Walapun
hari itu hari libur, para siswa diwajibkan mengikuti kegiatan latihan ceramah.
Sedangkan Tuti, seharian hanya tiduran di
ruangannya yang dilidungi dengan dinding bambu, dan beratapkan daun enau. Semua
tugas pribadinya tidak ada yang dikerjakan. Baju kotor ditumpuk di pojok
ruangan. Panci, piring dan peralatan lainnya juga dibiarkan berserakan. Memang
suhu di ruangan itu tidak panas, padahal waktu hampir jam 12. Para siswa
laki-laki telah bersiap menuju ke mesjid untuk menunaikan shalat jum’at. Walaupun
suku di kamar tidak panas, tapi jauh di lubuk hatinya terasa sangat panas dan
gerah. Kegerahan hatinya itu mengakibatkan keluar keringat dari beberapa
lekukan tubuhnya, menandakan fikirannya sedang bekerja keras. “Tut, kamu ini
malas amat sih! Itu piring kotor kok dibiarkan
berantkan!” Tegur Sanah sepulang dari
kegiatan latihan ceramah. “Ma’af Nah, saya lagi gak enak badan!” Jawab Tuti. “Alaaah, kamu tuh cuma pura-pura sakit! Tadi
pagi kamu sehat-sehat saja!” Kata Sanah
sambil terus menggerutu. Tuti tidak
menjawab, karena dalam hatinya mengakui bahwa dia memang tidak sekit.
Tuti dengan Sanah latar belakang pendidikannya berbeda. Tuti lulusan Tsanawiyah, sedangkan Sanah lulusan salah satu SMP ternama. Latar belakang
pendidikan berpengaruh terhadap karakter mereka. Tuti
memiliki sifat selalu mengalah. Sedagkan Sanah
tidak mau mengalah, walaupun dia dalam posisi yang salah. Pada suatu hari Tuti mendapat tugas dari wali kelasnya untuk membuat daftar
piket dan daftar pelajaran. “Maaf Pak, hari ini saya punya tugas di rumah!”
Jawab Tuti. “Nanti bapak kasih tahu Sanah, biar menggantikan tugasmu.” Tuti mengiyakan. “Iya Pak.!”
Sore
itu Tuti sibuk membuat daftar piket dan daftar
pelajaran yang ditugaskan oleh pak Sudir.
“Tut, cuci piring tuh!” Dengan geram Sanah
memerintah Tuti. “Nah, tolong sih cuci
sendiri, kan tugas kita sudah ditukar! Minggu depan tugasmu yang yang
mengerjakan!” Tuti memohon. Tapi permohonan Tuti
tidak mengubah sikap Sanah. Lagi-lagi Tuti mengalah, bakhan akhirnya semua sisa kerjaan
diselesaikan oleh Tuti, sambil menyelesaikan tugas dari wali kelasnya. Betapa
sibuknya Tuti.
Pada hari Senin, satu minggu setelah menyerahkan tugas
kepada wali kelasnya, Tuti mengurung diri di
kamar, sibuk menulis. “Mas ... aku tak sanggup
menahan kerinduan ini! Wajahmu selalu melekat di sudut mataku!” Itulah diantaranta
kalimat yang ditulis oleh Tuti. “Oooooh, begitu yah kerjaanmu! Bukan
mengerjakan tugas dapur malah sibuk menulis kata-kta cinta!” Tuti menangis tersedu-sedu, karena tulisannya
direbut dan disobek Sanah sambil dibentak
dan dimaki-maki. Sikap Sanah tidak
terpengaruh oleh tangisan Tuti. “Cengeng lo! Tuh cuci piring dan panci!” Hati Tuti semakin terasa sakit, setelah Sanah menyuruh Tuti
seperti kepada babu. Kali ini Tuti tidak
menuruti perintah Sanah, dengan harapan Sanah menyadari bahwa tugas hari ini di dapur
telah ditukar, atas permintaan pak Sudir. Sanah semakin geram kepada Tuti, hampir saja dia mencengkram leher Tuti. Untung saja bersamaan dengan itu, Icah datang. “Assalaamu ‘Alaikuum ya ukhti!” “Waalaikum salaaam
ya ukhti!” Tuti yang menjawab salam Icah. Setelah mengembalikan buku yang dipinjamnya dari
Tuti, Icah
bergegas pergi, tanpa sedikit pun mengatahui apa yang sebenarnya terjadi antara
Tuti dengan Sanah.
********************
“Tuti ..... kenapa kamu melamun?” Tanya bu Supriyah ketika
menerangkan matri pelajaran bahasa Arab. Muka
Tuti merah menyala karena ditertawakan oleh semua siswa laki-laki di kelasnya.
Siswa perempuan tidak ada yang menertawakan, kecuali Sanah.
Beberapa bulan ini yang ada di fikiran Tuti:
pagi, siang, sore sampai larut malam, hanya Komar.
“Bu ... dia tuh, lagi mikirin Komar! Oh Kang
Komar, wajahmu selalu ada di sudut mataku.” Sanah
mempermalukan Tuti.
“Mar,
ada salam tuh dari Tuti!” Zubaidah menyampaikan salam bohong-bohongan, seolah-olah
dari Tuti untuk Komar.
Zubaidah ingin mengecek apakan Komar ada hati kepada Tuti.
“Yang bener Bed?” Tanya Komar penasaran. Bedah tidak menjawab, entah mengapa hatinya
mendadak menjadi cemburu berat. “Bed, Bed, kamu serius engga!” Komar mengulangi pertanyaannya sambil
menarik-narik tangan Bedah. “Engga, tuuuh!!
Hahaha ... Ketipeng ni yeeh!” Bedah tertawa lepas, sambil menyembunyikan
perasaan cemburunya. “Ngomong-ngomong lusa kan libur, gimana kalau kita
jalan-jalan?” Tanya Bedah dengan
sungguh-sungguh. Kali ini Komar yang diam.
Fikirannya, sedang melayang-layang membayangkan sedang jalan-jalan dengan Tuti. “Komaaaar!”
Bedah memanggil dengan suara keras, sambil
menarik-narik tangan Komar. “Iya ma ... ma
.. ma .. mau! Eh, kamu nanya apa tadi?” Komar salah jawab, karena dalam
angan-angannya dia sedang berjalan-jalan dengan Tuti.
Karena bel masuk telah berbunyi, Komar bergegas
masuk ke ruangan kelas. Berbeda dengan Bedah, dia
masuk ke kelasnya seperti tidak bersemangat.
Bedah
adalah teman sekelas dengan Tuti, tapi dia
tidak pernah memberitahukan bahwa Komar
sangat tertarik kepada Tuti. “Tut, kamu
cinta yah ama si Komar?” Bedah menggoda. Ditanya begitu Tuti hanya tersenyum malu. “Tuti ... Bedah ..., perhatikan ... jangan ngobrol!” Tegur bu Supriyah. Semua siswa mengerjakan tugas
“Tarjimullughatil Arabiyyah” yang diberikan oleh bu Supriyah.
Tepat jam 13.00 bel berunyi, semua siswa berhamburan keluar, saling dahulu
mendahului.
********************
Untukmu dambaan hatiku. Kutulis syair rindu ini hanya untukmu
kasihku .... “Untuk Tuti
yah!” Tanya Rozak. “Iya Zak, tapi aku takut ditolak!” Kata Komar, terus terang.
“Zak, tolong sih sampaikan salamku
kepada Tuti!” Komar memohon. “Kamu aja
langsung ke datang ke kamar si Tuti!” Kata Rozak. “Ga berani takut ketahuan ustadz!” Kata Komar. “Kamu aja takut, apa lagi saya, masa demi
orang cintamu aku harus melanggar tata tertib pesantren!” Rozak menolak permintaan Komar.
“Udah, gini aja, besok setelah shalat subuh kita cepat-cepat ke kamar si Tuti, tapi harus hati-hati jangan sampai dilihat
orang lain!” Rozak mencoba memberi solusi,
sambil menggelar tikar pandan.
Rozak dan Komar shalat subuh berdampingan di shap yang
paling belakang, agar begitu selesai mereka bisa bergegas keluar, karena subuh
itu punya rencana mau datang ke kamar Tuti.
“Diperingatkan kepada seluruh santriwan dan santriwati untuk tidak keluar dari
kamar masing-masing!” Baru juga mereka mau memakai sandalnya. Ketua pesantren
menyapaikan peringatan melalui speaker. Niat
mereka mendatangi kamar Tuti gagal. “Terus gimana Zak?” Tanya Komar
bingung. “Malah nanya, kamu dong yang mikir, kan kamu yang punya kepentingan,
mikir dong!” Kata Rozak. Karena bingung mereka diam.
Sementara
itu Tuti sudah dua hari sakit. Selama itu
dia hanya terbaring di kamarnya. Sanah sama
sekali tidak menaruh iba. Semakin hari penyakit Tuti semakin parah. Tiap malam
jarang tidur. Sekalinya tidur mulutnya selalu memangil-manggil nama Komar. “Tut ... Tut ... Tut!” Bedah memanggil Tuti
sambil mengelus-elus rambutnya. “Cepet sembuh ya, saya punya cerita tentang si Komar!” Bedah berbisik di telinga Tuti. Mendengar nama Komar
disebut, Tuti menggeliat
Komar dengan Tuti
saling jatuh cinta, akan tetapi mereka tidak punya nyali untuk menyampaikan
cintanya. Lebih-lebih di lingkungan pesantren peraturannya sangat ketat. Santri
putra dilarang berkunjung ke kamar santri putri, begitu pula sebaliknya. Jika
mereka tertangkap basah, pelanggarannya akan diumumkan di speaker, dan diberi
hukuman yang berat, harus menghafalkan Quran satu surat panjang. Selain itu,
orang tuanya juga akan dipanggil. Peraturan ini berhasil melarang santri putra
dengan santri putri untuk tidak saling bertemu di luar kegiatan belajar. Akan
tetapi sebenarnya peraturan ini justru memenjarakan hasrat manusiawi mereka. Hal
seperti itu dirasakan oleh Komar dan Tuti. Setiap hari mereka merasakan cintanya bagai
di dalam pejara.
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/02/14/hari-hari-dalam-penjara-cinta-635270.html
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !