Lidah Memang Bisa Bohong
Karya: Aosin Suwadi
Biasanya setiap pulang dari sekolah, aku langsung ke rumah. Tetapi hari ini aku sempat mampir dulu di sebuah warung yang menjual minuman segar. Sepertinya hari ini suhu udara lebih tinggi dibandingkan dengan hari-hari kemarin. Dan hari ini aku pulang lebih awal dari biasanya, karena malam ini aku mau menyiapkan bahan-bahan untuk kepentingan acara haul almarhum suamiku. Untunglah kepala sekolah tidak keberatan untuk mengizinkan aku pulang lebih awal. Kini genap setahun aku menjadi single parent. Suamiku cukup ternama dalam organisasi PGRI. Tugas pokok suamiku adalah sebagai Kepala SD. Akan tetapi dia juga memiliki usaha dalam bidang yang lain, yaitu perusahaan percetakan, dan perikanan ikan lele. Bahkan masih ada kegiatan lain yaitu sebagai pemain organ tunggal. Dan aku sangat hobi menyanyikan lagu dangdut yang akhir-akhir ini sedang membumi di Indonesia, bahkan telah mampu menerobos ke mancanegara. Pokoknya suamiku tak ada duanya.
Kelebihan lain dari suamiku, adalah sangat menyayangiku sebagai istrinya. Hal inilah yang membuatku tidak sempat berpikir untuk mengakhiri statusku sebagai single parent. Beberpa teman dekatku menyarankan agar aku segera menikah lagi. Tetapi saran mereka selalu kujawab dengan guyon, tidak pernah serius. “Sampai kapan pun aku tuh gak bisa melupakan suamiku.” Jawabku kepada Martin yang sepertinya dia sangat tulus memberi saran kepadaku. “Iya sih memang sulit untuk melupakan suami yang telah mendampingi kita dalam segala suka dan duka.” Komentar Martin cukup mengerti perasaanku. “Naaah itu tahu” Jawabku singkat. “Tapi silakan pikirkan matang-matang, banyak hal lain yang harus dipertimbangkan.” Martin tidak mengubah sarannya. Lama sekali kami berbincang-bincang, hingga akhirnya komunikasi kami terputus karena habis baterai. Dan ketika aku melirik ke atas tembok. ternyata waktu telah menunjukan jam 01.15.
“Ada apa yang, kangen yah?” Aku menjawab telpon dari Muhidin. “Gi apa Nong?” Muhidin selalu menyebutku dengan sapaan “Nong” karena dianggapnya merupakan panggilan keakraban. “Biasa kita-kita lagi kangen ama janda kembang.” Aku tertawa terbahak-bahak, sampi tidak sadar bahwa waktu itu tengah malam. Rupanya Martin secara diam-diam ikut gabung dengan menggunakan tele konferen. Tapi entah mengapa, dengan Martin aku merasa bebas untuk curhat. Bahkan sebagian rahasiaku telah kuceritakan kepadanya. Menurut Martin,di sekolahnya, banyak murid perempuan yang suka curha tentang kisah cintanya kepada Martin. Itu artinya memang Martin ini orangnya sangat perhatian pada semua orang. “Terus gimana acara besok?” Muhidin memotong pembicaraanku dengan Martin. “Aku sih gimana yang ngajak aja lah! Mau dibwa ke mana pun OK!” Kujawab pertnyaan Muhidin dengan guyon. “Gimana kalau aku yang ngajak?” Martin menyambung pertanyaan Muhidin. Lama sekali aku bercanda dengan Martin karena Muhidin telah lebih dulu of, karena mungkian istrinya menangkap pembicaraan kami. Maklum istri Muhidin sangat pencemburu.
Hampir satu bulan aku tidak menerima telpon dari Martin. Sepertinya dia sedang sibuk dengan jobnya. Bagaikan telah disknario, tiba-tiba ponselku berdering. Baru juga kutekan tombol, tanpa basa-basi Martin menyapaku. “Lagi apa nih....?” ““Lagi merikirkan dirimu....?” Seperti biasa kucandai Martin dengan kata-kata yang seolah-olah merayu. “Kok rame amat!” Tanyaku. “Aku lagi manggung nih!” Martin menjawab di sela-sela bunyi gamelan. Ternyata dugaannku benar, Martin sedang sibuk manggung. Perlu dikatahui bahwa Martin ini pencinta dan pemain berbagai jenis musik. Tetapi akhir-akhir ini dia sedang eksis dan asyik dengan karya-karya tulisnya yang ditayangkan di google, melalui Kompasiana.com dan Blogspot.com. Wajarlah kalau sebentar-sebentar dia dikabarkan sakit, karena tenaga dan konsentrasinya selalu diforsir.
Malam ini satu minggu setelah Martin “manggung” kucoba untuk menghubunginya lewat ponselku. “Lagi apa say?” Seperti biasa kusapa Martin atau Muhidin dengan panggilan “say.” Semakin sering aku curhat kepada Martin semakin berani aku mengungkapkan rahasia. “Biasa.... lagi di depan layar!” Jawab Martin. “Awas hati-hati, tar skit lagi.” Aku selalu mengingatkan agar Martin menjaga kesehatan. “Ada kabar penting apa nih?” Tanya Martin. “Ga ada apa-apa, cuma kangen dirimu aja!” Jawabku singkat. “Diriku apa dirinya?” Martin menggodaku. “Jujur aja lah! Sepertinya Martin benar-benar ingin tahu bagaimana riwayat persahabatanku dengan Muhidin. Maka sejak saat itu aku dengan bebasnya curhat tentang masa laluku dengan Muhidin.
Dulu waktu kami masih di SMP, Muhidin adalah sabatku yang paling dekat. Seakan tidak ada jarak dan tidak ada rahasia di antara kami berdua. Mungkin orang lain menyangka kami berpacaran. Sebenarnya sih waktu itu telah muncul getaran-getaran frekuensi yang aneh. Tapi aku sendiri tak tahu, apa kami berpacaran atau tidak. Maklum ABG belum begitu mengerti apa itu cinta. Yang jelas hubungan kami memang sangat lengket, mesra, dan harmonis. Atau mungkin itu yang dinamakan teman tapi mesra. “Sebenarnya dari ucapan dan perilakumu, aku telah lama menduga seperti itu. Dan ternyata dugaanku benar kan!” Kata Martin melalui ponselnya. Akhirnya aku ceritakan semua kisah masa laluku denga Muhidin, kepada Martin tanpa tedeng aling-aling. “CLBK...!” Kataku kepada Martin, sambil tertawa lepas tanpa ada beban rasa malu sedikitpun.
Demikian kisah masa laluku dengan Muhidin, yang selalu kuceritakan kepada Martin. Akan tetapi tidak disangka ternyata istri Muhidin selalu mendeteksi hubungan antara aku, Muhidin dan Martin, bahkan juga melibatkan istri Martin ikut terbwa-bawa. Cerita tentang istri Muhidin ini menambah daftar panjang penderitaan hidupku setelah ditinggalkan oleh almarhum suamiku. Ucapan-ucapan istri muhidin benar-benar menoreh luka yang sulit untuk disembuhkan. Bahkan belakangan dia mengikutsertakan putrinya untuk menjadi tenaga inteligen. Bagaimana perih dan pedihnya perjalanan hidupku ini, dapat Anda ikuti di “Lidah Memang Bisa Bohong” seri kedua.
Terima kasih Anda telah mampir dan mengapresiasi tulisan ini.
Koleksi foto dari: http://konjiberayak.blogspot.com/2011/02
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !