Headlines News :
Home » » Pak Haji

Pak Haji

Diposting Oleh aosin suwadi pada Rabu, 25 Januari 2012 | 10.02



 Pak Haji
Oleh: Aosin Suwadi, S.Pd., M,Si.
Guru SMA Negeri 6 Kota Serang

Hari itu aku pulang terlalu sore. Biasanya sekitar jam setengah tiga aku sudah berkumpul dan beristirahat dengan keluarga. Tetapi hari itu jam setengah empat aku masih di perjalanan. Lelah sekali rasanya mengayuh sepeda kumbang dalam keadaan haus dan perut lapar.
Hari itu sepeda kumbangku bocor di perjalanan di pinggir hutan yang jauh dari perkampungan. Setelah kuperiksa ternyata ban luarnya yang sudah sangat tipis, tertusuk batu tajam menembus ban dalamnya yang juga sudah tipis .  Maklum sudah 12 bulan cicilan, bannya belum pernah diganti. Kusandarkan sepedaku pada pohon mahoni di pinggir jalan, dan kutinggalkan masuk ke dalam hutan untuk mencari getah karet dan kulit pohon bambu. Rupanya di hutan yang penuh dengan pohon bambu itu tidak ada pohon karet, sehingga aku harus mencari getah karet di hutan sebelahnya. Hal itulah yang membuatku pulang terlalu sore. Ketika ban dibuka aku baru ingat bahwa ban dalam sepedaku telah empat kali ditambal. Akan tetapi, ya ..... terpaksa tetap kutambal.

Sepanjang sisa perjalanan aku mengayuh sepeda, dan sesekali menghayalkan tentang sesuatu yang indah. Andai kata 3 tahun gajiku jangan dibelanjakan dan ditabung, sepertinya cukup untuk membeli sepeda motor. Tapi bagaimana dengan anak istriku ? Mertuaku kan punya banyak sawah, tidak pernah membeli beras bahkan sebagian beras atau padinya sering dijual untuk membeli tanah lagi. Ah .... mau dikemanakan harga diriku selaku abdi negara. Lagi pula mertuaku kan sangat perhitungan, bisa-bisa apa yang telah dimakan anak istriku ditagih! Segera kualihkan lamunanku kepada hal lain, agar tidak berkelanjutan berfikir negatif terhadap mertuaku.
Entah berapa kali aku menghayal dalam perjalanan, ketika kusadar ternyata aku sudah sampai di belokan jalan desa menuju ke kampungku. Di jalan desa perkampungan itu banyak orang, dan kendaraan sepeda motor lalu lalang, sehingga aku tidak sempat menghayal lagi. Aku berdecak kagum setiap sepeda motor yang bagus berpapasan denganku. Tiba-tiba sebuah motor “dukati” baru yang dikendarai anak berusia sekitar 12 tahun, terguling di irigasi jalan desa yang bersebelahan dengan sawah. Untunglah anak itu selamat dan tidak mengalami luka yang serius, akan tetapi sepeda motornya rusak berat, sepertinya membentur batu dan beton irigasi. Terdengar ada salah seorang berceloteh “gak cukup tujuh puluh lima rupiah itu !” Aku bergumam dalam hati “untung bukan sepeda motorku”.
Kelanjutkan perjalanku dengan sisa tenaga yang masih ada, dengan harapan segera sampai di rumah. Akan tetapi ketika beberapa ratus meter lagi aku sampai ke rumah, aku melihat seorang ibu-ibu setengah tua sedang berdiri di semak-semak di bawah pohon nangka sambil menarik sarungnya setinggi di atas lutut. Dengan penuh penasaran aku turun, lalu kusandarkan sepedaku di sela-sela rumpun pisang. Aku jongkok di balik rumpun pisang sambil mengamati si ibu itu. Setelah beberapa saat aku mengamatinya, aku tahu ternyata dia sedang mengintip seorang pak Haji yang sedang memperhatikan sekor kambing yang sedang melahirkan. Karena penasaran, kualihkan pengamatanku kepada pak Haji. Waktu itu bayi kambing belum keluar, tapi pak Haji terus menunggunya. Ketika kepala kambing dan ujung kaki depannya keluar, terdengar pak haji bergumam sambil mengusap dadanya “Alhamdulillaah !!!!! Sepertinya hati pak haji merasa lega, entah apa yang dipikirkannya. Kepala kambing dengan kaki depan telah keluar semua, pak Haji berniat mau meninggalkannya. Akan tetapi entah apa lagi yang dipikirkannya dia membalikkan badannya, tidak jadi pergi. Sepertinya pak Haji mau menunggu bayi kambing itu keluar seutuhnya. Beberapa menit kemudia keluarlah kedua kaki belakangnya. Kembali pak Haji bergumam sambil mengusap dadanya dan mengucapkan “Alhamdulillaah !!!” Ketika pak Haji mau meninggalkan tempat itu, dan belum juga ayunan kaki kanannya jatuh ke tanah tiba-tiba hati pak Haji tersentak mendengar suara setinggi nada bayi kambing memanggil “abaaaaaaaaaah !!!!!”. Seketika itu pak Haji terguling dan pingsan.
Banyak sekali orang berkumpul di rumah pak Haji, yang datang dari beberapa kampung di sekitar kampung itu, bahkan di situ ada pak Kiai yang biasa menjadi imam di mesjid. Mereka ingin memastikan keadaan pak Haji, sekaligus penasaran ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan pak Haji. Bu Dariah janda setengah tua itu dikerumuni banyak orang yang menanyakan apa yang sebenarnya terjadi terhadap pak Haji. Mereka banyak bertanya kepada bu Dariah, karena hampir semua orang di kampung itu sudah tahu bahwa pak Haji telah lama mengharapkan  bu Dariah untuk dijadikan istrinya. Namun bu Dariah selalu menolak dengan bahasa yang sopan. Rupanya kesopanannya itu yang membuat pak Haji semakin tertarik kepada bu Dariah. Kasihan pak Haji !! seseorang bergumam diantara kerumunan orang-orang.
Sementara itu di rumah nenek Sunti, banyak juga orang-orang berkerumun. Mereka juga menanyakan hal yang sama dengan yang ditanyakan kepada bu Dariah. Nenek Sunti adalah seorang janda tua yang tidak memiliki keturunan lagi. Walaupun sudah tua tapi dia masih memiliki tenaga yang cukup kuat untuk bekjerja. Sehari-hari dia bekerja sebagai buruh tani, mengurus ternak ayam, dan kambing. untuk membiayai hidupnya. Kambing yang dimiliki nenek Sunti hanya tiga ekor itupun titipan. Sebelumnya kambing nenek sunti berjumlah lima ekor. Satu ekor kambingnya telah dipotong, dan satu ekor lagi dijual untuk kepentingan acara “haul” anak tunggalnya yang meninggal tujuh tahun yang lalu, karena serangan penyakit typus. Setelah pak Haji Iksan mengalami kejadian itu, nenek Sunti menjadi terkenal. Banyak orang yang menawarkan nenek Sunti untuk mengurusi kambingnya, tapi tentu saja nenek Sunti tidak bisa menerima semuanya.
Semua orang yang menengok pak Haji pulangnya tidak mendapat jawaban pasti tentang kejadian yang menimpa pak Haji. Sebenarnya bu Dariah merupakan juru kunci dari semua tabir rahasia yang dialami oleh pak Haji. Akan tetapi bu Dariah bungkam seribu bahasa tidak mau memberitahukan kejadian sebenarnya. Rupanya dia cukup bijak, karena tidak mau mebuka aib orang lain. Lebih jauh dari itu dia berpikir jangan-jangan dugaanku juga salah. Hal itulah yang menguatkan hati bu Dariah untuk tidak memberitahukan rahasia kejadian yang dialami oleh pak Haji.
Dari dalam rumah pak Haji Iksan terdengan isak tangis seorang anak kecil berusia empat tahunan. Rupanya anak kecil itu merasa sedih, karena sejak sore tadi tidak ada yang memperhatikannya. Biasanya dia selalu dekat dengan pak Haji Iksan, maklum kini dia tidak memiliki ibu. Rupanya itu salah satu niat pak Haji Iksan untuk berumah tangga lagi, pikirku. “Neng geulis, sini neng ke ibu!” Dengan kasih sayangnya seorang ibu menggendong dan mendekap anak kecil itu, seakan dia ibu kandungnya. Melihat kejadian itu orang-orang di sekitarnya terdiam, masing-masing berpikir dalam hatinya “memang pantas dan cocok kalau dia menjadi pengganti ibunya”.
******************
 “Apa bu Dariah tidak kasihan kepadaku dan anak tunggalku?”.  “Bu Dariah juga kan punya anak satu dan sudah besar, perempuan lagi !” Belum juga bu Dariah sempat menjawab pertanyaan, pak Haji  menimpahnya lagi dengan ucapan lain seakan-akan mengetahui apa yang akan diucapkan oleh bu Dariah. Kalimat-kalimat itu dilontarkan oleh pak Haji pada suatu malam sepulang shalat isa di mesjid. Sebetulnya bu Dariah hendak mengatakan bahwa satu-satunya alasan bahwa selama ini selalu menolak lamaran pak Haji adalah karena anaknya. Sumi yang kini bersekolah di kelas tiga Aliyah itu tidak pernah berkomentar jika ibunya menceritakan perihal lamaran pak Haji. Akhirnya dia diam tanpa mengucapkan kata-kata yang menjawab permohonan pak Haji, malah mengalihkan pembicaraan kepada hal lain. Walaupun begitu percakapan mereka kelihatannya akrab sekali. Mereka berkencan layaknya sepasang muda mudi. Akan tetapi pak Haji tidak pernah bersikap yang tidak senonoh.
“Bu, ibu benar-benar serius mau berumah tangga dengan pak Haji” ? Pertanyaan itu dilontarkan Sumi pada suatu sore seminggu kemudian, ketika ibunya mengelus-elus rambut Sumi seakan mencari kutu. “Ibu mau menerima pak Haji karena beberapa alasan penting”. “Memang sumi tidak merasa, bahwa biaya hidup kita sangat besar, sementara gaji pensiunan almarhum bapakmu tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupkita. Belum lagi biaya sekolahmu, sebentar lagi akan ujian. Setelah itu nanti bagaimana dengan kuliahmu”. Sumi tidak memberi komentar, dan tidak meyampaikan penolakan. “Mudah-mudahan kali ini ucapanku diterima oleh hati Sumi”. Kalimat itu hanya terucap dalam hati bu Dariah.
******************
Pada suatu senja ketika matahari mengintip di balik gunung, aku baru selesai mencangkul di sawah tadah hujan yang telah kutanami kacang tanah. Diantara tanaman kacang tanah kutanami juga jagung, dan kacang panjang di pinggirannya sebagai tanaman tumpang sari. Sawah yang kutanami itu kudapat dari salah seorang petani dengan cara “tumpang gadean”  sebesar delapan belas ribu rupiah, kurang lebih senilai dua gram mas murni. Hal ini kulakukan karena dorongan kebutuhan hidup yang sangat tinggi, sementara gaji pegawai negeri waktu hanya cukup untuk makan setengah bulan. Selain itu aku memang senang dengan dunia pertanian, karena aku sendiri dibesarkan dan didewasakan dari hasil tani orang tuaku.
Sepulang dari sawah tempat aku bekerja, ketika aku mau masuk ke rumah, mang Dudung menyapaku. “Pak guru, nanti malam ba’da isa dihaturi salam oleh pak Haji Dulah dan bu Dariah” ! “Ada acara apa pak Dulah” ? “Pak Haji Iksan mau menikah dengan bu Dariah”. Jawab mang Dudung. Pak Haji Iksan ini salah seorang pak Haji di kampung itu yang hampir-hampir setiap hari tidak melepas pakaian kehajiannya. Karena ituah orang-orang memanggilnya cukup dengan panggilan pak Haji. “Oh, jadi juga mereka menikah” ! “Iya pak guru”. Jawab mang Dudung. Mang Dudung adalah petani yang khusus mengurus pertanian pak Dulah.
Keesokan harinya guru-guru di sekolah asyik membicarakan seputar perkawinan Pak Haji, mereka sampai tidak mendengar bel masuk sekolah. Mereka diingatkan oleh pak Hadi untuk segera masuk ke kelas, karena waktu masuk telah lewat sepuluh menit. Pak Hadi memang bijaksana. Beliau tidak pernah memarahi bawahannya. Jika ada guru yang sering terlambat beliau malah datang ke rumahnya untuk menyelidikinya dengan pendekata kekeluargaan. ***
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Popular Posts

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bahasa dan Sastra - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Aosin Suwadi