|
|
|
||||||
|
|
|
|
Demi Rokok
|
|
|
|
|
|
|
|
Karya: Fitriani Febrianti
|
|
|
|
||
|
|
Kelas XII IPA 2
SMA Negei 6 Kota Serang 2013/2014
|
|
|
||||
|
Musim hujan, musim
yang sangat tidak diinginkan keluarga Rosadi, selain mata pencahariannya
terganggu, kesempatan mencari uang pun terhambat. Belum lagi kondisi
rumah Rosadi yang bolong-bolong membuat basah semua isi rumah. Termasuk
kumpulan rokok yang Rosadi simpan di lemari baju ikut basah dan sulit untuk
terbakar. Setiap hari, tanpa ada rasa bosan, Rosadi selalu menghisap rokok
yang dia nikmati, pagi, siang, malam, sebelum sesudah makan, sebelum sesudah
bekerja.
Rosadi tak pernah berhenti mengepul asap rokok. Marni, istri Rosadi selalu
berusaha menyarankan agar suaminya berhenti merokok. Begitu pula Jalu anak Rosadi,
mulutnya sudah sampai berbusa karena bertanya terus pada Rosadi, mengapa
bapaknya itu sangat suka sekali merokok.
Rosadi setiap harinya
selalu kesal karena rokok yang dia simpan dilemari bajunya selalu kebasahan,
sehingga dia harus menggarang rokok
itu di atas tungku bara api sebelum pergi ke lading. Rosadi memang
mempunyai watak yang sangat keras dan tegas, apapun yang menurutnya benar,
maka dia akan mempertahankan kebenarannya itu meskipun kebenarannya itu
bertolak belakang dengan kebenaran orang lain. “Aaah, aku sudah sangat kesal
dan sangat bosan sekali, setiap hari cuaca selalu hujan, dan setiap hari pula
aku harus menyelamatkan barang-barang dan seisi rumah. Belum lagi aku harus
menggarang rokokku yang kebasahan ini setiap mau
pergi kerja.” Keluh Rosadi pada istrinya.
Pendapatan yang tak
seberapa, membuat Marni selalu kesulitan mendapatkan uang. belum lagi
pendapatan itu harus di bagi 3, untuk dapur, untuk jajan Jalu, dan untuk
membeli wajib rokok suami nya. “Pak, beras sudah habis, dan besok Pak Bruto
pasti akan datang menagih hutang.
Belum lagi tak punya uang untuk jajan sekolah Jalu” Jelas Marni pada Rosadi.
“Sabarlah, nanti besok aku akan pergi ke ladang.” jawab Rosadi
singkat. Muka Marni selalu mengkerut karena
Rosadi setiap harinya hanya mengepul rokok dan meminum kopi sambil bersantai
di depan
rumah di atas
bale bamboo.
Sementara
Marni sedang kebingungan ke sana-ke mari
mencari uang makan untuk hari itu. Marni tak berani jika harus menegur Rosadi
yang sedang santai itu.
Pernah sekali Marni mencoba menegur, Rosadi malah memecahkan gelas berisi
kopi panas kearah kaki nya.
Kejadian itu membuat Marni tak ingin
menegur Rosadi lagi.
Marni lebih memilih diam,
merenung,
dan menangis meratapi hidup atas sikap Rosadi.
Jalu selalu rewel
jika lapar dan jika ingin jajan.
Berulang kali Jalu meminta uang pada bapaknya, namun tak pernah diberinya.
“Pa, Jalu minta uang” pinta Jalu. “bapak tak punya uang nak, nanti saja ya…”
Jawab Rosadi. “Tapi kenapa bapak bisa beli rokok?” Celetuk Jalu pada
bapaknya. Petanyaan tentang rokok tak pernah Rosadi jawab, jika yang bertanya
itu anak kecil ingusan yang tak tahu betapa nikmatnya rokok yang Rosadi hisap
itu. Berulang kali Jalu menanyakan tentang rokok, tapi Rosadi hanya bisa
memalingkan muka dan berbalik arah.
Saat hendak pergi ke
ladang, segerombol bapak-bapak duduk diatas bale bambu yang serupa dengan
bale di rumah Rosadi, mengajak Rosadi untuk ikut bergabung meminum kopi.
Kedai kopi itu tak
jauh dari penglihatan Rosadi, kitu aromanya tercium. Rosadi hanya bisa tersenyum dan
meggelengkan kepala, tanda menolak permintaan bapak-bapak tadi. Dengan
diselingi kepulan asap yang tak
habis-habisnya rokonya, dia terus berjalan, Bibirnya
yang hitam pekat seperti kopi, menambah kebal untuk menghisap asap rokoknya.
Ladang yang Rosadi
bajak bukanlah kepunyaannya,
melainkan kepunyaan Juragan ladang yang datang dari kota, yang mempunyai
cukup luas ladang di kampung Rosadi. Setiap pagi, jika tak hujan, Rosadi
selalu membajak, bertanam, dan memupuk ladang milik juragan itu. Terik panas
matahari, tak mampu mengalahkan semangat mengepul rokok yang dia hisap. Tubuhnya yang
ramping tak mampu memecahkan keinginannya untuk tetap merokok. Rosadi lebih
memilih tidak digaji sebulan, daripada dia tak merokok selama seminggu. Kebiasaan yang aneh
dan merugikan itu sudah dijalaninya selama menempuh hidup dengan Marni.
Hari semakin siang,
perut Rosadi sudah sangat perih karena belum makan sejak pagi. Mulutnya belum
dimasuki nasi, lauk atau pun
makanan lain, tapi
sudah dimasuki oleh asap rokok yang setiap hari masuk ke paru-paru nya. Kondisi seprti itu mengakibatkan lambung terasa perih.
Rosadi tahu betul tentang bahaya merokok, selain merugikan bagi anggota
tubuhnya, Rosadi pun tahu bahwa rokok sangat memeras pendapatan ekonominya
yang hanya tak seberapa itu. Berkali-kali Rosadi merintih kesakitan karena
perutnya yang sangat perih kelaparan.
Tak lama kemudian,
terlihat istri Rosadi melangkahkan kakinya kearah ladang yang dibajak Rosadi,
sambil menjinjing serantang makanan dan sebotol minuman. Marni terlihat
sangat buru-buru menghampiri
suaminya. Perut yang perih karena lapar, setelah melihat Marni membawa
rantang, rasanya sedikit hilang. Dengan semangat, Rosadi langsung membuka
rantang yang dibawa istrinya. Setelah dibuka, Rosadi hanya melihat satu
piring nasi dan sepotong ikan asin, mungkin cukup untuk mengganjal perutnya
yang keperihan itu. “Maaf pak, seperti yang bapak lihat, kita sudah tak punya
cukup uang untuk membeli lauk yang enak, jadi makanan ini hanya sekedar
mengganjal perut bapak yang lapar.”
Keluh Marni. “Nanti, setelah aku gajian, kau bisa beli lauk yang enak untukku
dan Jalu.” Timpal Rosadi. “Tapi sampai kapan Pak?? Sudah sebulan ini, bapak tak
pernah memberiku uang.
Uang yang bapak punya tak pernah bapak belikan lauk, melainan hanya membeli
rokok dan rokok.
Aku sudah capek Pak!
Kalau begini terus aku akan pergi mencari pekerjaan di kota.” Ucap Marni dengan
penuh kesal. “Kalau kau pergi ke kota, siapa yang akan mengurus Jalu, dan
siapa juga yang akan mengurusku?? Kau tak pernah fikirkan itu Marni! Aku
sudah banting tulang mencari nafkah, tapi kau ingin meninggalkanku dan anak
kita,!” Balas Rosadi. “Tapi, bapak juga tak pernah memikirkan tentang
perasaanku, hutang kita menumpuk, dan bapak hanya bisa mengumpulkan
putung-putung rokok itu.
Apa putung itu bisa membayar semua hutang kita? Tak mungkin pak.” Jawab Marni
sambil berlalu meninggalkan Rosadi di
ladang.
Kebiasaan itulah yang
biasa dilakukan Rosadi, selain merokok, Rosadi juga sering membuat raut muka
Marni selalu tak pernah ceria, selal
dipenuhi kebingungan dan kegelisahan.
Raut muka Marni perlahan-lahan
menjadi
keriput, dan terlihat tua, padahal umurnya
lebih muda daripada Rosadi.
Suatu hari, di depan
bale bambu depan rumah, terlihat Jalu menghampiri bapaknya. “Pak, kemarin Jalu
lihat di TV, pemuda yang umurnya 18 tahun meninggal gara-gara merokok sejak
kecil pak, kasihan ya Pak.”
Cerita Jalu pada bapaknya. “Itu namanya takdir Jalu, kita tak boleh
menyalahkan rokok atau siapapun.” Jawab Rosadi. “Tapi, kata bu guru, rokok
itu berbahaya pak.
Katanya sih paru-paru kita akan bolong karena asap rokok itu Pak,” Seru Jalu.
“Sudahlah Jalu, yang penting kan kamu tidak merokok” Ujar Rosadi. “Tapi, Jalu
takut bapak meninggal.”
Ucap Jalu dengan lirih. “Kamu tenang saja bapak,
tidak akan meninggal Jalu.
Ya… sudah, kamu main lagi ya dengan temanmu…” Timpal Rosadi. Mendengar
pertanyaan dari anaknya itu, Rosadi sepertinya sudah kebal dengan
keyakinannya untuk tidak berhenti merokok.
Pertanyaan itu seperti angin lewat yang menghampiri Rosadi, setelah itu
anginnya menghilang terbawa ke hilir.
Pagi itu, cuaca
terlihat mendung, ladang terlihat gelap tertutupi kabut, hujan turun setitik
demi setitik dan akhirnya turun dengan deras. Terlihat Rosadi dan Marni
sedang sibuk menyelamatkan barang-barang, agar tak kebasahan. Air mata jatuh
dari kelopak mata Marni yang sedang kesusahan itu, Tubuhnya yang kurus kering
seperti tak pernah makan, membuat hati Marni semakin terluka. Tak ada barang
berharga apa pun
dalam rumahnya, hanya ada sebuah lemari yang terbuat dari kayu jati yang
mereka punya, itu pun sudah terlihat keropos dimakan usia dan rayap. Jika
hujan turun
deras seperti itu, Jalu selalu berada di pelukkan Marni. Sedangkan
Rosadi ditemani dengan kepulan asap rokok dimulutnya dan
hidungnya.
Suatu hari, saat Jalu
hendak pergi ke sekolah, lagi-lagi Jalu berbicara pada bapak nya. “Pak, bapak
tahu pak Badrun?” Tanya Jalu. “Ya, bapak tahu, kenapa?” Jawab Rosadi singkat.
“Bulan lalu, Pak Badrun meninggal pak, bapak tahu apa penyebabnya?” Tanya
Jalu kembali. “Tidak, bapak tak tahu” Jawab Rosadi. “Pak Badrun meninggal,
karena rokok pak, rokok yang di hisap pak Badrun katanya mengandung makanan
berbahaya pak,” Jelas Jalu polos. “Jalu, sudah bapak katakan, itu namanya
takdir dari yang maha kuasa, kamu tidak boleh menyalahkan siapapun dan apapun
itu!” Jelas Rosadi. “Tapi aku tidak bohong pak, Pak Badrun meninggal
gara-gara…”Ucap Jalu terputus. “Sudahlah, sudah siang, nanti kamu terlambat,
cepat pergi sekolah” Titah Rosadi.
Jalu selalu bertanya
pada bapaknya jika melihat kematian seseorang yang disebabkan oleh rokok,
namun, sepertinya Rosadi sangat tidak suka dan tidak akan pernah suka
menjelaskan secara real pada anaknya. Hingga suatu hari, rumah tetangga Rosadi kebakaran
karena lupa mematikan putung rokok yang akhirnya membakar dinding rumah yang
terbuat dari bilik bambu.
Seisi rumahnya ludes habis terbakar, tak ada satupun yang tersisa kecuali
baju yang menempel pada tubuhnya. Rosadi tersentak kaget, karena baru kali
ini melihat dengan mata kepala sendiri, kejadian tragis menimpa tetangganya
karena rokok. Rosadi terlihat ketakutan dan hanya bisa menyaksikan
tetangganya yang terkapar lelah melihat seisi rumahnya dilalap si jago merah.
Semenjak kejadian
itu, Rosadi menyimpan seribu ketakutan dan kepenasaran, perasaannya dihantui
oleh rokok yang tiap hari Rosadi kepulkan.
Fikirannya sedang kacau, karena hutang-hutang yang menumpuk tak kunjung
terbayar. Suatu waktu, Jalu bertanya pada Rosadi yang tak tahu kalau fikiran
bapaknya sedang kacau. “Bapak, masih mau mengepul rokok itu? Sedangkan
tetangga bapak sudah habis segala hartanya karena rokok?” Tanya Jalu. “Jalu!
Sudah bapak katakan berulang-ulang kali, kalau itu namanya takdir! Kamu tak
boleh menyalahkan siapa pun
dan apa pun
itu!” Tegas Rosadi dengan nada marah. “Tapi pak, rumah sebelah rumah kita terbakar karena api
dari rokok yang dihisap nya!” Balas Jalu. “Sudahlah, kamu anak kecil tahu apa
tentang itu! Bapak tak suka kalau kamu memaksa bapak untuk berhenti merokok!
Bapak tak akan bisa dan tak akan mau!”
Pinta Rosadi. Percakapan itu terdengar sampai ke telinga tetangga. “Bapak!
Sudahlah, jangan memarahi Jalu seperti itu, Jalu hanya tidak ingin bapak
mengalami hal serupa dengan kejadian kemarin! Memang sudah waktunya, bapak
untuk berhenti dan membuang jauh rokok itu!” Ucap Marni kesal. “Kamu lebih
baik diam! Mau paru-paru ku bolong atau mati sekalipun, aku tak perduli!”
Tegas Rosadi. Perdebatan malam itu, membuat Marni dan Jalu sudah lelah
mengingatkan dan melarang Rosadi untuk tidak merokok. Tapi itu hanya sia-sia,
Marni dan Jalu hanya merasakan sakit hati, mendengar perkataan yang terlontar
oleh
Rosadi.
Mungkin Allah
mendengar do’a yang setiap hari Jalu panjatkan. Jalu ingin, bapaknya berhenti
merokok walaupun Jalu harus mati sekalipun. Pada suatu malam, dua hari setelah Rosadi beredebat dengan anak
dan istrintanya,
ketika
Marni dan Jalu terbaring tidur
di atas
kasur tipis beralaskan tikar lusuh yang terbuat dari anyaman bambu, Rosadi asyik
mengepulkan
rokoknya.
Karena dibebani rasa kantuk, dia tidak menyadari api yang ada di rokoknya menyambar dan membakar
kain selimut yang di pakai Jalu.
Sedikit demi sedikit membakar seluruh kain, bahkan akhirnya Jalu ikut terbakar
bersama sarungnya. Sementara itu Marni dan Rosadi sedang
tidur dengan nyenyaknya. Mereka tidak tahu kalau anaknya sedang diselimuti api yang membakar seluruh tubuhnya. Tiga jam
berikutnya
barulah, mereka
terbangun.
Mereka
tersentak kaget, karena Jalu anaknya sudah gosong dilalap si jago merah.
“Astagfirullahaladzim, lihatlah Rosadi! Lihat dan bangun! Anak kita Jalu! Ini
yang membuat kamu tetap bertahan merokok? Ini yang membuat kamu tak bisa
terlepas dari rokokmu! Buka matamu, liihat
Rosadi! Anak kita gosong terbakar api rokokmu!” Sambil mencucuran air mata, Marni sibuk mencoba memadamkan
api yang masih bekobar di tubuh Jalu. Rosadi hanya diam dan tak bisa mengucapkan sepatah katapun. Mata Supardi berkaca-kaca, mengisyaratkan rasa penyesalan
yang sangat dalam.
“Aku tak mau hidup denganmu lagi Rosadi! Ingat itu!” Ancam Marni.
Tak lama setelah Jalu
dimakamkan, Marni dengan kesal
meninggalkan Rosadi yang tak mampu menjaga keutuhan rumah tangganya dan tak
bisa melepas kebiasaan buruknya. Setelah kejadian itu, Rosadi yang setiap harinya
hanya mengepul asap rokok dan meminum secangkir kopi, tiba-tiba stress dan
gila.
Akhirnya, Kini Rosadi
hidup sebatang kara.
Kebiasaan menyimpan puntung rokok ditelinga, masih terus dilakukan. Akan
tetapi sekarang dilakukannya sambil keliling-keliling kampung, membawa foto
anaknya, sambil menangis dan tertawa secara bergantian.
Tamat
|
|
Demi Rokok
Diposting Oleh aosin suwadi pada Minggu, 02 Februari 2014 | 05.06
Label:
Puisi
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !