Oleh: Aosin Suwadi
Selama setengah bulan aku bekerja sambil menahan demam yang selalu datang tiba-tiba. Terkadang aku hanya mampu mengajar dua jam pelajaran, terus izin pulang karena tidak kuat menahan demam. Akan tetapi walaupun begitu aku selalu berusaha kuat di hadapan para siswa, seakan tidak terjadi apa-apa dengan badan saya. Padahal sebenarnya aku tidak kuat (tapi belaga kuat atau sok kuat). Teman-teman di sekolah sering tidak percaya kalau aku minta izin untuk tidak datang ke sekolah, karena alasan sakit. “Kemarin sore juga dia ga sakit, masa tiba tiba sakit” Sering terdengar kalimat seperti ini dari petugas piket sekolah. Bahkan ada yang lehih dari itu “Tadi pagi juga saya melihat dia lewat di depan sekolah, masa sekarang dia alasan sakit.” Dan banyak lagi kejadian-kejadian lain yang serupa.
Semula aku tidak bermaksud untuk berobat ke rumah sakit, karena demam panas yang saya rasakan ini sebelumnya telah berkali-kali dirawat di RSUD Serang, tapi penyakit tidak pernah ditemukan, apa lagi disembuhan. Setiap aku dirawat (terkadang satu minggu, terkadang sepuluh hari) jika panas badan saya telah turun, maka saya dinyatakan telah sembuh dan diperbolehkan pulang. Setelah dirasakan beberapa hari di rumah, tiba-tiba panas demam naik lagi, begitu dan begitu seterusnya. Penyakit ini telah saya rasakan sejak tahun 90-an. Pada tahun 1993 saya menderita sakit demam yang sangat tinggi. Waktu itu saya dirawat di ruang shal (yang sekarang jadi ruang kelas tinggi). Selama satu minggu saya dirawat saya tidak pernah mandapat informasi jenis penyakit apa sebenarnya yang saya derita. Alhasil setelah panas badan saya turun, saya disuruh pulang.
Atas dasar beberapa pertimbangan dan saran beberapa teman, maka saya memaksakan diri untuk dirawat di RSUD Serang. Hari Jumat tanggal 11 April 2014 jam 20.00 aku masuk ruang UGD RSUD Serang. Kira-kira jam 24 aku masuk ruang rawat inap MELATI II. Sampai hari keempat, hasil diagnosa belum juga bisa menyimpulkan penyakit apa yang saya derita. Setelah melalui empat kali pemeriksaan darah, satu kali pemeriksaan jantung, satu kali pemeriksaan air seni, dan satu kali rontgen, pada hari keempat itu dr. Chrisni Utami dengan bijak menyimpulkan bahwa hasil diagnosa teryata negatif typus.
Setelah itu diagnosa dilanjutkan bersama dengan dr. Erfin. Untu k melenggapi analisanya, dr. Erfin meminta periksa darah lagi. Pada hari kelima saya diminta juga untuk periksa dahak. Dahak yang kuserahkan katanya kurang memenuhi syarat. Harusnya saya menyerahkan dahak yang kental dan bewarna hijau. Karena sulitnya memperoleh dahak kental yang berwarna hijau, maka terpaksa saya menyerahkan dahak encer berwarna bening. Pada hari ketujuh diputuskan bahwa saya positif mengidap penyakit paru. Maka pada hari Kamis siang itu saya diizinkan pulang dengan dibekali resep obat penyakit paru untuk percobaan selama tiga hari. Dengan Kartu Anggota ASKES Golongan IV aku pulang tanpa biaya.
Hari Jumat pagi aku mulai minum obat paru disertai obat mual, karena menurut dr. katanya saya mual, padahal selama ini saya tidak perah merasa mual. Pada jam 14.30 siang itu, aku merasakan sesuatu yang aneh yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Badan menggigil, nafasku sesak bagai tersumbat. Mirip dengan tetanggaku yang mengidap penyakit asma. Maka kurang lebih jam 16,00 aku berangkat lagi ke rumah sakit. Setelah istriku menyerahkan uang Rp 300.000 (entah persyaratan apa?) saya masuk UGD dan saya sampaikan keluhan saya. Anehnya dokter jaga di UGD tidak percaya sedikit pun kalau aku sesak nafas. Sampai-sampai dokter itu mengatakan: “Kalau bapak memaksa mau dirawat lagi, silakan tanda tangan semua anggota keluarga, dan kami tidak tanggung jawab! Semua biayanya ditanggung dengan pengobatan secara umum!” Kalimat ini sungguh sulit untuk kuterjemahkan apa maksudnya. Padahal saya datang ke rumah sakit juga bukan memohon untuk dirawat. Saya hanya ingin penanganan agar saya tidak sesak nafas (asma akibat minum obat). Supaya tidak terjadi terus menerus salah paham, maka saya putuskan untuk pulang dengan membawa sakit sesak nafas yang tidak dipercayai oleh dokter.
Sesuai dengan telah dijadwalkan, maka pada hari Senin jam 09.00 saya kontrol ke RSUD Serang, di poli paru. Jam 09 daftar, jam setengah dua baru medapat giliran diperiksa. Sambil diperiksa saya sampaikan keluhan sesak nafas kepada dokter yang merawat saya. Anehnya dokter Erfin sepertinya sama sekali tidak menghiraukan apa yang saya keluhkan. Malah beliau sibuk memikirkan “mual.” Rupanya beliau tetap berpikir bahwa saya ini menderita mual-mual akibat minum obat paru. Saya sampaikan lagi bahwa saya merasakan sesak nafas, bukan mual. Rupanya dokter Erfin sudah terlanjur asyik dengan kata “mual,” jadi walaupun saya tidak mual, tetap saja beliau memberikan resep obat mual.
Kurang lebih jam 14.30 saya keluar dari ruang pemeriksaan, menuju apotik untuk menebus obat. Dua setengah jam kemudian, baru kami keluar dari apotik dengan membawa empat macam obat paru, dan tidak lupa obat mual. Obat mual sampai sekaran tidak saya minum lagi.
Demikia pengalaman ini saya tuliskan sambil menahan rasa sesak nafas akibat minum obat paru. Mohon maaf jika banyak kekurangan. Semoga bermanfaat. Terima kasih.
Dokumen https://www.google.com
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !