Di balik Sayap Garuda
Karya: Adila
Sebuah tempat yang begitu harum akan kebisaan orang-orang yang berpengetahuan, begitu cemerlang akan kehidupan di masa depan. Jendela dunia yang begitu mudah direngkuh dengan usaha yang bersungguh. Suara langkah kaki yang begitu sunyi, hanya seorang penjaga perpustakaan tua yang mengetuk-ngetuk papan canggih itu, keyboard komputer. Sedangkan komputernya sendiri adalah benda yang amat canggih. Siapa yang tak mengenal benda ajaib itu, di era modern dimana orang-orang haus akan informasi ini. Kakiku bagaikan setrika panas yang bolak-balik melembutkan kain, mencari buku-buku yang cocok untuk kubaca hari ini.
Keluarga dan teman-teman memanggilku “Affar”. Aku duduk di kelas dua SMA, SMA Harapan Bangsa. Ya inilah aku anak semata wayang, yang punya hobi membaca, menulis dan mengkonstruksi benda atau mesin. Akar dari banyaknya hobiku adalah pengetahuan yang kudapat dari membaca. Aku berasal dari keluarga yang sederhana dari Banten. Ayahku hanya seorang montir di bengkelnya sendiri. Setiap hari libur ayah selalu mengajakku untuk membantunya bekerja. Itulah salah satu alasan mengapa aku sangat menyukai fisika dan mengkontruksi mesin dan alat elektronik.
Ayah selalu berpesan kepadaku agar aku selalu konsisten dalam menekuni bidang disiplin ilmu. Ayah sangat menyukai bapak BJ Habibe, tapi tak pernah memaksa untuk menjadi seperti beliau, karena tiap manusia dilahirkan ke dunia memiliki kemampuan dan potensi yang berbeda. Bahkan mungkin saja kemampuan kita melebihi orang lain, jika kita mau berfikir dan berusaha untuk maju.
“Affar, kau bisa bereskan beberapa buku yang berantakan?” Tanya laki-laki separuh baya yang sehari-harinya duduk mengetik atau mendata buku-buku yang ada di tempat ini. Dia adalah penjaga perpustakaan yang bernama Rahmat. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan Pak Tutung. Aku sering mendatangi tempat ini, dan aku hafal betul kegiatannya mengetik dan mendata buku-buku. “Tentu Pak !” Jawabku, menengok Pak Tutung yang sedang sibuk mengetik. Aku berhenti mencari-cari buku, untuk menjalankan perintah Pak Tutung. Kulangkahkan kaki menuju buku-buku yang berserakan, tak rapih dan tidak sesuai dengan tempatnya.
“Kreeek” bunyi pintu tua yang menarik perhatianku sampai kuhentikan langkahku.“Hey Far?” Sapa Arun dengan nafas terengah-engah. “Far, baru saja aku ...”. Belum terjawab benar, kulihat dari jendela Rangga berlari menuju perpustakaan kota ini. “Itu Rangga?” Tanyaku pada Arun. Mereka berdua adalah sahabatku. Aku tahu persis tentang keduanya. Rangga, si gemuk penyuka seni rupa dan tokoh yang diidolakannya adalah Leo Nardo Davinci. Arun, si manis penyuka kimia tokoh yang diidolakannya adalah Wolfgang Amedeus Mozart. Aku pernah berfikir apakah ada hubungannya antara kimia dengan seorang pemusik terkemuka? Tapi Arun selalu berkata ketika kutanya tentang hal itu “aku terinspirasi dari Mozart kawan?”
“ Hey Far”, Eh Arun sudah sampai rupanya”. Ujar Rangga. “Dan kau tahu siapa sekarang yang mirip Rosi?” Tanya Arun. Aku dan Rangga terdiam sejenak. “Okelah kalian adalah pembalap hebat”. Pujiku. “Far, aku merasa sedih akan keadaan Banten yang selalu dipandang jelek oleh orang luar Far. Kemarin ketika aku menonton di televisi tentang kejuaran olimpiade bahwa nama Banten yang tak pernah terdaftar. Bahkan ketika aku mencari blog tentang kejuaran, dan aku ikut komentar di blognya mereka mengatakan, bahwa anak Banten itu mencapai nasional saja belum bisa bagaimana mungkin bisa sampai international”. Jelas Arun dengan nada amarah. “Lalu komentarmu?”. Tanyaku sambil membereskan buku-buku yang berantakan. “Aku bilang saja bahwa kata-katamu akan berbanding terbalik dengan keadaan nanti. Suatu hari nanti akan kubuktikan bahwa kami, anak-anak Banten akan go international dan membawa pulang piala olimpiade”. Semangatnya begitu berapi-api.
Kami larut dalam percakapan, Rangga ternyata sibuk mencari-cari buku. “Eh kawan, coba liat buku ini, covernya bagus”. Sambil memperlihatkan cover buku tersebut yang berjudul “Jendela Dunia “ dengan gambar tokoh-tokoh terkemuka yang menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi. “Coba kulihat!” Kubuka perlahan buku itu. “Rangga, kau sudah memabacanya?” Tanya Arun. “Belum hehehe”. Jawab Arun. “Ku kira kau sudah membacanya”. “Aku kurang paham, maka dari itu kutanya pada Affar”. Lembar demi lembar kubaca, kupahami dan kumengerti. Arun dan Rangga begitu serius membaca lembar demi lembar buku itu. Hingga kami larut dalam bacaan buku tersebut, bagaikan terkena sihir. Tak lama kemudian, “Affar apakah kau sudah selesai membereskan buku-buku itu?” Tanya bapak Tutung masih larut dalam ketikan-ketikannya. “Hem ... belum pak”.
“Sejak tadi belum selesai?” Tanyanya. “Oh iya pak, sebentar lagi”. Kututup buku itu secara tiba-tiba dan membuat mereka terkejut. “Hey Far, kenapa kau tutup bukunya?’ Tanya Rangga. “Oke, kita pinjam buku ini, kita lanjut bacanya besok jam istirahat di sekolah, kita selesaikan dahulu buku-buku yang berserakan”. Jelasku. “Oke”jawab keduannya.
Tanda waktu menunjukkan pukul 17:17. Aku tak menyadari bahwa aku terlarut dalam ruangan yang penuh buku itu. “Pak buku-buku sudah kami bereskan, kami mau pulang dan kami ingin meminjam buku ini”. Ujarku. “Silakan isi saja di daftar kunjungan dan daftar pinjaman. Waktu peminjaman hanya 7 hari, jika telat kau akan terkena denda”. “Iya pak”. Setelah kami mengisi daftar itu, kami segera untuk meninggalkan perpustakaan. Baru dua langkah kami berjalan, Pak Tutung memanggil kami. “Hey Affar, tunggu sebentar”. Panggilnya. Kami mendekati, sementara Arun dan Rangga berbisik-bisik tentang bapak itu di belakangku. “Far, sudahlah ini sudah sore nanti kita dimarahi ibu”. Ujar Arun. “Iya Far, benar itu”. Lanjut Rangga. “Sudah tenang saja, siapa tahu penting”. Jawabku. Ketika kami mendekat tiba-tiba pak Tutung bangkit dari tempat duduknya dan mengambilkan sebuah buku bergambarkan garuda. Aku sempat bingung terhadap maksud pak tutung itu. Tapi ketika aku memperhatikannya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. “Ini buku untuk kalian baca. Jika kalian tidak paham atau pun paham kalian datang kemari, nanti bapak akan jelaskan maksud dari pemberian buku ini”. Baik pak” jawabku. “Ohh iya baik pak”. “Sekarang sudah sore, orang tua kalian menunggu kalian”. Pak Tutung duduk kembali.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah Arun dan rangga membicarakan bapak penjaga itu. “Far, bapak penjaga itu sepertinya serius dan kayak susah ya diajak bencanda, misterius sama… “Apalagi Rangga?” Tanyanya kepada Rangga. “Hem… datar ekspresi”. “Wah calon seniman, bermain dengan mimik, tapi memang benar. Kalo kamu far?”. “Iya juga sih, tapi kan kata pak Haji kita gak boleh su’uzon, siapa tau beliau adalah orang yang bisa jadi partner kita. Kita tidak boleh berprasangka buruk terhadap orang lain, sebelum ada faktanya”. Benar juga”. Ujar mereka.
**********************
“Kukuruyuuuukk”. Suara alarm bumi mulai ramaikan pagi hari. Senja masih jauh diufuk timur. “Affar tangi far uwis awan, linggar ning masjid adzan lan shalat”. Sapa ibu dengan penuh kelembutan. Ibu, ya orang yang sangat aku sayangi di dunia ini. Kasih lembutnya melebih sutra. Beliau adalah penyemangat, pendukung dan ratu dalam hidupku. “Nggeh bu”. Jawabku.
“Hey Far, assalamualaikuum! Adzan yah wong gagah”. Sapa Pak ustadz, aku adzan. “Walaikumussalam! Nggeh pak ustadz”. Jawabku mencium sambil tangannya sebelum aku mengumandangkan adzan. “Allahuakbar... allaahuakbar. Asyhadu allaailaaha illallaaah..”. setelah shalat, pak ustadz menitipkan pesan untukku “Affar, wong apik, wong gagah, anak semata wayang! Jadi anak sing shaleh ya sing eman ning ibu, eman ning bapa eman ning sing duwe langit lan bumi, sayang lan eman ning wong laen. Belajar sing rajin, nurut maring guru. Lamun jadi wong hebat napik sombong, napik angkuh, yaa Farr”. Pesan pak ustadz. “ Nggeh pak ustadz, nasehat pak ustad bakal Affar inget, Affar ende do’a maring pak ustadz”. Ujarku. “Pasti bapak do’akaken. Ye wes bapa balik krehen ya wong gagah, assalamualaikum”. Pamitnya tersenyum lembut kepadaku. “Walaikumussalam pak ustadz”.
Sepeda terayun begitu lembut, embun masih mandikan bumi, burung-burung masih bersenandung, suara bising knalpot masih begitu jarang, karena masih puikul enam pagi. Sesampainya di sekolah, Arun dan Rangga sudah menunggu di gerbang sekolah. Keduanya tak sabar untuk bertemu denganku untuik menanyakan isi buku yang diberikan penjaga perpustakaan itu. Karena semalam aku sibuk mengerjakan tugas dan mempersiapkan lomba fisika tingkat nasional yang jatuh padabulan depan, buku itu batu kubaca bberapa halaman saja.
Aku pernah mengikuti olimpiade fisika tingkat Kota dan Provinsi sebelumnya dan berhasil membawa pulang piala yang bertuliskan Juara Satu Tingkat Kota Serang dan Provinsi. Bagiku pengalaman ini merupakan pengalaman pertama untuk melanjutkan pengalaman yang lebih membanggakan suatu saat nanti. Aku sangat berterimakasih atas pembimbingan yang telah Pak Farid berikan selama ini. Motivasi dan inspirasinya mampu mebangkitkan semangatku untuk bisa maju dan terus maju. Aku bercita-cita mendapatkan beasiswa ke Jerman untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
“Pelajaran Fisika telah selesai, apakah ada pertanyaan?”.Tanya pak farid pada semua murid.“Tidak pak”. Jawab semua murid. “Affar pulang sekolah bapak tunggu di perpustakaan ya”. Ujar pak Farid. “O, iya pak!” Jawabku. “Far sukses yaa”. Suport Rangga tersenyum dengan pipi tembemnya. “Okeee”.Rasa optimisku memuncak ketika orang yang aku sayangi selalu mendukungku. Kriiinggg! Bel istirahat berbunyi, aku dan Rangga segera keluar untuk menemui Arun yang berbeda kelas unutuk membaca buku yang kemarin pak Tutung beri kepada kami kemarin sore.
Ketika aku dan rangga sampai di kelas Arun, kelasnya begitu kosong, hanya terdapat beberapa buku-buku pelajaran yang berantakan diatas meja siswa.“Tumben sepi banget ya Far”. Tanya Rangga tampak bingung. “Iya ga, sepi, ke mana ya Arun?” Aku berbalik bertanya. “Eehh... maaf liat Arun tidak?” Tanyaku pada salah satu teman sekelas Arun. “Aruuun hmm … O, iya tadi sih dipanggil sama pak Haris. Tapi tidak tahu ke mana”. Jawab temannya yang lain. “O. iya terimakasih”. Ucapku.
“Far ngapain pak Haris memanggil Arun? Setahuku Arun tak pernah membuat ulah yang aneh. Walaupun jail, tapi kejailannya mengandung makna dan berujung pada pelajaran sekolah.Ya kan Far?” Tanya rangga. “Entahlah Ga, kita cek saja ke Pak Haris. Ayo” !
Kami bersegera menuju ruang kantor guru untuk menemui arun dan Pak Haris. Kami memang sedikit kebingungan, setahu kami Arun adalah anak baik, sejailnya dia dia tak pernah membuat orang marah atau pun sedih dengan tingkah anehnya. Justru sebaliknya. Tapi, apakah benar Arun membuat kesalahan yang fatal, lalu apa? Adakah masalah yang ia sembunyikan kepadaku, tapi aku tahu persis Arun itu seperti apa dan bagaimana. Dia sahabat kecilku. Kami lewati hari-hari selalu bersama. Aku memahaminya dan aku rasa dia juga memahamiku. Lantas apa yang ia sembunyikan dariku? Apakah ada masalah? Tapi mengapa dia tak bercerita tentang ini? Perasaanku gelisah tak menentu saat menuju ruang kantor itu.
Di sepanjang perjalanan menuju ruang guru, Rangga menggigit-gigit dasinya. “kau kenapa Ga?” Tanyaku. “Arun, takut kenapa-napa. Pak Haris super galak Far, wakasek pula”. Jelasnya. “Ah sudahlah kita kan belum tahu yang terjadi sebenarnya”.
Ketika sampai di ruang guru, dan pintu ruangan hendak kubuka, dari dalam ada seseorang mendorongnya. Setelah kuperhatikan, sosok tangan yang mendorong pintu adalah Arun dengan ekspresi yang tampak bahagia. Dasi dalam gigitan Rangga terlepas karena terkejut melihat ekspresi Arun. “Kalian kenapa?” Tanya Arun. “Kau tak kenapa-napa Run?” Arun tak sempat menjawab, melah balirtanya. “Hey, kenapa dengan kalian? Memang ada yang aneh?” Tanyanya. “Kukira kau sedang dimarahai. Ketika aku dan Rangga mengetahui bahwa kau dipanggil pak Haris, sangat khawatir. Tapi ketika kami lihat ekspresi bahagiamu, perasaaanku lega”.
“Tadinya aku juga sempat kaget, Far,. Kukira aku akan dimarahi habis-habisan oleh pak Haris. Aku kan jail, tapi setahuku aku tak pernah berbuat jail sampai membuat orang lain marah dan sedih. Iya kan? Tapi setelah aku berhadapan dengan Pak Haris, ekspresi pak haris tak begitu menakutkan, justru beliau tersenyum dan berkata kepadaku bahwa beliau mempercayaiku untuk mengikuti seminar kimia di Bali. Yang menghadiri seminar dari Banten hanya tiga orang Ga, Far! SMA kita salah satunya dan aku perwakilannya. Selain itu di sana kita akan bertemu teman-teman bukan hanya dari Indonesia tetapi dari beberapa Negara Eropa-Asia. O, iya kamu Far, bagaimana olimpiade fisikanya, di mana, dan tanggal berapa?” Tanyanya penuh gembira.
“Aku akan mengikuti olimpiade itu di Yogyakarta Run, tanggal 15 November. Mm... do’akan saja ya kawan”. Jelasku memeluk keduanya. “Bagaimana denganku?” Ungkap Rangga. Kalian bisa menjadi kepercayaan sekolah untuk mengikuti kegiatan membanggakan itu, sedangkan aku?” Ungkapnya berbalik belakang dengan kepala menunduk. “Hey Ga, ada apa kau ini, murung, lesu seperti ini, jangan begitu lah. Ini aku punya sesuatu”. Hibur Arun menunjukan secarik kertas semacam tiket, yang berisikan pergelaran seni rupa di daerah Bandung. “Aruun, benarkah?” Tanyanya.“Yaps Rangga, boys tahukah, kalo kita ini sohib yang sejati?”. Tanyanya. “Bagaimana kau tahu Run?”Tanyaku penasaran.“Rangga, coba kau lihat tanggal berapa pergelaran itu?” Tanyanya. “15 November Run”. “Dan kau Far, tanggal berapa kau mengikuti olimpiade fisika?” Tanyanya. “15 November”. “Bagaimana??”
Tak pernah kuduga, semuanya terjadi. Memang sangat mengejutkan, kita tak pernah mengetahui di balik ini semua? Aku bertanya pada diriku sendiri, tapi apa pun itu inilah sayap kita yang akan terbang menuju penjuru dunia untuk membuktikan Indonesia Berjaya Banten berada.
“Far mana buku itu?” Belum sempat kujawab bel masuk berbunyi kriiiiing. “Gimana pulang sekolah kita langsung ke perpustakaan kota saja, kita temui pak Tutung, kita bertanya apa maksud dari dari pemberiannya untuk kita. Bagaimana?” Tanya Arun. “Oke, tapi aku ada pertemuan sama Pak Farid. Kalian tidak keberatan untuk menunggu kan?” Tanyaku. ”Tentu tidak dong Far! Jangankan menunggumu satu dua jam, tiga puluh tahun pun kami siap dan kami akan menjadi sayap-sayap garudamu. Bernar kan Rangga?”. Senyum manis Arun begitu memotivasiku. “Tentu saja Run”. Angin berhembus begitu lembut menghantarku menuju kelas. Jam, menit, detik berlalu begitu cepat.
Bel tua itu berbunyi begitu nyaring, menunjukan jam pulang. Para siswa berhambur meninggalkan kelas dengan suasana bercampur debu. Sepeda-sepeda begitu menghiasi kepulangan para siswa dari sekolah. Arun menungguku di depan kelas, dia memanggil-manggil ku dan Rangga dengan nada berbisik.“Far, Rangga”. Bisiknya di balik pintu. Namun aku tak mendengarnya, aku begitu sibuk membereskan buku dan kertas-kertas persiapan lomba fisika nanti. “Affar, ada Arun”. Bisik Rangga.“Bilang, tunggu sebentar!” “Sebentar Run”. Ujar rangga. “Hey Arun”. Sapa salah satu teman sekelasku. “Hey… Sedang menunggu Affar dan Rangga rupanya”. Ujarnya.“Tentu saja”.
Kami segera menuju ke kantor untuk menemui Pak Farid, sambil bercanda kecil. Semangat nasionalisme kami semakin memuncak, ketika kudengar berita tentang Banten dari Arun yang membuatku semakin yakin bahwa aku bisa membawa Banten ke dunia Internasional. Walaupun aku dikenal orang yang tak banyak bicara atau pendiam, tapi semangatku melebihi api yang berkobar, ketika orang lain sibuk membicarakan tentang kekayaan negeri ini. C anda tawa Arun dan Rangga menghiasi kehidupanku, dan membuat aku semakin yakin bahwa aku, Arun dan Rangga bisa memberikan citra positif, dan membuktikan kebanggaan Banten di Indonesia
“Affar, kemari nak!”. Sapa Pak Farid. “Sebentar ya, Arun, Rangga”. “Iya pak”. Pak Farid terlihat begitu pucat hari ini, firasatku bahwa Pak Farid membatalkan pertemuan pembimbingan hari ini. “Affar, maafkan bapak ya nak. Hari ini bapak tidak enak badan. Jadi kita batalkan saja pertemuannya ya. Insya Allah, besok bisa untuk membimbingmu”. Dugaanku ternyata benar. Pak Farid tidak bisa membimbingku hari ini, karena beliau sedang tidak enak badan. Pantas saja kuperhatikan selama pelajaran berlangsung wajahnya pucat. Apa pun itu, aku harus bisa belajar mandiri untuk hari ini. Aku telah memantapkan hati untuk bisa mencapai Nasional bahkan Internasional. “Tapi kau harus tetap belajar untuk hari ini, karena lomba sudah di depan mata. Bapak percaya kau pasti bisa”. Jelas Pak Farid memegang pundakku. “Oh iya Pak, tentu saja”.
*************************
“Kreeek”… Aku membuka pintu dengan pelan, seperti biasa Pak Tutung membereskan buku-buku di rak. “Eh, kalian.Mari duduk sini. Apakah buku yang bapak berikan kemarin sudah kalian baca?” Tanyanya. “Maaf Pak, kami belum sempat membaca”. Ujarku. “Tak apa, bapak paham tentang kalian. Bapak pernah muda toh”. Kali ini ekspresinya berbeda, tak biasanya Pak Tutung. Pak Tutung mempersilahkan kami duduk dan menunjukan sebuah album. “Apa ini Pak?” Tanyaku. “Ini adalah sebuah album kejuaran olimpiade anak-anak Indonesia pada masa Bapak dari berbagai daerah. Ketika itu teman bapak dari Jawa bernama Suryo mendapatkan emas di Kanada dalam bidang Astronomi. Bapak tak mampu mengikuti kejuaraan itu, seperti halnya teman Bapak, karena ketika itu bapak sedang sakit”. Pak Tutung menjelaskan . “Jadi bapak pernah mengikuti olimpiade sebelumnya?” Tanya Arun. “Ya, bapak pernah mengikutinya sampai tingkat provinsi saja, karena bapak ditimpa musibah. Bapak terkena sakit tifus kala itu, yang mengharuskan bapak beristirahat”.
“Maka dari itu Bapak menitipkan ini pada kalian semua, karena bapak percaya bahwa kalian adalah sayap-sayap Garuda, yang akan membawa Indonesia menuju Luar Angkasa. Buktikan, bahwa putra Banten bisa!” pesan pak Tutung “Baiklah, sekarang kita harus buktikan”. Aku bangkit bangkit dari kursi, sampai membuat Arun dan Rangga yang tampak bingung ketika melihatku begitu antusias. “Iya, kita buktikan kita bisa”. Ujar Arun. “Iyaa pasti bisa!” Lanjut Rangga. “Baiklah, sekarang waktu sudah menunjukan pukul lima sore, kalian segera pulang untuk beristirahat”. Saran pak Tutung.
*
Kriiing! Bel tanda masuk kelas berbvuny. Kali ini aku dan Arun sedang tidak masuk kelas karena ada bimbingan di perpustakaan sekolah untuk mengikuti kejuaraan olimpiade tingkat provinsi esok hari.
“Jadi, tiga buah gaya masing-masing F1=5N, F2=3N, dan F3=4N. Dari masing-masing gaya tersebut lukiskan keadaan vektor-vektor dan uraikan menjadi komponen-komponennya. Serta tentukan besar dan arah resultanya.” Belum genap lima menit pembacaan soal, aku sudah menyelesaikannya. “Sudah selesai Pak”. Menyerahkan secarik kertas yang penuh rumus itu kepada Pak Farid. “Kau hebat Affar, jawabanmu benar semua. Dan kau menyelesaikannya hanya dalam empat menit tiga puluh delapan detik”. Sanjung Pak Farid.
Arun berada dibelakangku saat aku dalam pembimbingan Pak Farid. Pak Haris begitu dekat dengan Arun kala itu, tak tampak seram seperti yang dikatakan banyak siswa SMA Harapan Bangsa. Semangatnya begitu terlihat ketika ia memperhatikan dengan detail petunjuk dari Pak Haris. Sementara aku memperhatikan ketika Pak Farid memberi waktu untuk beristirahat. “Affar, sekarang baca halaman duapuluh tiga, tentang keseimbangan benda tegar. Nanti akan bapak berikan sepuluh soal untuk kaukerjakan”. Ujar Pak Farid menunjukan buku Fisika yang jumlah halamannya sebesar 345 halaman. “Baik Pak”.
*********************
Hari yang ditunggu pun tiba, aku akan berangkat menuju Yogyakarta. Sementara Arun akan berangkat esok hari. Dan pergelaran seni rupa pun esok hari akan diadakan. Dan yang membuatku bahagia, Rangga mendapat izin baik dari orang tua maupun guru, dan keduanya bisa berangkat di hari yang sama. Aku akan menginap di Yogyakarta selama satu minggu didampingi oleh Pak Farid dan beberapa guru mata pelajaran Fisika.
Keberangkatanku menuju Yogyakarta didukung oleh semua guru dan kedua orang tuaku. “Emak, Abah, Affar berangkat!. Affar jaluk do’a maring Emak lan Abah!” Pintaku. “Nggeh Far, Emak lan Abah pasti ngado’akaken”. Jelas ibu menciumku dengan air mata bahagia. “Affar, inget wong gagah sing apik, sing rajin ning Yogyane yah, konsisten lan optimis. Sholat aje tinggal ya ding”. Saran ayah, ketika ku memeluknya erat.
“Affar, sang sayap Garuda, semoga sukses dan membawa piala nasional itu kepangkuan Banten. Tunjukan bahwa kita memang bagian dari sayapnya”. Menepuk pundak dengan amanah yang terpercaya. “Affar, bukunya, dan lihat itu ada Pak Tutung. Di dalamnya ada secarik kertas untukmu”. Rangga memberikan buku bersampul Garuda itu kepadaku. Aku melambaikan tangan kepada Pak Tutung yang telah memberikan semangat dan inspirasiku. Senyumanku penuh makna untuk ku\berikan kepadanya. Beliau pun membalas senyuman penuh makna itu. “Affar, mari nak”. Ajak Pak Farid. “Affar, semoga sukses”. Kata itu terucap kembali dari mulut Arun. Sementara aku hanya membalasnya dengan senyum dan lambaian tangan, yang penuh harapan.
Gas mobil mulai tertancap, aku akan merindukan tempat ini selama beberapa hari nanti. “Kau menyanginya?”. Tanya Pak Farid. Aku hanya mengangguk. “Kini saatnya kau buktikan kepada mereka”. “Tentu Pak”. Ku buka lembar demi lembar dan kubaca buku yang Pak Tutung berikan kepadaku. Kubaca tulisan di secarik kertas itu. “Dari mana kau mendapatkan buku itu?” “Aku mendapatkannya dari seorang penjaga perpustakaan kota, Pak”. Jelasku. “Rupanya kau sering mendatangi perpustakaan bersejarah itu. Baguslahn jika seperti itu”.
************************
“Baiklah, ini adalah tempat beristirahat kalian adik-adiku. Kami telah menyediakan kebutuhan kalian selama seminggu. Karena kalian akan menjalani seleksi untuk merebut piala nasional.
Tiga hari masa pembimbingan berlalu, hari ini aku akan mengikuti tes olimpiade ini dengan keseriusan. Pak Farid dan beberapa guru Fisika menyemangatiku dari kejauhan. Tanda waktu menunjukan lima menit terakhir, dan aku telah selesi mengerjakan soal-soal itu, kini hanya tinggal menunggu pengumuman. “Far, ini minum air putih agar merasa tenang”. Menyerahkannya kepadaku. “Terimakasih Pak”.
“Oke, adik-adikku. Para sayap bangsa, sekarang saatnya kami umumkan siapa saja yang akan menuju olimpiade Fisika di Kanada bulan depan. Berikut adalah daftar nama yang akan mewakilkan yang pertama Raymond dari Medan, ...”. Belum seslesai panitia membacakan pengumumannya, jantungku berdenyut kencang, muka pucat dan tak menentu. “Affar, tenanglah kau berada di sini saja, telah membuat kami bangga. Berdoa’alah Affar”. Aku hanya mengangguk. Baru kuingat, aku menyimpan buku dari pak Tutung. Segera ku ambil dan kubaca sambil menunggu pengumuman selesai. “Muhammad Nattan dari Jakarta, Ariana dari Makassar dan terakhir A ... Affar dari Banten. Selamat kepada para siswa dan siswi perwakilan dari Indonesia”.
Aku terkejut mendengarnya, tak kusangka ini benar terjadi. Langsung wajahku, kusungkurkan untuk bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Lalu kupandangi buku dari pak Tutung. Tiba-tiba selembar kertas terjatuh dari lembaran yang belum sempat kubaca yang bertuliskan Selamat Berjuang Nak, perpustakaan ini menunggu kemenanganmu.
“Arun aku menjadi perwakilan Indonesia ke Kanada bulan depan, jadi aku tak bisa pulang sampai bulan depan. Tolong kabarkan kepada Emak, Abah, Rangga dan pak Tutung” Belum selesai bicara, Arun memotong bicaraku. Dari suara telepon ia tampak terkejut. “Affar, kau memang sohibku yang paling hebat. Kau hebat, hebat, hebat Far. Aku ingin menampar pipiku sendiri. Banten bisa Far, kini tak kan ada lagi orang-orang yang meremehkan tanah kelahiran kita Far”. Begitu bahagia ucapanya. “Tak usah seperti itu Run, cukup berterima kasih kepada Allah swt Run”.
“Baiklah, Far aku mendapatkan penghargaan tentang Kimia dari seorang professor asal California University Far, ternyata yang hadir di seminar itu tidak hanya dari Eropa saja, tetapi dari Amerikan pun hadir”. “Wah bagus itu”. Kami pun larut dalam pembicaraan via telepon. Pengalaman kebanggan ini tak pernah kulupakan. Bendera merah putih akan kukibarkan.
Aku tak menyangka, mimpikah ini? Garuda, ini perjuanganku, yang kusempatkan hanya untukmu. Jendela dunia, aku membukannya, cahaya, dari sejuta buku di tempat yang harum bagi generasi bangsa yang penuh cinta dan cita. Aku, bagian dari sayap Garuda. Balik gagahnya Sang Pusaka Bangsa itu. Banten, kubawa kau menuju indahnya dunia. Dengan raga, jiwa dan hati yang tak terdusta.
*************************
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !