Karya : Fitriyani
Kelas XII IPA 2 SMA Negeri 6 Kota Serang
Hari itu, aku bangun lebih siang daripada
sebelumnya, karena semalam, aku seperti di nina bobokan oleh cuaca yang sangat
mendekap. Hujan turun begitu derasnya,
membuat tidurku semakin terlena dan terlelap. Ditambah gemuruh air yang turun
dari genting, membuat suara mama yang berusaha membangunkanku tak terdengar. “Apaaaaa????”
Suaraku terdengar keras, karena
kaget kalau jam wecker Donald Bebekku menunjukkan angka 06:30. “Makanya, kalau
tidur jangan kayak kebo, kesiangan kan???”
Ledek adikku yang masih berusia 12 tahun. “Biarin, yang
kesiangan kan kakak bukan kamu!
Udah sana berangkat!” Jawabku dengan nada tegas. “Dih, nyuruh
Nadia berangkat, kakaknya sendiri belum ngapa-ngapain” Jelas adikku, yang ingin
berangkat bareng denganku. “Nad, kayaknya kakak gak akan bawa motor deh, kamu bareng sama jemputan aja ya..” Terangku.
“Ya udah deh, Nadia bareng sama Mang Nunu
aja.” Jawab adikku sambil berlalu
meninggalkan kamar.
Jika cuaca hujan seperti ini, aku paling gak mau
bawa motor ke sekolah, karena kondisi tanah sekolahku yang masih bertanah
merah. Jadi, kalau turun hujan, tanah merah itu terasa lengket dan susah untuk
dilewati motor. Apalagi kalau teringat kejadian yang menimpa temanku yang
sekarang duduk di kelas XII IPS itu, Namanya Surnah, murid paling nekat
sedunia. Apa yang menurut orang gak bisa dilakkan,
buat Surnah, itu menjadi hal yang sepele. Sampai suatu saat, hujan turun begitu
deras, Surnah tetap nekat bawa motor ke sekolah. Alhasil Surnah terpeleset ditanah merah yang lengket itu, baju
putihnya terdominasi oleh warna tanah merah.
Motor matic pink kesayangannya pun berubah warna jadi merah. “Hai
you, Sur… .” Sapa teman bule ku, yang kebetulan
baru pindah dari Amerika sebulan yang lalu. “Ya, sure lah, liat aja tuh kotor
semua.” Jawab temanku yang tak nyambung dengan
pertanyaan Chelsea. Padahal, Chelsea hanya ingin menyapa Surnah dengan nama
“Sur”, tapi Surnah malah menganggap kalau “Sur” itu “Sure” yang artinya yakin. “Heiii…
may I help you Sur?” Tawar Chelsea pada Surnah. “Tuh kan, bilang tentu lagi, aah gak taulah.” Cetus Surnah yang lagi-lagi tak nyambung. Sambil
mengerutkan keningnya, Surnah membangunkan motor matic pink nya dari kumparan
tanah merah. Berulang kali Surnah membangunkan motor nya, tapi Surnah selalu
tergelincir, karena sangat lengketnya tanah merah itu.
Suasana pagi itu sangat ramai, karena semua teman-temanku
tertawa terbahak melihat kelakuan Surnah yang menggelitik. Itu salah satu alasanku tak berani bawa motor
ke sekolah, jika turun hujan deras.
Aku bergegas pergi sekolah, karena jam tanganku
menunjukkan angka 07:00. Itu artinya, 15
menit lagi bel masuk kelas berbunyi. Aku terburu-buru, sampai tak gosok gigi. “Maaah,
aku berangkat, tapi ojeknya gak ada ... .” Keluhku. “Ya sudah mama telpon Mang Amri dulu, biar bisa antar
kamu.” Jawab
mamah, tenangkan hatiku yang sejak dari tadi
tak karuan karena takut kesiangan. “Ok mah!”
Jawabku sedikit tenang. Lima menit kemudian, datanglah Mang Amri menjemputku. ”Sayaaang, mang Amri sudah datang, ayoo
berangkat.” Ajak
mamah. “Iyaa maah, Fina berangkat dulu ya mah.” Pamitku sambil cium tangan dan kening mama. “Iyaa hati-hati..”
Jawab mama lembut.
Akhirnya, pagi itu aku tak kesiangan, karena mang
Amri
bawa motornya sangat ngebut sekali. Aku bisa belajar dengan teliti, meski di dalam pikiranku masih ada yang
mengganjal. “Pulang sekolah, aku naik apa?” Tanyaku
dalam hati. “Fin, kamu gak bawa motor?” Tanya Uni teman sebangku Rifa. “Iya,
aku gak bawa motor, aku takut kejadian Surnah menimpaku. “Heheehe.”
Jawabku cengengesan. “Hahhaa, sudahlah, jika mengingat tentang itu, aku selalu
tertawa dan ingin buang air kecil.”
Jawab Uni sambil menutup mulutnya karena tertawa. Aku hanya bisa ikut tertawa
meski ongkos di sakuku tinggal Rp. 8000,- lagi, karena pagi itu terlalu terburu-buru, jadi
aku lupa meminta uang jajan ke mamah.
Tak terasa
lima belas menit lagi, bel pulang berbunyi. “Kamu pulang sama siapa?” Tanya Ratna,
teman sebangkuku. “Iya nih, aku bingung… .”
Jawab ku dengan nada lemas. “Sudah, kamu naik angkot saja sama saya.” Tawar Ratna. “Mmm tapi aku malu, bawaanku kan
banyak, bawa ini lah, itu lah. Kalau aku naik
angkot, nanti yang ada, aku disangka jualan.” Jalasku. “Sudah, kan ada saya… .” Ucap Ratna yang berusaha menenangkanku. “Tapi kan
jalur kita beda, kamu ke selatan, sedangkan aku ke utara.” Jawabku yang masih bingung. “Tenang, sebelum ada
angkot yang menuju ke utara, saya gak akan ninggalin kamu deh.” Jawab Ratna. “Mm, gimana ya… kalau naik angkot
takut dikira jualan, tapi ongkosnya murah. Kalau naik ojek, gampang. Tapi
uangnya gak cukup.” Pikirku dalam hati. “Yaudah deh.” Jawabku. “Kriiiiiing kriiingg” suara bel pulang
terdengar nyaring. Murid-murid berhamburan pergi meninggalkan
kelas, begitu pun aku dengan Ratna, yang akan pulang bareng naik angkot.
“Nah, itu angkotnya sudah datang, ayo naik Fin.” Ajak Ratna. Dengan ragu-ragu, aku naik angkot
berwarna bitu langit itu. “Rat, aku ragu!”
Keluhku. “Aduuh kamu ini gimana, kita sudah naik angkotnya, kamu mau turun lagi?”
Tawar Ratna, seolah kesal padaku. “Tapi aku takut`”
Jawabku sambil mengerutkan kening. Angkot yang di tumpangiku dan Ratna segera
melaju. “Aduuh Rat, kayaknya aku turun aja deh.”
Pintaku pada Ratna. “Ya sudah,
kiri-kiri mang`” Ratna berhentikan angkot. “Ayo Fin,
turun, jangan lupa, Ongkosnya. ” Jelas Ratna padaku.
“aduuuh, kok aku disuruh bayar sih, uang aku kan pas-pasan. ” Jelasku dalam hati. “Mmm, gak jadi deh Rat, aku
naik angkot bareng kamu aja.” Jawabku malu, karena
mata para penumpang angkot tertuju
padaku. “Neng, jadi turun gak nih? Mamang mau kejar setoran!” Tanya mamang Supir
padaku. “Nggak mang, gak jadi.” Jawabku tersipu.
Ratna hanya tersenyum melihat kelakuanku yang ragu itu. “Kenapa gak jadi turun
Fin?” Tanya Ratna. “Nggak!” Cetusku. “Fin, bentar
lagi sampai, siapkan ongkosmu!” Pinta Ratna. “Berarti, angkot kedua, aku harus
sendirian dooong??” Tanyaku pada Ratna yang dari tadi ngemil jajanan. “Iya lah, udah lah jangan takut gitu…. ”
Jawab Ratna.
“Sekarang, kamu nyebrang ke arah utara yah. Saya
disini, mengawasimu.” Jelas Ratna. “Iyaa,
kamu tunggu aku sampai naik angkot lagi ya ... .” pintaku. “Iya ... sudah sana.” Pinta Ratna. Aku mengikuti instruksi dari Ratna.
Belum 5 menit aku sampai di sebrang, kulihat Ratna yang tak
kunjung terlihat batang hidung nya. “Iiiih, tega bangeeet Ratna.” Keluhku dalam hati. Aku kebingungan, angkot apa
yang harus aku naiki. Entah angkot warna biru muda atau biru tua, tapi setahu aku, angkotnya sama saja warnanya begitu semua.
Aku coba bertanya pada angkot yang setiap kali melewatiku. “Mang, Komplek
Bunga?” Tanyaku, “bukan neng” jawab mamang angkot sambil berlalu.
Lima belas
menit aku menunggu angkot di lampu merah, sampai akhirnya, tiga menit kemudian,
datanglah angkot yang searah denganku. Aku mulai naik angkot, dan duduk dekat
pintu. Di dalam angkot itu hanya
terlihat 2 wanita saja, sepertinya mau kuliah, karena tampangnya seperti anak
kost-an. Aku tersenyum pada kedua wanita
itu. Hatiku tak begitu risau, karena angkot yang ditumpangiku hanya berisikan 3
orang penumpang saja, jadi aku tak perlu takut dikira mau jualan. Lima menit
aku berada di dalam angkot, tidak begitu buruk seperti yang aku bayangkan.
Tak ada yang menggodaku, dan tak ada yang mengusikku.
Aku hanya duduk manis menunggu angkot yang melaju ke arah rumahku.
Tak lama kemudian, aku akan sampai ke tujuanku.
Aku berkata seperti Ratna tadi. “Kiri-kiri!”
Ucapku pada supir angkot. Setelah angkot berhenti, aku sapa 2 wanita itu. “Mari kak, duluan!”
Sapa ku. “Iya hati-hati!” Jawab salah satu
gadis itu. “Iya, makasih!” Jawabku tersenyum. “Iya
sama-sama!” Lagi-lagi gadis itu menjawab. “Iya ... !” Jawabku
terheran-heran. “Iya,..” Jawab wanita itu, sampai-sampai aku lupa kalau aku mau turun. “Neng! Mau turun gak?? Lama bangeeet turunnya, kalau mau pedekate jangan
di angkot dong! Gak modal bangeet!” Aku ditegur supir
angkot sambil marah. “Iya mang .,. ,” Jawabku. “Iyaa… .” Lagi-lagi wanita itu menyambar omonganku dengan
kata “iya.” “Iya iya aja, hayoo turun!” Tegur supir angkot untuk kedua kainya. Aku bergegas untuk turun dari
angkot itu, dan membayar uang Rp. 2000,- pada
supir angkot.
Setelah turun dari angkot, aku melihat bacaan yang
tertera di belakang kaca mobil itu, tidak terlalu besar tulisannya, tapi masih
terlihat dan terbaca oleh mataku. Ternyata mobil angkot itu “Jemputan Khusus
Siswa SLB.” Aku terkaget-kaget melihatnya,
sampai-sampai napasku terasa sesak. Mulutku terus terbuka, mataku tak berkedip, karena baru kali ini aku
naik angkot yang salah. Ternyata dugaanku salah, aku kira 2 wanita itu anak kuliahan,
ternyata murid SLB.
Sesampainya dirumah, aku langsung ceritakan
kejadianku pada mamah, papa dan Nadia.
Mereka tertawa sampai menggelitik mendengar kejadian yang menimpaku. “Ini, my first naik angkot, bukan my first
salah angkot. Hahaha.” Aku, mamah, papa, dan Nadia tertawa bersama di teras rumah.
|
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !