Wakuncar Angkatan 50-an
Karya: Aosin Suwadi
Syair baru dua tahun lulus dari SR, tapi usianya suadah 21 tahun. Pada zaman itu anak-anak yang mau masuk sekolah tidak dibatasi oleh usia. Ada siswa yang masuk sekolah pada usia 10 tahun, ada yang 11 tahun bahkan ada yang 17 tahun baru masuk SR. Waktu itu banyak siswa perempuan yang baru kelas lima, kelas empat, bahkan kelas tiga sudah dinikahkan oleh orang tuanya. Bahkan sampai pada tahun 80-an kejadian seperti itu masih ada, terutama di daerah-daerah pedalaman dan pegunungan. Aku sendiri pernah kehilangan sorang siswa perempuan yang tidak masuk-masuk ke sekolah. Setelah lebih dari satu bulan, aku mendapat kabar bahwa siswiku itu ternyata telah dinikahkan dengan lelaki dewasa, bahkan dapat dikatakan (orang tua) pilihan orang tuanya.
Lelaki yang menjadi suami Iroh itu adalah seorang Pesuruh golongan I A. Orang tua Iroh sangat bangga mendapatkan menantu Pegawai Negeri. Maklumlah, karena sebelum menikah dengan Iroh, Lelaki setengah tua ini diperebutkan oleh ibu-ibu yang mempunyai anak perempuan. Bahkan ada ibu-ibu yang bermusuhan gara-gara memperebutkan lelaku itu untuk dinikahkan dengan anaknya. Setiap hari orang tua Iroh, terutama ibunya selalu membanggakan menantunya. Bahkan karena bangganya, terkadang tidak malu-malu Mbo Sutinah menceritakan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan anak dan menantunya ketika berkencan di kamar.
Masyarakat di situ pada umumnya buta huruf. Jadi wajarlah jika perilakunya masih agak primitif. Anak-anak mereka pun pada umumnya tidak lulus SR. Hanya beberapa orang saja di antara anak-anak mereka yang lulus SR. Anak-anak kecil yang berusia lima tahunan laki-laki dan perempuan belum memakai celna. Syair adalah salah seorang remaja yang lulus dari Sekolah Rakyat (SR). Pada suatu malam Syair berkencan dengan pacarnya yang masih duduk di kelas empat. Marsonah adalah putri tunggal dari juragan tani di kampung itu. Jurangan tani artinya petani yang kaya. Marsonah merupakan wanita tercantik di kapung itu yang usianya baru 14 tahun.
Sebenarnya etika berpacaran waktu itu tidak boleh bertemu langsung atau berkencan dengan pacar. Jika adal hal yang mau disampaikan kepada pacarnya harus melalui “cukong” atau “pakatik” yaitu orang terdekat kepada pihak laki-laki dan terdekat kepada pihak perempuan yag dijadikan perantara. Kalau berkunjung “nganjang” ke rumah pacar tidak boleh berdialog atau ngobrol dengan pacar. Sang pemuda hanya bisa ngobrol dengan calon mertua, di “teoh” yaitu ruangan terbuka bagian depan rumah. Sedangkan sang pacar hanya diperbolehkan mengintip pembicaraan dari balik bilik bambu di tempat tidurnya.
Karena saking bangganya orang tua Marsonah punya calon menantu lulusan SR, maka pada suatu malam Syair diperbolehkan ngobrol langsung berhadapan dengan Marsonah. Karena jantung Syair dan Marsonah dag dig dug karena perasaan malu yang berlebihan, maka Syair tidak bisa mengeuluarkan kata-kata. Lama sekali mereka duduk berdua dengan jarak dua setengah meteran, dan hanya terdiam tida ada suara yang terdengar. Marsonah tidak sabar ingin mendengar kata-kata rayuan dari Syair, tapi tidak berani menegur. “Nah... Naaaah!” Untunglah pada waktu itu ibunya Marsonah memanggil, karena takut terjadi apa-apa dengan anaknya. “Iya maaaah!” Masonah menjawab panggilan ibunya dengan nada agak gemetar. “Eeeeh dipanggil!” Kali ini Syair berani mengeluarkan kata-kat, tapi baru dua kata.
Setelah mengucapkan dua kata “Eeeeh” dan “dipanggil”, setelah itu Syair kehilangan ide dan inspirasi untuk berbicara dengan Marsonah. Padahal sebelum berangkat dia sudah menghafalkan kata demi kata untuk merayu Marsonah, Tapi setelah berhadapan langsung dengan Marsonah, dia tidak bisa mangap. Untunglah waktu itu ada seekor cecak yang lewat di dinding bambu di atas kepala Marsonah. “Eeeeh...!!!” Keluarlah satu kata dari mulut Syair, tapi hanya mengulangi kata “Eeeeh!” “Ada apa Kang?” Kali ini Marsonah mengeluarkan tiga kata sekaligus. “Ada cecak tuh!” Syair ada kesempatan berbicara, karena dibantu oleh seekor cecak. (Untung ada cecak). Setelah itu tidak pernah keluar kata-kata lagi baik dari mulut Syair mau pun dari mulut Marsonah, sampai akhirnya Syair mengeluarkan tiga kata. “Akang pamit yah!” Syair menyodorkan tangan kepada Marsonah, tapi hanya disambut dari jarak dua meter, dan tangan mereka tidak sampai bersentuhan. “Kang...!” Marsonah memanggil karena terdesak oleh perasaannya.
Keesokan harinya ramailah gosip ibu-ibu yang membahas tentang bubungan Syair dengan Marsonah yang telah melanggar norma dan etika. Karena orang tua Marsinah tidak kuat menahan rasa malu, maka hari itu juga mendatangi orang tua Syair untuk membicarakan pernikahan Marsonah dengan Syair.
Demikian gaya berpacaran tempo dulu, semoga ada nilai positif yang dapat kita ambil dari cerita ini. Kepada para remaja disarankan untuk berhati-hati dan menjaga jarak kalau sedang berkencan. Kalau perlu bawa meteran. Terima kasih Anda telah membaca cerita ini.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !