Cinta dan Toleransi Umat Berbahasa
Karya: Aosin Suwadi
Kala kuingat waktu itu aku jumpa denganmu, ketika pasarandog di sebuah lorong. Karena tidak ada jalan lain, maka setengah terpaksa kauterima perkenalanku. Seketika itu secara reflek kami saling menyodorkan kokod kami. Aku merasa senang dan bahagia sesaat, karena setelah itu setengah berlari dia segera meniggalkanku yang masih ngajedog di tempat itu. Ternyata ente benar-benar tega kepada ana. Padahal ana seperempat mati demen kepadamu.
Akan tetapi takdir menentukan lain, ketika aku berbalik mau meninggalkan tempat itu, tak disangka tak dinya tidak tahu dari mana datangnya ari gok dia ada di depanku. Rupanya dia tersesat di dalam lorong itu. Kali ini dia menunjukkan sikapnya yang agak ramah. Dengan hati berdebar-debar kami berdua ngeteyep keluar dari lorong itu.
Di luar angin bertiup ngagelebug meniup daun-daun sapai aroyag. Hatiku bagai disambar petir, ketika roknya sedikit nyingkab aku melihat paha mulusnya penuh dengan ceda sebagai tanda bekas rodex yang dideritanya waktu kecil. Noda-noda itu membuat hatiku penasaran inging mengecek bagian tubuhnya yang lain. Betisnya mulus dan sangat licin selicin kramik KW 1. Akan tetapi ternyata tapak kakinya penuh dengan rorombeheun. Walaupun begitu tetep saja I love you
Demikian tulisan ini saya sajikan, dengan harapan semoga ada sisi positif dan manfaat untuk para pembaca. Terima kasih.
Artikel populer orang-orang Jawa itu sdh biasa banget menggunakan kata-kata Jawa semacam itu, seolah yang baca hanya orang Jawa, tapi asik, shg pembaca siap toleran. Misal ndilalah, dsb.
BalasHapusTapi bedanya di sini memperlihatka keakraban beberapa bahada
BalasHapus