Autobiografiku
Bagian kesatu
Foto koleksi pribadi
Penulis lahir pada tanggal 5 Agustus 1958 di kampung
Wadaskubang desa Sindangsari kecamatan Petir kabupaten Serang provinsi Jawa
Barat. Penulis diberi nama “Aosin”. Menurut orang tuaku, nama ini diambil dari
sebuah hadits. Pada waktu balita pertumbuhanku tidak normal seperti bayi pada
umumnya. Sementar perkembanganku normal, bahkan di atas rata-rata. Pada usia
dua tahun aku belum bisa berjalan bahkan duduk dan tengkurep pun belum bisa.
Setiap hari hanya berbaring dan berbaring saja. Tapi walaupun begitu aku sudah
bisa mengobrol layaknya orang dewasa.
Pada usia kurang lebih satu tahun aku pernah
mengalami musibah, terinjak oleh kakakku, pas di bagian perut. Apa yang terjadi
dengan perutku selanjutnya, entahlah karena tidak pernah diperiksakan kepada
doktor. Sejak saat itulah pertumbuhanku tidak normal seperti layaknya balita.
Begitulah kata orang tuaku.
Itu cerita orang tuaku, dan selanjutnya ini ceritaku,
setelah menyadari keberadaan diri saya hidup di dunia. Pada usia kurang lebih
tiga tahun, yang kuingat waktu itu, saya digendong oleh nenek saya yang sedang
sibuk menadah air dari bocoran genting. Pada waktu itu terjadi hujan lebat yang
disetai jatuhnya bongkahan-bongkahan kecil es yang terkadang memecahkan
genting. Kalau tidak salah hujan es waktu itu terjadi tahun 1961. Sementara
waktu itu kakekku sedang asyik mengaduk-aduk gula merah yang belum matang,
sambil duduk dengan bantalan sabut kelapa yang dibalik, di depan tungku besar.
Pada usia sekitar empat tahun, ada memori yang masih
kuingat. Waktu itu aku sedang bermain egrang di sawah kering di belakang rumah.
Karena di sawah banyak lubang, kaki egrangku masuk dan terjepit di lubang, dan
aku terjatuh, sedangkan ujung egrang bagian atas mengenai alis mataku. Waktu
itu aku dimarahi habis-habisan oleh ibuku, tapi aku sudah menyadari bahwa
marahnya ibuku, mengandung arti saking sayang terhadap aku anaknya. Bayangkan
kalau bola mataku yang terkena.
Sekitar usia lima tahun, aku mulai mengekspresikan
rasa indah dalam hidupku. Kebetulan saya punya tetangga yang biasa membuat alat
musik sejenis gambus. Saya sering mencoba-coba memainkan alat itu, 100%
menggunakan feeling. Karena
tetanggaku itu merasa senang melihat bakat yang aku miliki, maka dia sengaja
membuatkan satu buah lagi khusus untuk saya. Rupanya permainan saya waktu itu
telah mengasah bakat yang telah ada dalam diriku.
Pada usia lima tahun itu, saya telah diajari mengaji
oleh orang tuaku, terutama ibuku. Ada pengalaman khusus dalam belajar mengaji
ini. Banyak teman-temanku yang belajar mengaji di tempat lain, dan aku mulai
ikut-ikutan. Sebenarnya orang tuaku melarang saya untuk ikut dengan mereka.
Tapi dasar anak kecil, saya memaksa. Setelah kurang lebih satu bulan, pada
suatu malam ayah dan ibuku mengetes kemampuan mengajiku hasil belajar dengan teman-temanku.
Karena aku tidak lulus, maka aku dimarahi habis-habisan terutama oleh ayahku.
Beberapa halaman Al Qur an hancur karena cucuran air mataku.
Pada bulan Januari 1967 aku didaftarkam masuk SD
Tunjung 1. Waktu itu masih transisi atau peralihan dari SR ke SD. Tulisan di
plangnya masih “SR TUNJUNG 1”. Waktu itu usiaku menuju ke-9 tahun. Naik ke
kelas 2, dan naik ke kelas 3 aku mendapat ranking pertama. Banyak sekali kesan
yang dapat saya rekam dari yang diajarkan oleh guru-guruku di sekolah itu. Karena
ayahku hanya pegawai negeri, tidak mampu memberi jajan tiap hari. Sebagai seorang
anak, tentunya saya ingin jajan sepeti ana-anak lainnya. Setiap pulang sekolah,
saya mencari “belarak” daun kelapa,
diambil lidinya untuk dijadikan sapu. Setiap seminggu sekali aku menjual hasil
usahaku itu, dengan hasil rata-rata Rp 1,5,-. Uang satu setengah rupiah itu
kugunakan untuk jajan 6 hari. Jadi satu harinya
saya jajan 2,5 ketip atau seperempat rupiah (orang-orang tua menyebutnya
satu talen). Begitulah seterusnya.
Pada tahun 1972 saya lulus dari SD Tunjung 1. Karena
tubuhku kecil, orang tuaku tidak tega kalau menyekolahkan saya ke SMP Negeri
Cikeusal yang jaraknya kurang lebih 8 Km. Untuk sementara tahun 1973 saya
disekolahkan di “Muallimin”(setingkat dengan PGA 6 Tahun). Baru saja saya menempuh pendidikan
satu semester, mendapat teguran karena belum bayar SPP, dan saya diberhentikan.
Tahun berikutnya (1974) saya masuk ke kelas 1 lagi. Lagi-lagi saya
diberhentikan karena belum bayar SPP. Dua tahun saya sekolah di PGA, tapi hanya
belajar di kelas 1 semester kesatu saja. Akan tetapi walaupun begitu banyak
sekali ilmu yang dapat saya rekam dari sekolah ini. Salah satu contohnya adalah
ilmu “shorof”, walaupun hanya teori dasar.
Sesuai dengan rencana awal. pada tahun 1975, saya
mendaftarkan diri ke SMP Negeri Cikeusal. Di sekolah ini saya mendapat
kesempatan meraih juara umum, dan mendapat bea siswa. Satu apresiasi yang tidak
pernah saya lupakan, pada suatu hari dalam upacra penaikan bendera, kepala
sekolah menyebut-nyebut nama saya, karena telah membuat artikel yang berjudul
“Mari Kita Sadari”. Rupanya tuhan telah menentukan nasib saya yang selalu
menerima keprihatinan. Pada waktu pembagian rapor kenaikan ke kelas 3 saya
tidak bisa hadir, karena celana saya sudah robek, dan tidak bisa diperbaiki
lagi. Lebih sial lagi, waktu itu saya diajak paman mengambil buah menteng di
kebunnya. Musibah tidak bisa diduga, saya terjatuh dari ketinggian 7 meter,
dengan membawa dahan dan buah menteng setengah karung. Tulang punggung dan
beberapa persendian saya ada yang bergeser dan ada yang retak, Kurang lebih
satu bulan saya komah. Dan selama satu tahun saya tidak sekolah. Tahun
berikutnya (1978) saya melanjutkan lagi di kelas tiga. Dasar memang nasib saya,
pada tahun itu terjadi perubahan tahun pelajaran, yang semula Januari ke
Desember, diubah menjadi Juli ke Juni. Maka saya baru lulus pada bulan Juni
tahun 1979. Jadi aku masuk SMP bulan Januari tahun 1975, lulus bulan Juni tahun
1979.
Satu pengetahuan dan keterampilan saya peroleh dari
SMP ini. Pada semester kedua para siswa diberikan kebebasan untuk memilih mata pelajaran (Keterampilan Bebas). Dan aku
memilih pelajaran seni musik, yaitu belajar teori dan praktik bermain gitar
(hanya sendiri). Walaupun siswanya hanya saya sendiri, guru saya waktu itu
sangat bersemangat untuk mengajari saya karena menurutnya saya tergolong
cerdas. Mungkin ini merupakan hasil dari kebiasaan saya waktu kecil suka
bermain alat musik (seperti disebut di atas). Akhir tahun pelajaran, saya
diberi waktu untuk mengisi acara hiburan dalam resepsi perpisahan. Anda bisa
percaya bisa tidak, guru yang mengajarkan seni musik diatonis kepada saya itu
adalah seorang ustadz, yang bernama Romli Sungkawa.
Pada tahun itu pula (1979/1980), saya mendaftar dan
diterima di sekolah kejuruan (SPG Negeri Serang). Di sinilah saya mulai membuka
ilmu pengetahuan dan wawasan pergaulan yang lebih luas lagi. Tapi semua itu
kujalani selalu dalam keprihatinan. Betapa tidak, selama saya bersekolah di
situ, saya pernah diusir dari tempt kos karena persoalan keuangan. Tapi saya
tidak pernah berpikir untuk putus sekolah. Pada suatu hari saya mengobrol
dengan salah seorang penjaga sekolah yang kebetulan sepertinya beliau
memperlihatkan sifat familier kepada saya. Sikap dan kebaikannya itu saya
manfaatkan. Pada suatu hari saya minta izin kepadanya untuk menginap di ruangan
Laboratorium biologi. Semula beliau ragu dengan alasan nanti saya akan kedinginan,
jika tidur di porselen. Tapi akhirnya beliau mengizinkan, karena melihat
kesungguhanku.
Satu masalah dapat kuselesaikan, tapi masih banyak
masalah-masalah yang lain yang tidak kalah beratnya. Salah satunya adalah
bagaimana saya harus mempunyai penghasilan, untuk memenuhi kebutuhan hidup,
sekaligus utuk melanjutkan pendidikanku di SPG. Kabetulan ada seorang pesuruh
yang memberi pekerjaan, yaitu menjadi tukang kebun, dan kebetulan tempatnya
tidak jauh dari lingkungan sekolah. Tidak pikir panjang dan tanpa negosiasi
harga, langsung kuterima pekerjaan itu, dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan
minimal untuk makan. Pengalaman prihatin waktu saya menjadi tukang kebun; suatu
hari saya mendorong-dorong grobag yang berisi bibit pohon pisang. Dengan susah
payah saya mendorong grobag di melewati jembatan Kaujon, tanpa mempedulikan
orang lain. Pisang tersebut saya ambil dari pinggiran asrama SPG (di pinggiran
kali Banten), dan kubawa ke kebun yang kugarap untuk ditanam di pinggiran tanaman
singkong yang telah saya tanam terlebih dahulu.
Hari demi hari saya lalui kehidupan seperti itu.
Untuk menyambung hidup, setiap hari saya mengutang makan kepada salah seorang
pedagang di kampung itu. Kebetulan ibu warung itu punya anak perempuan yang
belum bersuami. Hatiku senang bercampur khawatir. Senangnya, tiap hari aku
dapat dengan mudah mengutang makan, walau kadang-kadang dobel (dua kali belum
bayar). Khawatirnya, “jangan-jangan mau diambil mantu”.
Melihat kehidupanku yang semakin hari semakin
prihatin, penjaga sekolah yang mengizinkan saya tidur di laboratorium, kini mengizinkan
saya untuk tidur di mes, walaupun hanya di ruang tamu. Tentu saja saya sangat
senang, karena derajat saya naik satu kelas. Pada suatu hari saya diminta untuk
mengantar salah seorang guru yang hobi menembak burung. Dengan senang hati saya
bersedia mengantarnya. Kebutuhan makan saya waktu itu ditanggung oleh guru
saya, bahkan diperbolehkan merokok sepuasnya selama kami berburu. Berbeda
dengan di sekolah, jika ada siswa yang merokok, bapak guru yang satu ini
galaknya luar biasa.
Begitu dan begitu kehidupan kujalani. Pada Suatu
hari saya bertemu dengan seorang teman yang sangat simpati kepadaku. Dia
berasal dari kecamatan Balaraja Tangerang, bernama Abdul Majid. Di rumahnya dia
tidak pernah kekurangan beras, karena orang tuanya punya sawah yang lumayan
agak luas. Satu hari dia meminta saya membawakan kelapa, untuk diberikan kepada
ibunya. Untuk membalas simpatinya kepada saya, saya berusaha pulang kampung dan
besoknya kubawakan beberapa butir kelapa. Dua hari kemudian dia kembali ke
sekolah dengan membawa perbekalan
kosnya, termasuk membawakan aku beras sebanyak satu gantang (10 liter).
Rupanya dia telah menceritakan keprihatinan saya kepada ibunya.
Selain orang Belaraja, ada satu lagi teman saya yang
sama-sama duduk di kelas IPA, (dia IPA 2, saya IPA 1) dan bernasib sama dengan
saya. Dia sering menolong saya dalam kondisi kesusahan. Dia juga sering
mengajakku main ke rumahnya di daerah pantai, yaitu di pantai pulau Kalih
(sekarang kecamatan Pulo Ampel). Saya juga pernah diajak menginap di bagan,
sambil menunggu ikan terperangkap di jaring. Mad Saleh namanya.
Di sela-sela keprihatinan yang sedang saya alami,
pada suatu malam saya diminta untuk bersembunyi di kamar, oleh kakak ipar si
perempuan, anak dari ibu warung tempat aku mengutang makan tiap hari. Hatiku
berdebar-debar. Setelah saya tanya, ternyata pacar si perempuan itu mengancam
mau membunuh saya. Saya merasa bersyukur kepada tuhan, karena ternyata banyak
sekali orang yang berpihak dan mau menolong menyelamatkan saya. Termasuk teman
saya Mad Saleh, dia siap menghadang apa pun yang akan terjadi malam itu.
Walaupun dalam kondisi yang prihatin terus menerus, akan
tetapi dalam hal materi pelajaran saya masih sedikit di atas rata-rata. Di
sekolah ini saya mendapat kesempatan belajar lebih banyak tentang tangga nada
pentatonis. Lebih dari itu beberapa kali saya mendapat kesempatan untuk
manggung bersama dengan guru karawitanku. Selain
menyenangi seni musik, saya juga menyenangi seni rupa, khususnya seni lukis,
bahkan waktu aku masih SMP, aku telah banyak berkarya. Tetapi sangat
disayangkan karya-karya tersebut tak ada yang diabadikan. Pendidikanku di SPG
Negeri Serang, akhirnya dapat kuselesaikan dengan menggunakan uang bea siswa
dari prestasiku dalam pelajaran seni musik.
Demikian riwayat hidupku dipublikasikan sebagai pengamanan
arsip di google, dan semoga bermanfaat bagi para pembaca. Terima kasih telah
mengapresiasi tulisan ini, sampai jumpa di bagian kedua.
Hikhikhikhik......aku nangis bacanya Pak Broo...ternyata ceritanya lebih parah dari ceritaku.....Denger Pulau Kalih, inget ini :
BalasHapushttp://petir-fenomenal.blogspot.com/2012/03/photo-rekreasi-di-pulau-kalih.html
Itu baru bagian kesatu. Kemungkinan akan teyang sampai bagian 3 atau 4. Tapi muwales nulisnya!
HapusMantap gan. Salam kenal dan semoga sukses selalu
BalasHapusUntuk Foredi, terima kasih dan salam kenal kembali.
BalasHapus