Karya: Fitriyani
Kelas XII IPA 2 SMA Neeri 6
Kota Serang 2013/2014
Sudah
lama sekali aku mendambakan menjadi seorang wartawan di sebuah stasiun TV swasta.
Aku berencana untuk melanjutkan studiku
mengambil jurusan bahasa
Indonesia. Bilamana aku tak jadi wartawan, setidaknya aku bisa mendalami ilmu bahasa Indonesia. Aku suka sekali dengan bahasa Indonesia. Selain pelajarannya tidak terlalu
memusingkan otakku, hal yang dipelajari juga sangat menarik. Contohnya saja
membuat cerpen dan puisi, keduanya adalah hobiku yang menurutku tidak semua
orang bisa melakukannya. “Orang yang sering membuat cerpen dan puisi itu
biasanya daya imajinasinya sangat tinggi.”
Ujar guru bahasa Indonesiaku.
Aku
juga senang dengan dunia wartawan, yang kelihatannya
mudah untuk dilakukan tapi membutuhkan kesabaran dan ketelatenan yang tinggi.
Aku sering menghadiri acara-acara workshop seperti, “Aku Sang Jurnalis,” “Mari
Menulis”. “Belajar menulis itu mengasyikkan lho!” Dan yang
terakhir menghadiri seminar yang diadakan di sekolah sekaligus melakukan ujian
praktik bahasa Indonesia.
Banyak sekali ilmu yang aku dapat dari acara-acara tersebut. Sampai akhirnya
aku merasa jenuh jika harus menggeluti ilmu kesastraan saja.
Aku
punya cinta. Tapi entah kenapa, cintaku itu selalu kandas di perempat jalan,
bahkan tak pernah merasakan yang namanya cinta
yang sesungguhnya. Jika dikaitkan denan Jurnalistik, cinta itu seperti narasumber yang setiap wartawan ingin
mewawancarainya. Jika di Jurnalistik atau di ilmu
kewartawanan ada kode Etik, tapi di cinta disebut Kode Cinta. Sebenarnya, aku tak tau
betul tentang cinta, yang aku tahu, cinta itu sulit dipelajari, dan aku muak
dengan segala yang sulit dipelajari. Mungkin cinta bukan bahasa Indonesia yang selalu aku tuangkan dalam cerpen dan puisi. Tapi cinta itu adalah sumber
inspirasiku saat sedang galau memikirkan apa yang harus ditulis di karangan cerpen dan puisiku.
Bicara
soal Kode Etik dan Kode Cinta, menurutku banyak persamaannya. Keduanya sama-sama
harus dipatuhi peraturannya, dan harus memiliki nilai keilmuan yang tinggi.
Kode etik biasanya dlakukan oleh seorang wartawan, tapi kode cinta biasanya
dilakukan oleh semua kalangan manusia di dunia. Contohnya ya... aku. Aku pernah melakukan yang namanya Kode Cinta. Aku
suka dengan pria gagah, baik, berwibawa, dan mempunyai nilai atau kadar cinta
yang tinggi, serta nilai kepekaan yang juga tinggi. Tapi disemua tipe yang aku
sebutkan tadi, tak ada satupun pria yang nyaris seperti yang telah aku
gambarkan. Selalu ada yang kurang dengan tipe yang aku inginkan. Orangnya
ganteng, gagah, baik, tapi sayang dia tidak peka. Oleh karena itu aku gunakan
jurus Kode Cinta, yang sebagaimana di dunia Wartawanan pun ada yang namanya
Kode Etik. Sangat berbeda sekali. Jika kode Etik, melaksanakannya mudah, hanya
mengikuti dan mematuhi pasal-pasal yang telah ditetapkan saja. Tapi Kode Cinta, sangat ribet dan
memusingkan. Perlu keahlian khusus dan kreatif yang tinggi.
Supaya
dia peka dengan perasaanku, dan semoga dia mencari jejakku di media sosial. Aku gunakan Kode Cinta pertamaku, yaitu menulis
alamat email, Twitter, Facebook, Instagram, Line, Pin BB, Whats App, dan lain-lain di helm ku. Aku tahu, setiap berangkat sekolah, pasti dia di
belakangku, sama-sama mengendarai motor. aku harap sih, dia meng-add salah satu yang menempel di helmku. Helm penuh dengan stiker
alamat social media yang gak jelas.
Alhasil, bukannya berhasil, malah dapat usil dari orang-orang yang tak sengaja
meng-add salah satu social media-ku. Kode
Cinta pertama gagal. Aku coba kode cinta kedua yaitu “Intip Statusiasi”. Aku
selalu mengintip Facebook dia, tak ada yang ter-update atau
terbaru dengan status nya, yang ada hanya status yang dia posting selama 2
tahun kebelakang. Tapi anehnya, dia
selalu aktif di facebook,
hanya mungkin tak pernah dipublikasikan dan tidak bisa dibaca kalau bukan oleh
teman yang sudah dikonfirmasinya. Kode Cinta kedua lumayan berhasil, tapi
sayangnya, sekarang sudah ada link yang bisa mengintip siapa saja yang selalu
intip facebook
orang. Sampai akhirnya, dia menulis status “Nah, ketahuan juga kan nih orang
yang suka ngintipin FB Gua. Haha. Gak tau malu!”. Meskipun aku tak tahu entah
untuk siapa status itu, aku rasa cukup sampai di situ Kode Cinta “Intip Statusiasi” gagal.
Begitu
pun Kode Cinta ketiga dan seterusnya, sama saja. Tak ada hasil secuil pun. Dia
sungguh sulit untuk peka. Menginjak Kode Cinta yang ke 11 yaitu “Melakukan
koreksi Semua Tentang Dia” sesuai dengan kode etik pasal 11 yaitu “Wartawan
Indonesia Melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi.”
Ternyata hasil yang beredar tidak begitu mengecewakan, aku menyuruh temanku
yang kebetulan rumahnya berdekatan
dengan rumah dia. Aku meminta bantuannya untuk mengetahui dan mengoreksi seperti
apakah keseharian dia. Tidak begitu buruk, sedikit ada kemajuan, dengan Kode
Cintaku yang ke sebelas.
Sejak
itu, aku putuskan bahwa Kode Cinta buatanku yang termotivasi dengan Kode Etik
pasal 11 itu menjadi awal perkenalanku. Sampai suatu hari, dia memenuhi hak
jawab dan hak koreksi ku. Salah satu social
media-ku dia
ikuti. Aku dan dia sedikit lebih akrab, walaupun dia baru memenuhi Kode Cinta
yang kesebelasku. Tapi aku yakin bisa membuat Kode Cinta yang lebih
banyak lagi, sampai dia peka dengan perasaanku.
Ternyata
sangat rumit sekali menjadi seorang Pecinta “Cinta” daripada pecinta “Wartawan
atau Sastra.” Banyak
hal yang tak jelas dan tak pasti didalam cinta, berbeda dengan sasta yang
menjadikan kita cinta terhadap Nusa dan Bangsa. Lewat tulisan ini, aku jadikan sastra
sebagai wadah penyanggah cintaku pada bangsa. Jangan takut salah dengan bahasa,
karena disitulah kita bisa mengenal begitu banyak ragam tentang bahasa dan sastra.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !