Headlines News :
Home » » Di balik Khimar Ukhti

Di balik Khimar Ukhti

Diposting Oleh aosin suwadi pada Rabu, 29 Januari 2014 | 03.07



Oleh: Deasy Puspitasari
Kelas XI IPS 3 SMAN 6 Kota Serang
Sumber: http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/01/29/di-balik-khimar-ukhti-631488.html

Muhammad Adzikri Maulana adalah nama pemberian dari orang tuaku. Aku dibesarkan di keluarga yang  hangat akan kasih sayang dan perhatian, hingga suatu saat aku harus mengikuti kehendak ibuku untuk melanjutkan pendidikan tingkat SMA di Pesantren Modern As-Sa’adah. Aku ingin sekali membalas jasa kedua orangtuaku, terutama Ibu. Semoga dengan cara mengikuti kehendaknya aku bisa membahagiakan
mereka. Aamiin Ya Allah!
Hariini ialah hari pertamaku menjalani rutinitas di pesantren. Ketika burung berkicauan dengan suara nan merdu dan ketika langit mulai menampakan pesona keindahannya, para santri sibuk mempersiapkan diri menuju masjid untuk memenuhi panggilan Illahi Rabbi.  “Allahu akbar... Allahu akbar...”  Lantunan adzan yang dikumandangkan muadzin itu sangat menggetarkan hati.
“Tuk tuk tuk. Ayo bangun para ikhwan, waktunya menunaikan ibadah shalat subuh.” Suara ustadz Raihan ketika menyambangi kamar para santri.  Akupun langsung terperanjat dan terbangun dari lelapnya tidur. “Hey Rafa, ayo bangun!” “Mmm iya.” Sahut Rafa dengan mata yang belum terbuka. Setelah itu aku dan teman-teman langsung keluar kamar dan berjalan menuju masjid. Setelah shalat subuh para santri duduk dengan rapih untuk muthola’ah ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah pernah dihafalnya. Ada yang menghafal 1 juz, 2  juz, dan bahkan ada yangmenghafal sampai 30 juz. *30 juz loh bukan juz 30:D* Subhanallah luar biasa.
          Sang surya mulai menampakan sinarnya. Sekitar pukul 07.30 para santri mulai melangkahkan kaki ke kelas mereka masing-masing  untuk tholabul ‘ilmi atau mencari ilmu. “Dzikri, ayo cepat.” Ujar Rafa.  “Iya akhi, tunggusebentar. Sepatuku hilang satu”. Saat itu aku benar-benar kebingungan. Tapi beberapa menit kemudian aku menemukan sepatuku di belakang tempat sampah. “Astagfirullah siapa yang usil?”  Tanyaku dalam hati. Ketika aku melirik ke samping kanan, ternyata Rafa sudah tak berdiri di situ lagi. Terpaksa aku jalan sendirian menuju kelas. “Teeeeeeeeeeeeeet.” Bel masuk berbunyi.  Jantungku berdetak semakin kencang dan langkahku semakin cepat, tapi sia-sia aku tetap terlambat masuk kelas.
Ternyata ketika itu ada dua orang santri yang belum masuk kelas, yaitu aku dan ukhti Alfia. Ketika aku sampai di depan pintu kelas, aku mendengar lantunan merdu ayat suci Al-Qur’an. Hatiku semakin tergugah untuk mempelajarinya. Disaat aku sudah meresapi dan menghayati ayatullah, tiba-tiba aku melihat seorang perempuan yang mengenakan khimar putih berjalan dengan tergesa-gesa menuju aula di samping kelasku. Sekejap aku memandangnya, sorotan matanya meneduhkan hati. Akupun memberanikan diri untuk bertanya ketika ialewat di hadapanku. “Ukhti terlambat yah?” Ia menjawab dengan ramah “Iya akhi tadi kitabku tertinggal. Ya sudah ya aku duluan. Assalamu’alaikum.”  “Assalamu’alaikum.”  Salamku ketika masuk kelas. Semua santri heran ketika aku masuk di fashlul ‘ula (kelas satu). Hanya Rafalah yang sudah aku kenal di kelas itu, karena ia adalah teman sekamarku yang sangat ramah dan dewasa. Ustadz Ilham bertanya padaku “Masmukalkarim ya akhi (siapa namamu)?” “Ismi Muhammad Adzikri Maulana ustadz.” “Kamu santri baruya?” “Na’am ustadz.”
          Ketika aku sedang berta’aruf dengan teman-teman di depan kelas, seorang perempuan yang mengenakan khimar putih itu terlihat sedang bersenda gurau dengan para akhwat. “Gusti, senyumnya menyejukanhati. ” Kata-kata itu tak sengaja terlontar dari bibirku. “Hah? Maksudmu siapa, Ki?” Rafa mengerutkan alis. “Astagfirullah, bu.. bu.. bukan siapa-siapa.” Jawabku terbata-bata dan gugup.
Setelah kejadian itu, entah mengapa hatiku selalu gundah, disetiap jangkauan pandanganku terlintas bayangan kelembutan senyum manisnya yang menghiasi wajah anggunnya. Bahkan ketika aku  membaca kalamullah terbayang wajahnya, seolah terdengan tutur katanya yang menggetarkan hati, bahkan khimarnya pun terbayang. Sosok perempuan muslimah yang menggunakan khimar putih yang menutupi setengah badannya.  Ya Allah ampunilah hambamu ini. Hamba tak kuat menahan gejolak rasa yang tumbuh di dalam kalbu. “Sejenak aku termenung, apakah ini yang dinamakan jatuh cinta?  Selama ini aku belum pernah merasakan perasaan seperti ini.  Ukhti, wajahmu tak terlukis dalam sketsa anganku dan suaramu tak terekam dalam pita batinku, namun kau hidup dalam celah pori-pori cinta dan semangatku."
          Tak terasa jam dinding telah menunjukkan pukul 22.00. Aku masih termenung  dan selalu termenung, akhirnya Rafa pun curiga dan bertanya. “Akhi, lagi falling in love ya? Siapa sih yang membuatmu seperti ini?” “Hehe sepertinya aku terinfeksi penyakit merah jambu nih. Sejak bertemu dengan Ukhti yang berkerudung putih itu, entah mengapa sosoknya selalu hadir dalam setiap aktivitasku.”
“Ukhti Alfia Qorry Khansa ?” Tanya Rafa sambil mendekatiku di tempat tidur. “Oh itu toh namanya? Aku boleh menitip surat untuknya tidak?” “Ya tentu. Manasuratnya?” Akupun memberikan amplop berwarna biru kepada Rafa untuk ukhti Alfia.
          Keesokan harinya Rafa memberikan surat dariku ke ukhtiAlfia. “Assalamu’alaikum ukhti,  ada ukhti Alfianya?  Tanyaku pada ukhti Annida, sahabat ukhti Alfia. “Ukhti Alfia sedangmengisi acara di majlis ta’lim.” Akhirnya Rafa menitipkan surat itu kepada ukhti Annida. “Ya sudah. Syukron katsiron.”
          Pagi yang cerah. Mentari menghangatkan  jagat raya dengan sinarnya. Tenyata hari ini aku mendapatkan surat balasan yang kutunggu-tunggu. Hatiku sangat berbunga-bunga. Sebuah amplop berwarna putih. Tanganku terasa gemetar ketika akan membacanya. Aku terkejut ketika membaca paragrap terakhir dalam surat itu “Akhi, cinta itu fitrah. Cinta itu laksana setetes embun yang turun dari langit. Tapi maaf saat ini cintaku hanya untuk Sang Illahi. Jika kau benar-benar mencintaiku, datanglah menghadap kedua orang tuaku ketika kita telah menyelesaikan pendidikan. Cinta itu memang anugerah tapi bisa juga menjadi musibah, berhati-hatilah akhi. Laa tahzan innallaha ma’anaa (janganlah bersedih sesungguhnya Allah bersama kita)."
          Cinta sejati kita hanyalah untuk  Allah Azza Wazalla karena Dialah yang sudah menciptakan perasaan cinta di dalam kalbu manusia.­­­­­­­­­ Deasy Puspitasari



1

2

3
 
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Popular Posts

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bahasa dan Sastra - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Aosin Suwadi