Kajian Prosa Fiksi
A. Pengertian
Prosa berasal dari bahasa Latin "prosa" yang artinya "terus terang". Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide. Prosa adalah suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi, karena variasi ritme (rhythm) yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Prosa kadangkala juga disebut dengan istilah "gancaran".
Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (disingkat: cerkan) atau cerita khayalan. Bentuk karya fiksi diantaranya berupa prosa novel.
B. Era Prosa Indonesia :
1. Prosa lama, yaitu prosa bahasa indonesia yang belum terpengaruhi budaya barat. Kalau prosa kita artikan sebagai karangan dengan bahasa yang tidak terikat, maka semua karya sastra prosa dari kesusasteraan lama yaitu dongeng, legenda, hikayat, fabel, dan cerita rakyat seperti Dongeng Sang Kancil. Hikayat Si Miskin, Hikayat Pendawa Lima, Hikayat Amir Hamzah, legenda terjadinya Tangkuban Perahu, dan sebagainya dapat kita masukkan sebagai karya prosa Indonesia.
2. Prosa baru, ialah prosa yang telah dipengaruhi budaya barat, dan dikarang bebas tanpa aturan apa pun.
Karya prosa modem Indonesia dimulai dari era:
a. Balai Pustaka
Buku-buku yang diterbitan seperti Si Jamin dan Si Johan, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat. dan sebagainya. Di luar Balai Pustaka sebenarnya ada pula buku-buku cerita yang diterbitkan; tetapi karena bahasanya “kurang terpelihara” maka sering tidak dianggap atau tidak dibicarakan sebagai karya sastra Indonesia. Prosa-prosa produk zaman Balai Pustaka kebanyakan karya mengangkat persoalan adat sebagai tema, dan belurn mengangkat masalah sosial budaya. Oleh karena itu, konflik-konflik yang ierjadi hanyalah seputar pertentangan golongan yang mempertahankan adat dengan golongan yang ingin meninggalkan adat karena dianggap mengekang kebebasan dan kemajuan.
b. Angkatan Pujangga Baru
Prosa pada angkatan ini sudah tidak banyak lagi bertemakan adat atau pertentangan adat melainkan sudah mengangkat juga persoalan sosial seperti dalam roman Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana yang mengangkat masalah emansipasi wanita; novel Belenggu karya Armyn pane yang mengangkat masalah kehidupan sosial seorang dokter, istrinya, dan seorang pasien wanita. Sutan Takdir meskipun disebut-sebut sebagai tokoh Pujangga Baru, namun dia sebelumnya sudah menulis prosa jauh sebelum itu, dan karya-karyanya juga banyak dihasilkan setelah itu. Prosanya yang lain adalah Tak Putus Dirundung Malang, dan Grotta dan Azura yang ditulisnya pada tahun enani puluhan.
c. Zaman Jepang (1940-1945)
Pada masa ini karya sastra kebanyakan berupa puisi yang bersifat simbolis karena tidak berani berterang-terangan, takut akan ancaman Jepang. Prosa yang muncul hanyalah berupa corat-caret, sketsa, dan kisah-kisah pendek dari pengarang Idrus. Itu pun baru diumumkan setelah Jepang kalah perang. Judul-judul prosanya antara lain “Corat-Caret di bawah Tanah”. “Kota harmoni”, Sanyo”, “Oh..oh”, dan “Aki”. Kalau Chairil Anwar disebut sebagai pelopor Angkatan ’45 dalam bidang puisi, maka Idrus adalah pelopor Angkatan ’45 dibidang prosa. Keduanya disebut sebagai pelopor karena keduanya membuat pembaharuan dalam memberi corak karya sastra mereka yang berbeda dengan karya angkatan sebelumnya.
d. Setelah Jepang pergi pada tahun 1945,
Pada masa ini negeri kita diamuk suasana revolusi sejumlah karya prosa muncul. Pada 1948 terbit karya Idrus diantaranya Jalan Lain ke Roman yakni kumpulan cerita pendek yang dimulai dengan cerpen “Ave Maria”. Namun, di dalam buku itu pun ada naskah drama yang berjudul “Kejahatan Membahas dendam”. Pengarang lain adalah Pramudya Ananta Tur yang dalam prosa-prosanya banyak melukiskan kedahsyatan revolusi Indonesia. Karyanya antara lain Keluarga Gerilya (novel), Mereka yang Dilumpuhkan (novel), Percikan Revolusi/kumpulan (cerpen), Perburuan (novel), Subuh (novel), dan Di Tepi Kali Bekasi (novel).
Novel lain yang muncul pada masa revolusi adalah Atheis karangan Achdiat Karta Mihardja, Tidak Ada Esok dan Jalan Tak ada Ujung karangan Mochtar Lubis.
Terlepas dari ide yang dikandung di dalamnya, H.B. Jassin menyatakan bahwa “Surabaya” karya Idrus, Keluarga Gerilya karya Pramudya dan Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis merupakan puncak kesusastraan angkatan ’45 sampai sakarang.
Revolusi berakhir pada akhir Desember 1949 dan Indonesia secara de facto dan de yure menjadi negara merdeka. Namun, pada awal kemerdekaan ini kegiatan sastra tampaknya lebih banyak pada karya puisi dan cerita pendek. Banyak pengarang muncul bersama cerpennya yang dipublikasikan dalam buku kumpulan cerita pendek. Mereka itu antara lain Subagio Sastrawardaya, N.H. Dini, S.M. Ardan, Sukanto S.A., A.A. Navis, Trisnoyuwono, dan Nugroho Notosusanto.
Karya mereka yang bisa disebutkan di sini antara lain, adalah Terang Bulan Terang di Kali (kumpulan cerpen) dan Nyai Dasima karya S.M. Ardan, Hitam Putin (kumpulan cerpen) karya Mohamad Ali, Robohnya Surau Kami (kumpulan cerpen) karya A.A. Navis, Kawat Berduri karya Trisno Yuwono. Pulang (novel) karya Toha Mochtar, Hati yang Damai dan Dua Dunia karya N.H. Dini, dan Daun Kering karya Trisno Sumardjo.
e. Sesudah G 30S/PKI tahun 1965
Prosa Indonesia tetap didominasi oleh cerpen, meskipun karya novel juga tidak kurang, tetapi lebih banyak pengarang dikenal knrcna karya ccrpennya. Walaupun demikian novel-novel yang patut disebutkan sesudah huru-hara G 30 S/PKI itu, antara lain adalah Harimau-Harimau dan Maut dan Cinta keduanya karya Mochtar Lubis, Jalan Terbuka karya Ali Audah, Sepi Terasing karya Aoh K. Hadimadja; Tidak Menyerah. Jentera Lepi, Kubah, dan Bawuk, keempatnya karya Umar Kliayam, Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya, Kalah dan Menang karya Sutan takdir Alisyahbana, Telegram karya Putu V/ijaya, Pada Sebuah Kapal karya N.H. Dini; Ziarah dan Merahnya Merah keduanya karya Iwan Simatupang; Karmila karya Marga T; Wajah-Wajah Cinta karya La Rose; dan sejumlah novel lainnya.
Seperti disebutkan di atas bahwa cerita pendek mendominasi prosa Indonesia mutakhir, hal itu tampak dari banyak cerita pendek yang dipublikasikan melalui berbagai majalah sastra maupun majalah umum, serta sejumlah buku kumpulan karya sastra seperti yang diedit oleh para cerpenis seperti Gerson Poyk, Umar Khayam, Kuntowijoyo, Putu Wijaya, Budi Darma, dan Danarto.
C. Macam-macam Prosa
1. prosa naratif, karangan yang menyajikan serangkaian peristiwa ( Suparno, 2007 : 54).
2. prosa deskriptif, yaitu karangan yang memberikan gambaran tentang apa yang ada dalam angan-angan penulis.
3. prosa eksposisi, dan
4. prosa argumentatif.
D. Analisis Sastra
Unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra prosa terdiri dari :
1. Unsur intrinsik
Unsur intrinsik sastra yaitu unsur-unsur yang secara eksplisit terkandung dalam sastra :
a. Tema
Tema merupakan inti dari cerita. Dengan kata lain tentang apa cerita itu. Ada beberapa cara untuk menganalisis tema, diantaranya : dengan cara membaca keseluruhan dari cerita sampai tuntas. Jika pembaca peka dalam menyerap isi cerita, maka temanya akan langsung dapat dirasakan. Cara lain yaitu dengan mencari dan mengumpulkan ide pokok dari tiap paragrap. Selanjutnya cari ide-ide pokok yang sejenis dan membicarakan tentang hal yang sama. Atau cari ide pokok yang dapat mewakili keselluruhan ide pokok yang lain.
b. Amanat, yaitu pesan-pesan yang disampaikan oleh penulis, baik secara eksplisit, maupun inplisit.
c. Alur, yaitu jalan cerita (maju, mundur, atau campuran). Selain itu situasi dalam cerita dapat dianalisis mulai dari :
1) Situastion, (situasi awal)
2) Generating circum stancis situasi makin memuncak)
3) Klimak (puncak)
4) Denonement (penyelesian)
d. Latar/setting, yaitu setting geografis tempat kejadian dalam cerita, dan setting historis, yaitu waktu terjadinya dalam cerita)
e. Tokoh/penokohan, tokoh adalah pelaku dalam cerita, sedangkan penokohan adalah watak atau karakter pelaku dalam cerita, baik pelaku antagonis, protagonis, maupun trigonis. Untuk menggambarkan watak dari tokoh, dapat dillihar dari :
1) fisik
2) Cara berbicara
3) Cara menanggapi pembicaraan,
f. Point of few/sudut pandang (di manakah penulis menempatkan dirinya dalam cerita itu, orang kesatu, orang kedua, atau orang ketiga).
g. Gaya bahasa (bagaimana penulis mengungkapkan cerita dengan pilihan-pilihan kata tertentu) untuk meyakinkan dan menarik perhatian dari pembaca.
2. Unsur ekstrinsik sastra, yaitu latar belakang penulis diantaranya:
Sosiologi, psikologi, Pendidikan, pekerjaan, agama, dll
E. Hakikat Apresiasi Prosa
Kata apresiasi secara harfiah berarti ‘penghargaan’ terhadap suatu objek, hal, kejadian, atau pun peristiwa. Untuk dapat memberi penghargaan terhadap sesuatu, tentunya kita harus mengenal sesuatu itu dengan baik dan dengan akrab agar kita dapat bertindak dengan seadil-adilnya terhadap sesuatu itu, sebelum kita dapat memberi pertimbangan bagaimana penghargaan yang akan diberikan terhadap sesuatu itu. Kalau yang dimaksud dengan sesuatu itu adalah karya sastra, lebih tepat lagi karya sastra prosa, maka apresiasi itu berati memberi penghargaan dengan sebaik-baiknya dan seobjektif mungkin terhadap karya sastra prosa itu. Penghargaan yang seobjektif mungkin, artinya penghargaan itu dilakukan setelah karya sastra itu kita baca, kita telaah unsur-unsur pembentuknya, dan kita tafsirkan berdasarkan wawasan dan visi kita terhadap karya sastra itu.
Seperti sudah dibicarakan, prosa atau prosa fiksi adalah sebuah bentuk karya sastra yang disajikan dalam bentuk bahasa yang tidak terikat oleh jumlah kata dan unsur musikalitas. Bahasa yang tidak terikat itu digunakan untuk menyampaikan tema atau pokok persoalan dengan sebuah amanat yang ingin disampaikan berkenaan dengan tema tersebut. Oleh karena itu, dalam apresiasi dengan tujuan menghargai terhadap karya prosa itu, kita haruslah bisa “membongkar” dan menerangjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan ukuran keindahan dan “kelebihan” karya prosa itu. Dengan demikian, penghargaan yang diberikan dapat diharapkan bersifat tepat dan objektif. Suatu apresiasi sastra, menurut Maidar Arsjad dkk dilakukan melalui beberapa tahap kegiatan. Tahap-tahap itu adalah.
1. Tahap penikmatan atau menyenangi. Tindakan operasionalnya pada tahap ini adalah
misalya membaca karya sastra (puisi maupun novel}, menghadiri acara deklamasi, dan sebagainya.
misalya membaca karya sastra (puisi maupun novel}, menghadiri acara deklamasi, dan sebagainya.
2. Tahap penghargaan, operasionalnya, antara lain, melihat kebaikan, nilai, atau
manfaat suatu karya sastra, dan merasakan pengaruh suatu karya ke dalam jiwa, dan
sebagainya.
manfaat suatu karya sastra, dan merasakan pengaruh suatu karya ke dalam jiwa, dan
sebagainya.
3. Tahap pemahaman, opersionalnya adalah meneliti dan menganalisis unsur
intrinsik dan unsur ektrinsik suatu karya: astra, serta berusaha menyimpulkannya.
intrinsik dan unsur ektrinsik suatu karya: astra, serta berusaha menyimpulkannya.
4. Tahap penghayatan, operasionalnya adalah rnenganalisis lebih lanjut akan suatu
karya, mencari hakikat atau makna suatu karya beserta argumentasinya; membuat tafsiran dan menyusun pendapat berdasarkan analisis yang telah dibuat.
karya, mencari hakikat atau makna suatu karya beserta argumentasinya; membuat tafsiran dan menyusun pendapat berdasarkan analisis yang telah dibuat.
5. Tahap penerapan, operasionalnya adalah melahirkan ide baru, mengamalkan
penemuan, atau mendayagunakan hasil operasi dalam mencapai material, moral, dan
struktural untuk kepentingan sosial, politik, dan budaya.
penemuan, atau mendayagunakan hasil operasi dalam mencapai material, moral, dan
struktural untuk kepentingan sosial, politik, dan budaya.
E. Langkah-Langkah Apresiasi Prosa
Dalam berbagai buku sumber ada disebutkan langkah-langkah yang dilakukan dalam melaksanakan apresiasi sastra secara umum dan apresiasi karya sastra secara khusus. Yang disebut di bawah ini pada dasarnya tidak berbeda dengan yang disebutkan dalam buku-buku sumber itu.
1. Membaca cerita secara tenang dan seksama. Kalau perlu lakukan dua tiga kali. Biasanya sebuah karya prosa yang baik akan mengundang kita untuk membacanya berkali-kali karena kita memperoleh kenikmatan dari pembacaan itu.
2. Mencoba mencari jati diri melalui prosa yang dibacanya.
3. Mencoba menelaah tema, plot, penokohan, setting/latar, dan berbagai unsur instrinsik lainnya.
4. Mencoba menelaah amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang dengan novel (cerpen, roman) tersebut.
5. Mencoba menelaah penggunaan bahasa yang digunakan dalam karya prosa tersebut melihat kekuatannya, dan mencari kekurangannya.
6. Mencoba menarik kesimpulan akan nilai karya prosa tersebut berdasarkan telaah objektif terhadap temanya, plotnya, perwatakannya, latarnya, dan sebagainya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !