Headlines News :
Home » » Mengenal Masyarakat Baduy Lebih Dekat

Mengenal Masyarakat Baduy Lebih Dekat

Diposting Oleh aosin suwadi pada Sabtu, 01 Maret 2014 | 18.56

Oleh: Aosin Suwadi
 
A.    Kewilayahan
Secara geografis wilayah Kanekes terletak di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Gunung Kendeng memiliki ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut. Secara topografi wilayahnya berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 450 Struktur tanaynya, di baian utara berjenis tanah vulkanik, di bagian tengah berjenis tanah endapan, dan di bagan selatan berjenis tanah campuran. Suhu di pegunungan tersebut rata-rata 20°C. Orang luar mengenal suku Kanekes dengan sebutan Rawayan, dan yang lebih dikenal lagi dengan sebutan Baduy atau Badui/Badwi. Sebagaian masyarakat ada juga yang menyebutnya dengan sebutan “Cibeo.” Penduduk Baduy berjumlah 5000 sampai 8000 jiwa.


B.     Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh penduduk Baduy adalah bahasa Sunda dialek Banten. Akan tetapi bahasa Sunda yang digunakan oleh penduduk Baduy memiliki ciri khas yang sangat unik, baik dilihat dari sisi kosa kata mau pun intonasinya. Ciri khas tersebut membentuk dialek tersendiri dari bahasa Sunda Banten pada umumnya. Suku Baduy luar, sebagian besar sudah bisa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Berbeda dengan penduduk baduy dalam, mereka tidak mengenal pergaulan dengan penduduk luar. Mereka tidak mengenal baca tulis. Semua ajaran dan pendidikan hanya disampaikan melalui tuturan, secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Mereka hidup mengisolasi diri dari lingkungan luar. Selain itu, mereka juga memiliki ketabuan untuk difoto.
C.     Sejarah Singkat dan Adat Istiadat Baduy
Sebutan “Baduy” berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang mempersamakan mereka dengan kelompok Arab “Badawi” yang memiliki kebiasaan berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya sungai Baduy dan gunung Baduy di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai “urang Kanekes” atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti “Urang Cibeo” (Garna, 1993) .
Menurut kepercayaannya, mereka Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurutnya, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.  Berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, dengan beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai “Tatar Sunda” yang cukup minim keberadaannya.
Sebelum kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran runtuh. di sekitar Bogor (sekarang) abad ke-16 (berpusat Sebelum berdirinya Kesultanan Banten), Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, untuk mngangkut hasil bumi dari wilayah pedalaman. Penguasa wilayah tersebut, Pangeran Pucuk Umum berusaha melestarikan sungai Ciujung. Dia juga menugaskan untuk mempertahankan wilayah Gunung Kendeng. Pasukan yang ditugakan menjaga wilayah Kendeng inilah yang  menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng (Adimihardja, 2000).
Van Tricht, berpendapat bahwa orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala’ (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau ‘Sunda Asli’ atau Sunda Wiwitan (asli, asal, pokok, jati). Karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah “Rakeyan Darmasiksa.”

Ada versi mengatakan bahwa suku baduy, dimulai ketika Kian Santang putra prabu siliwangi pulang dari Arabia setelah berislam di tangan Sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita, dengan ‘wangsit siliwangi’ yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu. Dan di baduy dalamlah prabu siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh ki Saih yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet. dan ki Saih ini kehadirannya di kita adalah atas permintaan para wali kepad Allah agar memenangkan kebenaran.

Kepercayaannya disebut Sunda Wiwitan pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang kemudian dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Keyakinan ini harus “dipikeukeuh” atau dipatuhi“tanpa perubahan apapun”, tidak oleh ada yang mengbah. Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.  (Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung). Keyakinan ini diinterpretasikan secara harafiah di bidang pertanian tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Membangun rumah tidak boleh mengubah tanah, sehingga banyak tiang yang tidak sama panjangnya. Berkata harus jujur, polos, tanpa basa-basi, dalam berdagang tidak melakukan tawar-menawar. Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan karena dianggap paling sakral.
Mereka melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan lumpang penuh air jernih, itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.
  1. Kelompok Tangtu, yaitu yang dikenal sebagai Baduy Dalam (Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Kelompok ini paling ketat mengikuti adat. Ciri khas pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih.
  2. Kelompok Panamping, yaitu yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Ciri khasnya mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Pada tahun 2001 tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh
  3. Kelompok Dangka, yaitu yang tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal (Cihandam). Secara umum kehidupannya sama dengan kelompok Panamping.
Kehidupan sehari-hari dikendalikan oleh jaro, yang terdiri dari: Jaro tangtu, yang bertugas dalam pelaksanaan hukum adat, Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur. Sedangkan  tanggungan, dan jaro pamarentah membawahi semua jaro-jaro.

E.     Interaksi Dengan Masyarakat Luar Baduy
Mayarakat Baduy sangat menyadari sejarah kekalahannya dari kesultanan Banten. Interaksi Dengan Masyarakat Luar Baduy Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.  Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk. Baduy senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Demikaian informasi tentang kehidupan masyarakat Baduy yang dapat penulis sajikan. Untuk memperoleh informasi lebih banyak lagi, Anda dapat mengakses beberapa rujukan di bawah ini. Semoga bermanfaat.
Disadur dari:






 Rumah Adat Masyarakat Baduy






Aktivitas Kehidupan Masyarakat Baduy di Bawah Kepemiminan Jaro




http://sosbud.kompasiana.com/2014/03/01/mengenal-masyarakat-baduy-lebih-dekat-638659.html
 



Share this article :

1 komentar:

  1. Terima kasih Anda telah mampir dan memberi tanggapa terhadao artikel ini, semoga bermanfaat.

    BalasHapus

Content yang Anda baca semoga bermanfaat. Terima kasih atas kunjungannya, silahkan tinggalkan komentar.

Popular Posts

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bahasa dan Sastra - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Aosin Suwadi