Pak Haji
Oleh: Aosin Suwadi, S.Pd., M,Si.
Guru SMA Negeri 6 Kota Serang
Hari itu aku pulang terlalu sore. Biasanya sekitar jam
setengah tiga aku sudah berkumpul dan beristirahat dengan keluarga. Tetapi hari
itu jam setengah empat aku masih di perjalanan. Lelah sekali rasanya mengayuh
sepeda kumbang dalam keadaan haus dan perut lapar.
Hari itu sepeda kumbangku bocor di perjalanan di
pinggir hutan yang jauh dari perkampungan. Setelah kuperiksa ternyata ban
luarnya yang sudah sangat tipis, tertusuk batu tajam menembus ban dalamnya yang
juga sudah tipis . Maklum sudah 12 bulan cicilan, bannya belum pernah
diganti. Kusandarkan sepedaku pada pohon mahoni di pinggir jalan, dan
kutinggalkan masuk ke dalam hutan untuk mencari getah karet dan kulit pohon
bambu. Rupanya di hutan yang penuh dengan pohon bambu itu tidak ada pohon
karet, sehingga aku harus mencari getah karet di hutan sebelahnya. Hal itulah
yang membuatku pulang terlalu sore. Ketika ban dibuka aku baru ingat bahwa ban
dalam sepedaku telah empat kali ditambal. Akan tetapi, ya ..... terpaksa tetap kutambal.
Sepanjang sisa perjalanan aku mengayuh sepeda, dan
sesekali menghayalkan tentang sesuatu yang indah. Andai kata 3 tahun gajiku
jangan dibelanjakan dan ditabung, sepertinya cukup untuk membeli sepeda motor.
Tapi bagaimana dengan anak istriku ? Mertuaku kan punya banyak sawah, tidak
pernah membeli beras bahkan sebagian beras atau padinya sering dijual untuk
membeli tanah lagi. Ah .... mau dikemanakan harga diriku selaku abdi negara.
Lagi pula mertuaku kan sangat perhitungan, bisa-bisa apa yang telah dimakan
anak istriku ditagih! Segera kualihkan lamunanku kepada hal lain, agar tidak
berkelanjutan berfikir negatif terhadap mertuaku.
Entah berapa kali aku menghayal dalam perjalanan,
ketika kusadar ternyata aku sudah sampai di belokan jalan desa menuju ke
kampungku. Di jalan desa perkampungan itu banyak orang, dan kendaraan sepeda
motor lalu lalang, sehingga aku tidak sempat menghayal lagi. Aku berdecak kagum
setiap sepeda motor yang bagus berpapasan denganku. Tiba-tiba sebuah motor
“dukati” baru yang dikendarai anak berusia sekitar 12 tahun, terguling di
irigasi jalan desa yang bersebelahan dengan sawah. Untunglah anak itu selamat
dan tidak mengalami luka yang serius, akan tetapi sepeda motornya rusak berat,
sepertinya membentur batu dan beton irigasi. Terdengar ada salah seorang
berceloteh “gak cukup tujuh puluh lima rupiah itu !” Aku bergumam dalam hati
“untung bukan sepeda motorku”.
Kelanjutkan perjalanku dengan sisa tenaga yang masih
ada, dengan harapan segera sampai di rumah. Akan tetapi ketika beberapa ratus
meter lagi aku sampai ke rumah, aku melihat seorang ibu-ibu setengah tua sedang
berdiri di semak-semak di bawah pohon nangka sambil menarik sarungnya setinggi
di atas lutut. Dengan penuh penasaran aku turun, lalu kusandarkan sepedaku di
sela-sela rumpun pisang. Aku jongkok di balik rumpun pisang sambil mengamati si
ibu itu. Setelah beberapa saat aku mengamatinya, aku tahu ternyata dia sedang mengintip
seorang pak Haji yang sedang memperhatikan sekor kambing yang sedang
melahirkan. Karena penasaran, kualihkan pengamatanku kepada pak Haji. Waktu itu
bayi kambing belum keluar, tapi pak Haji terus menunggunya. Ketika kepala
kambing dan ujung kaki depannya keluar, terdengar pak haji bergumam sambil
mengusap dadanya “Alhamdulillaah !!!!! Sepertinya hati pak haji merasa lega,
entah apa yang dipikirkannya. Kepala kambing dengan kaki depan telah keluar
semua, pak Haji berniat mau meninggalkannya. Akan tetapi entah apa lagi yang
dipikirkannya dia membalikkan badannya, tidak jadi pergi. Sepertinya pak Haji
mau menunggu bayi kambing itu keluar seutuhnya. Beberapa menit kemudia
keluarlah kedua kaki belakangnya. Kembali pak Haji bergumam sambil mengusap
dadanya dan mengucapkan “Alhamdulillaah !!!” Ketika pak Haji mau meninggalkan
tempat itu, dan belum juga ayunan kaki kanannya jatuh ke tanah tiba-tiba hati
pak Haji tersentak mendengar suara setinggi nada bayi kambing memanggil
“abaaaaaaaaaah !!!!!”. Seketika itu pak Haji terguling dan pingsan.
Banyak sekali orang berkumpul di rumah pak Haji, yang
datang dari beberapa kampung di sekitar kampung itu, bahkan di situ ada pak
Kiai yang biasa menjadi imam di mesjid. Mereka ingin memastikan keadaan pak
Haji, sekaligus penasaran ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan pak
Haji. Bu Dariah janda setengah tua itu dikerumuni banyak orang yang menanyakan
apa yang sebenarnya terjadi terhadap pak Haji. Mereka banyak bertanya kepada bu
Dariah, karena hampir semua orang di kampung itu sudah tahu bahwa pak Haji
telah lama mengharapkan bu Dariah untuk dijadikan istrinya. Namun bu
Dariah selalu menolak dengan bahasa yang sopan. Rupanya kesopanannya itu yang
membuat pak Haji semakin tertarik kepada bu Dariah. Kasihan pak Haji !!
seseorang bergumam diantara kerumunan orang-orang.
Sementara itu di rumah nenek Sunti, banyak juga
orang-orang berkerumun. Mereka juga menanyakan hal yang sama dengan yang
ditanyakan kepada bu Dariah. Nenek Sunti adalah seorang janda tua yang tidak
memiliki keturunan lagi. Walaupun sudah tua tapi dia masih memiliki tenaga yang
cukup kuat untuk bekjerja. Sehari-hari dia bekerja sebagai buruh tani, mengurus
ternak ayam, dan kambing. untuk membiayai hidupnya. Kambing yang dimiliki nenek
Sunti hanya tiga ekor itupun titipan. Sebelumnya kambing nenek sunti berjumlah
lima ekor. Satu ekor kambingnya telah dipotong, dan satu ekor lagi dijual untuk
kepentingan acara “haul” anak tunggalnya yang meninggal tujuh tahun yang lalu,
karena serangan penyakit typus. Setelah pak Haji Iksan mengalami kejadian itu,
nenek Sunti menjadi terkenal. Banyak orang yang menawarkan nenek Sunti untuk
mengurusi kambingnya, tapi tentu saja nenek Sunti tidak bisa menerima semuanya.
Semua orang yang menengok pak Haji pulangnya tidak
mendapat jawaban pasti tentang kejadian yang menimpa pak Haji. Sebenarnya bu
Dariah merupakan juru kunci dari semua tabir rahasia yang dialami oleh pak
Haji. Akan tetapi bu Dariah bungkam seribu bahasa tidak mau memberitahukan
kejadian sebenarnya. Rupanya dia cukup bijak, karena tidak mau mebuka aib orang
lain. Lebih jauh dari itu dia berpikir jangan-jangan dugaanku juga salah. Hal
itulah yang menguatkan hati bu Dariah untuk tidak memberitahukan rahasia
kejadian yang dialami oleh pak Haji.
Dari dalam rumah pak Haji Iksan terdengan isak tangis
seorang anak kecil berusia empat tahunan. Rupanya anak kecil itu merasa sedih,
karena sejak sore tadi tidak ada yang memperhatikannya. Biasanya dia selalu
dekat dengan pak Haji Iksan, maklum kini dia tidak memiliki ibu. Rupanya itu
salah satu niat pak Haji Iksan untuk berumah tangga lagi, pikirku. “Neng
geulis, sini neng ke ibu!” Dengan kasih sayangnya seorang ibu menggendong dan
mendekap anak kecil itu, seakan dia ibu kandungnya. Melihat kejadian itu
orang-orang di sekitarnya terdiam, masing-masing berpikir dalam hatinya “memang
pantas dan cocok kalau dia menjadi pengganti ibunya”.
******************
“Apa bu Dariah tidak kasihan kepadaku dan anak
tunggalku?”. “Bu Dariah juga kan punya anak satu dan sudah besar,
perempuan lagi !” Belum juga bu Dariah sempat menjawab pertanyaan, pak
Haji menimpahnya lagi dengan ucapan lain seakan-akan mengetahui apa yang
akan diucapkan oleh bu Dariah. Kalimat-kalimat itu dilontarkan oleh pak Haji
pada suatu malam sepulang shalat isa di mesjid. Sebetulnya bu Dariah hendak
mengatakan bahwa satu-satunya alasan bahwa selama ini selalu menolak lamaran
pak Haji adalah karena anaknya. Sumi yang kini bersekolah di kelas tiga Aliyah
itu tidak pernah berkomentar jika ibunya menceritakan perihal lamaran pak Haji.
Akhirnya dia diam tanpa mengucapkan kata-kata yang menjawab permohonan pak
Haji, malah mengalihkan pembicaraan kepada hal lain. Walaupun begitu percakapan
mereka kelihatannya akrab sekali. Mereka berkencan layaknya sepasang muda mudi.
Akan tetapi pak Haji tidak pernah bersikap yang tidak senonoh.
“Bu, ibu benar-benar serius mau berumah tangga dengan
pak Haji” ? Pertanyaan itu dilontarkan Sumi pada suatu sore seminggu kemudian,
ketika ibunya mengelus-elus rambut Sumi seakan mencari kutu. “Ibu mau menerima
pak Haji karena beberapa alasan penting”. “Memang sumi tidak merasa, bahwa
biaya hidup kita sangat besar, sementara gaji pensiunan almarhum bapakmu tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupkita. Belum lagi biaya sekolahmu,
sebentar lagi akan ujian. Setelah itu nanti bagaimana dengan kuliahmu”. Sumi
tidak memberi komentar, dan tidak meyampaikan penolakan. “Mudah-mudahan kali
ini ucapanku diterima oleh hati Sumi”. Kalimat itu hanya terucap dalam hati bu
Dariah.
******************
Pada suatu senja ketika matahari mengintip di balik
gunung, aku baru selesai mencangkul di sawah tadah hujan yang telah kutanami
kacang tanah. Diantara tanaman kacang tanah kutanami juga jagung, dan kacang
panjang di pinggirannya sebagai tanaman tumpang sari. Sawah yang kutanami itu
kudapat dari salah seorang petani dengan cara “tumpang gadean” sebesar
delapan belas ribu rupiah, kurang lebih senilai dua gram mas murni. Hal ini
kulakukan karena dorongan kebutuhan hidup yang sangat tinggi, sementara gaji
pegawai negeri waktu hanya cukup untuk makan setengah bulan. Selain itu aku
memang senang dengan dunia pertanian, karena aku sendiri dibesarkan dan
didewasakan dari hasil tani orang tuaku.
Sepulang dari sawah tempat aku bekerja, ketika aku mau masuk ke rumah, mang
Dudung menyapaku. “Pak guru, nanti malam ba’da isa dihaturi salam oleh pak Haji
Dulah dan bu Dariah” ! “Ada acara apa pak Dulah” ? “Pak Haji Iksan mau menikah
dengan bu Dariah”. Jawab mang Dudung. Pak Haji Iksan ini salah seorang pak Haji
di kampung itu yang hampir-hampir setiap hari tidak melepas pakaian
kehajiannya. Karena ituah orang-orang memanggilnya cukup dengan panggilan pak
Haji. “Oh, jadi juga mereka menikah” ! “Iya pak guru”. Jawab mang Dudung. Mang
Dudung adalah petani yang khusus mengurus pertanian pak Dulah.
Keesokan harinya guru-guru di sekolah asyik membicarakan seputar perkawinan
Pak Haji, mereka sampai tidak mendengar bel masuk sekolah. Mereka diingatkan
oleh pak Hadi untuk segera masuk ke kelas, karena waktu masuk telah lewat
sepuluh menit. Pak Hadi memang bijaksana. Beliau tidak pernah memarahi
bawahannya. Jika ada guru yang sering terlambat beliau malah datang ke rumahnya
untuk menyelidikinya dengan pendekata kekeluargaan. ***



0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !