Mesin Cuci
Oleh: Wahyu Wibisono
Sejak mesin cuci itu kubeli perutku berubah menjadi buncit, mungkin karena tak lagi berdiri dan membungkuk seperti dulu waktu mencuci tampa mesin. Baju dan celana kuganti tiga hari sekali, sekarang kuganti tiap hari. Begitu juga dengan “jeroanku” yang dulu kiganti setiap seminggu sekali, maklum bujangan tinggal di BTN T-21. Lingkungan sosial di situ, menganut paham tanpa gosip bagaikan miras kurang alcohol. Wong gara-gara mesin cuci masa aku digosipkan korupsi.
Pagi-pagi buta sebelum berangkat ke kantor, aku melakukan sejumnlah pekerjaan, seperti mengepel, menjerang air, nyedu kopi, mencuci, menyetrika, dan lain-lain. Setelah punya mesin cuci, rantai pekerjaanku memendek. Menyetrika kukerjakan borongan, setelah semua pakaian selesai dicuci dan kering. Akibatnya perut membuncit, dan otot lenganku melembek, karena tidak lagi mengucek dan memeras. Di kantor aku tidak kuat duduk berlama-lama, dengan keluhan pegal, linu, lesu, bahkan rasa kantuk.
“Mungkin kau harus lekas kawin Bud!” kata Barlan sahabatku. Dia adalah seorang Batak yang lama tinggal di Bogor, sehingga suaranya tidak keras seperti saudara-saudaranya. “Kawin? Apa hubungannya?”. “Umurmu berapa sekarang?”. “Tahun depan empat puluh”. “Nah itu!” teriak Barlan dengan keras, sampai orang-orang di kantor menoleh kepadanya. Barlan mengecilkan nada suaranya. “Orang bilang mulai usia empat puluh akan banyak mengalami pergolakan”. “Terus!”. “ Ya … kawin lah”. “Tapi siapa yang mau kepadaku? Lagi pula sepertinya enak membujang, tidak ruwet!”
Dulu ketika masih di SMP, aku sering menumpang lori tebu yang melintas dekat kampungku. Berbeda dengan KRL, mengendarai lori tidak berkesan terburu-buru. Menjelang sore, aku membantu ibu mencuci di kali sambil menggosip tentang apa saja, termasuk bini muda Pak Lurah yang tertangkap basah bermain dengan tukang kebunnya. Dalam suasana seperti itu pekerjaan dirasakan cepat rampung. Aku bergegas ke lapangan menyusul teman-teman untuk bermain kasti. Tapi terkadang ada yang mengganggu pikiranku. Wening gadis sebayaku anak Pak Noto pedagang kambing berkulit putih bersih, dan cantik, sering mengganggu pikiranku.
“Bud, kalau ada mesin cuci enak yang tak perlu repot-repot ke sungai,” kata Wening pada suatu sore. “Mana mungiin Ning”. “Kamu kan bias pinjam uang ke bapak saya, paling lima ekor kambing saja!”. “Mengapa tidak cari kerja di kota?” Wening kaget, “Aku? Emoh lah paling jadi babu”. “Siapa yang nyuruh jadi babu, kamu kan pintar masak, siapa tahu ada restoran yang membutuhkan juru masak”. “Masak? Aku lebih suka bekerja ti TV, asyik tiap malam ditonton orang”.
Aku terkejut ketika Bang Hilma petugas Siskamling mencegatku di gerbang BTN. Ia melaporkan bahwa semalam terjadi hujan lebat, dan komplek kami tergenang. “Air baru surut tadi sore Pak!” kata Hilma sambil memutar-mutar kumis tipisnya. Dengan tergopoh-gopoh aku masuk rumah. Ya ampuuuun !!! Sisa genangan air di tiap sudur ruangan berwarna kecolat-coklatan, bercampur lumpur. Buku-buiu, map, mini kompo, kaset, Koran dan lain-lain yang kusimpan di kaki meja semua berantakan bekas terapung oleh genangan air. Secara reflek aku menyentuh tombol TV, yang kebetulan selamat dari genangan air. Aku terbengong-bengong, melihat wajah Wening tengah membawakan acara dialog, nama yang tertera bukan Wening. Tapi aku tidak akan lupa itu Wening dengan tai lalat di tepi bibirnya yang sering kuimpikan bias kukecup.
“Bapak yakin di era teknoilogi ini manusia akan menjadi budak mesin?” Tanya Wening. “Tidak persis begitu Jeng, cuma akibat ketergantungan pada mesin, manusia akan sakit. Contohnya orang yang sering mencuci di sungai biasanya sehat-sehat, jiwanya stabil. Hidupnya seimbang, dekat dengan alam, penuh keakraban. Tapi ketika perannya digantikan oleh mesin, tak sedikit yang sakit-sakitan”. “Tapi bukankah dengan penemuan teknologi, justru membuat pekerjaan menujadi lebih mudah?”. “Ah, itu kan Cuma teori”. “Jadi apa yang bisa disimpukla ?”
“Di era teknologi ini kelihatan sekali manusia sok jagoan, sok pintar, sok menguasai kehidupan. Tapi di balik itu banyak yang kembali ke kehidupan alamiah, bahkan sering memuji-muji kehidupan masa lalu”. “Apa artinya Pa?” “Embuh?”
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !