby. Tak apa,Tante tidak marah.” Robby pun kembali meneteskan air matanya karena betapa baiknya keluarga Devi.
“Bisa ikut tante sebentar?” Robby mengangguk dan mengikuti tante Deasy menuju taman belakang.
“Maafkan aku tante. Selama ini aku sudah berlaku kasar pada anak tante. Padalah Devi sangat baik dan tak pernah marah padaku.”
Robby menangis dan meminta maaf pada tante Deasy yang kini mereka sedang duduk di bangku taman menjauhi keramaian sejenak.
“Apa kau tau? Devi mengidap penyakit mematikan itu semenjak dia masuk SMP. Awalnya dia sangat terpuruk dan tertekan, dia menjadi pendiam dan sulit sekali berbincang dengannya. Tetapi tante sangat bersyukur karena walaupun dia seperti itu di rumah, tapi ketika dia diluar bersamamu, dia akan kembali ceria dan melupakan penyakit yang dimilikinya.”
Robby tertegun mendengar cerita tante Deasy. Selama ini ia mengira dimana pun Devi berada, pasti Devi akan selalu ceria dan bersemangat. Ternyata dibalik semua itu, Devi harus melawan penyakit mematikan itu dan dia tak mau membuat orang-orang tahu dengan penyakitnya itu.
“Sebenarnya setiap pagi penyakitnya itu selalu kambuh. Dia akan berteriak dan memberantaki kamarnya. Tante sangat khawatir dan sempat berpikir untuk melakukan kemoterapi, tetapi dia selalu menolak dan dia tak mau kamu curiga karena Devi harus sering izin tak masuk sekolah.” Tante Deasy menarik nafas sebelum melanjukan kembali ceritanya.
“Dia selalu mencoba untuk ceria ketika berada di sampingmu. Awalnya memang tante kesal dengan perlakuanmu yang kasar pada Devi. Tapi ketika melihat senyum dan tawa di wajah Devi ketika sedang bersamamu, tante menjadi senang dan bersyukur karena masih bisa melihat sikap Devi yang tak dia tunjukan di rumah.”
Tante Deasy meggenggam erat tangan Robby dan berkata,
“Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Obby. Saat ini tante tau pasti Devi sedang melihat kita diatas sana dengan senyum yang terukir di wajahya.” Robby mengangguk sambil melihat langit biru yang cerah. Ia membayangkan wajah Devi yang tersenyum padanya di langit.
“Ah ya, tante menemukan ini di kamar Devi. Sepertinya ini untukmu.” Tante Deasy memberikan sepucuk surat kepada Robby.
“Baiklah, Tante masuk dulu ya.” Robby mengangguk melihat kepergian tante Deasy dan dengan segera membuka surat tersebut untuk dibacanya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Lima hari berlalu dengan cepat. Robby pun sudah melakukan kegiatan seperti biasa.
Sejak ia membaca surat dari Devi, ia mulai merubah sikapnya yang cuek dan tak peduli pada lingkungan sekitar. Kini ia sudah melakukan apapun yang Devi tuliskan pada surat tersebut. Ia tak ingin melakukan kesalahan untuk kedua kalinya pada teman-temannya yang lain. Ia hanya ingin menjadi orang yang lebih peduli dan peka.
Untungnya ada Devi yang menyadarkan Robby, jika sikapnya itu salah. Ya, hanya Devi yang bisa menyadarkan si tukang marah ini.
Isi surat Devi
To: Robby, si tukang marah J
Hallo, apa kabar Robby?
Sudah pasti kau akan selalu bersikap cuek dan dingin pada semua orang, kan?
Ya, itu ciri khas mu.
Apalagi kalau denganku, kau akan tambah cuek dua kali lipat. Haha sungguh tak adil!
Walaupun begitu aku bersyukur masih bisa berada di sampingmu, sahabat terbaikku si pria tampan dan pintar.
Hey! Jangan tersipu begitu!
Yeah, kau tahu? Dengan semua sikap kasarmu padaku, aku sama sekali TIDAK marah padamu. Aku tak merasa tersakiti atau apalah itu. Karena aku adalah orang yang kuat. Hehe
Mungkin ketika kau membaca surat ini, aku sudah tak ada di dunia ini lagi.
Jangan marah, karena aku tak memberitahumu tentang peyakitku.
Penyakitku tak ada apa-apanya dengan semua sikap kasarmu padaku.
Ah, ya aku menyindirmu. Hehe
Tapi memang aku tak marah kok! Percayalah!
Hmm.. tapi walaupun aku tak marah, bisakah kau melakukan apa yang aku inginkan untuk menembus ‘kesalahanmu’ padaku?
Tak banyak yang aku inginkan.
Aku hanya ingin kau mengubah sikap cuek dan tak pedulimu pada orang lain,
Bertemanlah dengan orang-orang yang menerimamu apa adanya,
Jadilah orang yang peka dengan perasaan orang lain, khususnya perasaan seorang perempuan. Hehe
Dan jadilah pria yang hangat, Robby.
From: Devi
Selesai
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !