Kau Coret Hatiku
Karya : Fitriyani
Kelas XII IPA 2 SMA Negeri 6 Kota Serang
Hari ini, hari yang sangat cerah, awan di langit terlihat biru,
burung di tangkai terdengar menyanyi, ayam dikandang ramai berkokok, embun sejuk basahi dedaunan. Aku tak pernah absen
melihat dan mendengar semua itu “Alhamdulillah!”. Aku
mengucapkan kata syukur dalam hati. Fenomena alam pagi itu dengan suasana hatiku
saat ini, rasanya damai dan nikmat sekali. Aku selalu mengawali aktivitasku
di pagi hari dengan berolah raga kecil setelah bangun tidur, walaupun aroma
badanku tercium tak sedap, karena semalaman berkeliling pulau Bantuling
(bantal dan guling), tapi aku tidak
peduli, asalkan badanku ini jadi sehat dan segar. “Sayaang, bangun tidur kok
malah langsung olahraga, shalat dulu doong, sesudah itu kamu pergi mandi,
hari ini kan kamu sekolah.” Terdengar suara mama dari balik pintu kamarku. “ Iya mama,
Fina udah sholat kok’” Jawabku sambil tersenyum malu karena dimulutku masih ada sisa-sisa tamasya
ke pulau bantuling. “lho, sudah shalat itu seharusnya langsung mandi, ganti
baju, rapikan tempat tidur, sarapan, setelah itu kamu capcus ke sekolah.” Terang mama panjang
lebar dengan nada sedikit alay. “ Ok mama ku tersayang siap!” Sambil mencium
kening mama. “Iih bau!” Ledek mama padaku.
Setelah menuruti apa yang dipinta mama, aku bergegas
untuk pergi sekolah. Letak sekolahku tak begitu jauh, cukup dengan membayar
Rp.10.000,- ke
mamang ojek, aku langsung sampai ke sekolahku.
“ Fina, kamu sudah selesai belum, PR membuat
kerangka badak dari pak Somad?” Tanya teman sebangkuku yang sangat polos,
padahal Pak Somad hanya bercanda memberikan PR itu. Masa iya, suruh bikin
kerangka badak sendirian?? Hahah ... masih saja, dia anggap serius. Aku tertawa
dalam hati.
“Aduh Ulfah, please deh, pak Somad tuh hanya bercanda kalay… kamu ini percaya
saja!” Jawabku
dengan nada penuh kealayan. “Are you
sure Fina, so pak Somad lie to me?” Kata Ulfah sedikit kebarat-baratan. “Yo’i
mbak broo.” Ledekku
sambil menuju ke tempat duduk yang biasa aku duduki. Aku duduk sebelah pojok,
barisan pertama, pas berhadapan dengan meja guru. Di belakangku, duduk salah
seorang pria aneh, berbadan ramping, berkulit kecoklatan, berambut ikal, dan
berparas aneh. Hahaha!. Alis matanya yang seperti ulat bulu, tak dapat aku
menahan tawa jika melihatnya, tapi dia sangat cerdas dan pintar. Namanya
Putra, selalu mendapat peringkat ke 1 dikelasku. Dia selalu membuatku kesal,
setiap hari, aku dibuli olehnya, entah apa salahku? Aku pun tak tahu.
“Fin, tangan lo mana”
tanya Putra padaku saat pelajaran matematika berlangsung. “Apaan sih, ga jelas banget, tanganku
ya disini lah ada.” Seru ku dengan nada yang pelan, karena jika terlalu
berisik, aku akan dimarahi oleh guru matematika, beliau sangat tegas dan
galak, suasana kelas harus selalu hening, karena jika tidak, maka konsentrasi
intelektual kita bisa terganggu, begitu katanya. Oleh karena itu, setiap
pelajaran bu Masya, kita selalu diam tak banyak cakap. “Sudah, gue pinjam
dulu tangan lo.” Pinta Putra dengan memaksa. “Kamu kira tanganku mainan
apa????” Jawabku sedikit dengan nada keras, sehingga terdengar oleh Bu Masya.
“ Fina… bisa tenang???!!” Tegur bu Masya. “Maaf bu, “ jawabku tersipu. Dengan
tiba-tiba Putra menarik tanganku, dan apa yang terjadi dengan tanganku? Dia
meminjam tanganku hanya ingin untuk menumpang ngotret soal matematika yang agak rumit itu. Aku tak bisa berkata
apapun, karena aku takut ditegur bu Masya lagi, terpaksa aku diam, dan
memperbolehkan Putra mencoret tanganku.
“Hey Putra, ngapain
sih kamu coret-coret tanganku?? Tuh liat tanganku jadi kotor!” Protesku dengan
kesal. “Hahaha, emang gue pikirin??” Jawab Putra sambil menjulurkan lidahnya,
seperti mengejek. “Awas ya, akan ku balas, dasar alis ulet bulu.” Ucapku dengan kesal. “Lebih
baik ulet bulu, dari pada lo ulet rambut, iyuuh bisa direbonding dong. Hahaha!” Ledek Putra sambil
berlalu ke kantin. “Iiiih, aku kesal banget sama Putra, kenapa sih dia kayak
gitu sama aku?” Celotehku pada Ulfah, yang sejak tadi diam entah menahan apa.
“Ul, kenapa kamu diam saja? Ngomong dooong, gimana caranya aku membalas
kejayusan Putra?” Tanya ku lagi. “Mm sudahlah kamu biarkan saja dia, lama
kelamaan juga bakalan kecoret. Aduh Fin, saya sakit perut, saya pergi dulu… .” Jawab Ulfah, yang
ternyata sudah tak tahan ingin pergi ke toilet karena sakit perut. “Maksud kamu
apa Ul? Aaah, punya temen gak ada yang bener amat!” Ucapku sambil
bersandar di kursi emas, di bawah pohon rambutan.
Bel pulang berbunyi, aku
bergegas pulang, karena tak tahan melihat tanganku penuh dengan tinta pulpen,
ingin rasanya aku bersihkan dengan banyak sabun. “Fin, saya duluan ya…!” Ujar Ulfah sambil
melambaikan tangan pada kaca mobil yang terbuka. “ Iyaaaa…!” Teriakku kencang.
“Assalamualaikum! Maah Fina pulang… .” Teriakku, karena takut
tak terdengar mama yang sedang masak di dapur. “Waalaikumsalam, sayang… lho,
ini kenapa di tanganmu banyak coretan begitu??” Tanya mama sambil
memegang tanganku. “Biasa mah, korban kejayusan.” Jawabku lelah. “Sudah, bersihkan
tanganmu sekarang.” Perintah mamah sambil memukul pelan ransel di
pundakku. “Siap mamah!” Ucapku sambil berjalan menuju kamar. Sesampai di kamar, aku langsung
membersihkan tanganku dari tinta pulpen yang melekat pekat itu. Sambil
menggerutu sendirian di toilet, seperti orang gila. Setiap malam, kebiasaan
rutinku adalah mencatat semua yang terjadi di hari-hari ku, termasuk kejadian
tadi siang, yang membuatku sebal. Tanpa kusadari, catatan harianku sangat
penuh sekali dengan nama Putra, kelakuan Putra, dan kebiasaan aneh Putra,
setiap hari. Tepatnya tiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu, catatanku pasti
tentang Putra yang kerjaannya mencoret tangan mungilku. Kalau dihitung-hitung,
sudah dua belas buku harianku yang didominasi oleh cerita kelakuan Putra
padaku. Aku pernah merasa suka pada Putra, saat pertama melihatnya, aku jatuh
hati padanya, apalagi alis Putra yang seperti ulat bulu, membuat aku geli
saat melihatnya.
Hari begitu cepat
berlalu, baru saja aku bergelut dengan mimpi ku semalam, kini harus terbangun
dan mungkin akan menikmati coretan dari Putra lagi, di sekolah. Seperti
biasa, sesudah bangun tidur, aku bergegas untuk shalat subuh, setelah itu,
dilanjutkan dengan kebiasaanku yang kedua yaitu berolah raga kecil. Masih seperti
hari kemarin, awan di langit terlihat biru, burung diranting terdengar
bernyanyi, ayam dikandang terlihat menari, hanya bedanya, hari ini di sambut
dengan awan sedikit mendung. Membuatku ingin melekatkan mantel berwarna hijau
di tubuhku. Tapi, aku sangat bingung dengan wajahku, kok tumben ada sedikit
benjolan kecil di pipiku? Ooh, ternyata itu jerawat, aku sangat aneh,
padahal, sebelumnya, aku tak pernah jerwatan seperti ini, aku jadi teringat
kata teman sekelasku yang duduk dengan Putra “Kalau jerawatan, itu berarti
ada yang suka sama lo secara diam-diam.” Seperti itu katanya. “Aah masa
iya, ada yang suka padaku secara diam-diam? Tapi itu siapa?” Tanyaku dalam
hati.
“Fina, ayo turun,
sarapanmu sudah mamah siapkan!” Teriakan mamah terdengar di dapur yang terletak
bersebelahan dengan taman. “Mah, aku sudah telat, sarapanku dibekal saja mah!” Jawabku berteriak,
sama seperti teriakkan mama di dapur. “Ooh, ok sayang…!” Jawab mamah dengan nada yang
lembut. “Mah, aku berangkat dulu ya, sudah kesiangan!” Aku pamitku dengan
terburu-buru. “Hey, kemarin papa mu telpon, kamu mau dibelikan apa Fin?” Tanya
mama sempat-sempatnya bertanya padaku, padahal aku sudah kesiangan. “Iya,
ntar aku SMS papa, assalamualaikum!” Pamitku sambil berlalu
meninggalkan rumah.
“Kok tumben, wajahmu
jerawatan?” Tanya Ulfah dengan rasa penasaran. “Ga tau nih, tiba-tiba
banget.” Jawabku
sambil mengerutkan kening. “Mungkin, benar yang di kata Aldo, pasti ada yang
suka sama kamu secara diam-diam.” Jelas Ulfah. “Aah aku tak percaya
itu.. !” Ucapku
malu.
“Do, gue mau tanya sama
lo, menurut lo, gue banci gak sih? Gue pecundang gak sih?” Tanya Putra,
seolah ketakutan. “Lo kenapa sih Tra, kenapa lo nanya kayak gitu? Emang lo
sering pake make-up?? Sampai-sampai lo ngira, diri lo sendiri kayak banci?
Hahaha.” Ledek Aldo, teman sebangku Putra. “hey, gue serius, gue suka sama
seseorang, tapi gue gak berani buat nyatain nya...!” Jawab Putra dengan
nada lemas. “Hahahaa, yaudah apa susahnya sih nyatain perasaan lo ke cewe?
Perlu bantuan gue? “ Tawar Aldo. “Gak, gak usah, lo cukup kasih tau gue,
gimana caranya buat nyatain perasaan gue ke dia?” Pinta Putra. “Emang siapa
sih yang buat lo jatuh cinta? Setau gue, lo gak pernah jatuh cinta deh.” Lagi-lagi Aldo meledek
Putra. “Aah parah lo, emang sih ini my
first love. Udah sih, jangan ledek gue terus, lo tau gak cara yang
ampuh buat nyatain cinta gue?? “ Paksa
Putra. “Iya, iya, sini gue bisikin.” Jawab Aldo sambil membisikkan sesuatu
ke telinga Putra. “Ok deh, gue setuju, thank’s
sob.” Jawab
Putra, tanda setuju.
“sekarang pelajaran apa sih?” Tanya Fina pada
Ulfah. “Yaelah, masa kamu lupa? Sekarang pelajaran matematika, bu Masya.” Jawab Ulfah sambil
mengambil buku matematika di dalam tas. “Oh my goodness, habislah tanganku. “ Lirih Fina. “Hah? Kamu mau
potong tangan mu sendiri? Jangan Fina, tangan kamu tinggal dua.” Jawab Ulfah dengan
muka polos. “Hello, dari dulu juga, tanganku dua” jawab Fina.
Bel masuk berbunyi,
teman-teman sekelasku berlomba untuk datang ke kelas, karena tau, hari ini
pelajaran bu Masya. Termasuk, Putra dan Aldo, terlihat buru-buru untuk sampai
di kelas. Tak lama kemudian, Bu Masya datang dengan membawa setumpuk buku,
yang entah buku apa. Seperti biasa, suasana tenang sangat mewarnai kelasku.
Tiba-tiba, “bruuuk!” Suara bukuku tak sengaja terlempar kearah bangku Putra.
Saat hendak mengambil buku, tiba-tiba tanganku serasa ada yang menarik,
ternyata Putra yang menarik tanganku.
“Please Tra, aku gak mau dimarahi bu Masya lagi.” Pintaku pada Putra, berbisik. “Gue
tau, untuk sekali ini aja, please…! Gue pinjam tangan lo” pinta Putra, dengan
penuh harap.
Aku tak bisa berkata apapun, aku hanya memalingkan muka,
dan mengikhlaskan tanganku dicoret Putra. Aku kaget, saat melihat tanganku yang
bercoretkan beberapa kata dari Putra. Ini coretannya. “Hari ini, gue nyatakan
perasaan gue sama lo Fin, gue sayang sama lo.” Itu coretan terakhir dari Putra.
Aku hanya tersenyum manis, melihat coretan aneh dari Putra. Sesampainya dirumah,
rasanya coretan itu tak ingin kubersihkan. Aku terus memandang tangan mungilku
yang bercoretkan kata-kata mustahil itu, oleh karena itu, aku abadikan di
kamera ponselku. Sampai akhirnya, aku jadian dengan Putra. Sekarang Putra
tak pernah mencoret-coret tanganku lagi semenjak dia mencoret hatiku.
|
Mantab karyanya Fitri ni, aku ingin ikut nyoret.....
BalasHapushehee, makasiihhh....
BalasHapus