Pria Tong Sampah
Karya : Fitriyani Febriani
Kelas XII
IPA 2 SMA Negeri 6 Kota Serang
Namaku Fina, gadis yang mempunyai kelainan
phobia terhadap
jajanan kantin, karena itu, aku tak pernah terlihat jajan di kantin sekolah.
Teman-temanku sering sekali bertanya, mengapa aku tak pernah jajan di kantin sekolah,
padahal menu yang tersedia di kantin sekolah termasuk menu yang sudah tidak
diragukan lagi kualitas
kehigenisannya, tapi aku selalu menghiraukan pertanyaan mereka, karena aku
merasa aneh dengan phobia ku
sendiri seperti yang sudah dijelaskan oleh dokter Ani, bahwa kelainanku ini
sepertinya jarang ditemukan pada orang lain. itu sebabnya aku selalu aneh dan malu
dengan phobia ku. Selain keanehan
dengan phobia itu, aku juga
mempunyai keanehan yang lain saat
disekolah.
Suatu siang, saat
istirahat tiba, seperti
biasanya, teman-temanku berhamburan dan berlomba-lomba untuk pergi
meninggalkan ruangan kelas. Dan seperti biasanya, aku lebih memilih duduk
diam termenung sambil memainkan i-Pad yang selalu menemaniku kemana aku
pergi. Keanehanku
pada Rafli muncul ketika aku sedang asyik memainkan i-Pad ku, Rafli selalu nongkrong di dekat tong sampah samping
kelas sambil membaca buku agak tebal
didepan matanya. Kejadian nongkrong
dekat tong sampah itu tak hanya terlihat satu atau dua .kali. Tapi setiap
hari. Karena itu, keanehanku
bertambah. Sering aku bertanya pada diriku sendiri “Ngapain sih tuh orang tiap istirahat suka
deket-deketin tong sampah? Apa dia
punya kelainan penyakit tong sampah? Atau dia gak punya teman? Sampai-sampai
tong sampah jadi temen dekatnya? Atau jangan-jangan tong sampah itu punya
kekuatan gaib yang membuat orang betah untuk berada disampingnya? “
Pertanyaan itu selalu muncul ketika aku melihat Rafli sedang nongkrong dekat tong sampah. Tapi
percuma saja, pertanyaanku itu tak pernah aku tanyakan pada Rafli, karena
takut, jika aku tanyakan itu pada Rafli, ntar
yang ada, dia malah marah lagi sama aku. Rafli adalah pria tampan, pintar,
lugu, baik, sopan, agak jutek yang selalu datang ke sekolah lebih awal dari
teman yang lainnya.
Selang beberapa
bulan, keanehan yang dialami Rafli semakin menjadi, setiap hari dia selalu
dan bertambah dekat dengan tong sampah samping kelas itu. Dan kepenasaranku
pun semakin menjadi. Rasanya “gregetan
pengen” tanya ke Rafli, kenapa sih dia sebegitu
betahnya dekat-dekat
tong sampah. Sampai akhirnya, aku memberanikan diri untuk menanyakan itu pada
Rafli, walaupun aku tahu resiko yang akan menimpaku. Yaaa tak apalah,
daripada rasa kepenasaran ini semakin menjadi.
Aku mencoba keluar
dari ruangan kelas, dan perlahan menghampiri Rafli yang sedang nongkrong
sendirian dekat tong sampah, langkahku agak kupercepat sedikit, karena 15
menit lagi bel masuk kelas berbunyi, jarak antara aku dan Rafli semakin
dekat, tapi aku berpura-pura memalingkan wajahku pada i-Pad yang tak pernah
lepas dari genggamanku saat istirahat. Akhirnya aku menyapa Rafli, dengan
gugup aku bertanya.
“Ha... haiiii Rafli”.
“Hai…” Jawab Rafli dengan singkat, sambil terus membaca buku agak tebalnya
itu, entah buku apa aku tak tahu. “Boleh aku bertanya?” Tanyaku sambil senyum manis. “Mm, mau bertanya tentang apa?“ Jawab
Rafli dengan lembut. Aku memberanikan diri untuk menanyakan hal itu. “,Aku ingin bertanya tentang
keanehanmu, eeehh mmm maksudku, aku merasa aneh dengan kelakuanmu.” Tanyaku
yang hampir keceplosan mau bilang pria aneh. “Kelakuanku yang mana”. Lagi-lagi Rafli
menjawab pertanyaanku dengan singkat dan tak penuh kebasabasian. “Kenapa sih
kalau setiap istirahat, aku sering melihatmu nongkrong dekat tong sampah itu
(sambil menunjuk tong sampah berwarna merah tua).“ “Kamu
memperhatikanku?” Rafli menuduhku. “Mmm,
bukan begitu… maksudku…”
Pertanyaanku terputus. “Kalau itu pertanyaanmu, aku juga punya satu pertanyaan tentangmu, mengapa setiap
istirahat kamu selalu diam dikelas sendiri, dan tak pernah jajan kekantin?”
Rafli balik bertanya kepadaku. Aku tersentak kaget
tak mengira. Hal yang aku takutkan, kini terlontar jelas dari mulut seorang
pria tong sampah. Tanpa menjawab, aku langsung pergi meninggalkan Rafli yang
masih dekat dengan tong sampah, aku takut kalau pertanyaanku di jawab, Rafli
akan memaksaku untuk menjawab pertanyaannya juga, so dia kan orangnya itungan.
Bel pulang sekolah
berbunyi, tanpa halangan apa pun aku berjalan dan melangkahkan kaki
untuk keluar dari lingkungan sekolah. Seperti biasa, aku selalu duduk dekat
pos satpam, menunggu jemputan datang. Tiba-tiba seorang pria berjalan
mendekatiku dan duduk di sebelahku. Ternyata dia adalah Rafli,
si pria Tong Sampah. Dengan aneh dia berkata: “belum pulang?”. “Belum!” Jawabku singkat seperti jawaban
Rafli waktu istirahat. “Pertanyaan kamu tadi bagus, dan pertanyaanmu itulah
yang aku tunggu.
Selama aku dekat-dekat dengan tong sampah, tak pernah seorang pun bertanya
seperti itu padaku.
Aku selalu menganggap,
mungkin tak ada seorang pun yang peduli denganku.” Jelas Rafli yang
tiba-tiba jadi terbuka seperti itu. “Lantas, kenapa kamu sering banget
dekat-dekat dengan tong sampah itu, apa tong sampah itu mempunyai kekuatan
gaib,? Atau mungkin kekuatan mistis? Terus kamu kok gak merasa bau? Terus
kenapa juga kamu betah? Terus kok, terus kok… (terputus). Maaf!” Pertanyaanku panjang lebar, seolah menjadi
ajang kesempatan pertanyaan di acara tergengsi. “Dulu, sebelum ayahku
meninggal, beliau selalu mengajarkanku arti kebersihan, arti keindahan, dan
arti kenyamanan.
Sekarang itu sudah jaman
modern. Sampai-sampai sampah sekarang ikut termodernisasikan. Ayahku selalu
mengajarkanku tentang bagaimana caranya mengubah barang bekas menjadi barang
yang ramah lingkungan.
Aku tertarik dengan pendapat ayahku, jika kita semakin mencintai produk
berkemasan, kita juga harus lebih mencintai kemasannya. Jika kemasannya di
biarkan begitu saja tanpa dijadikan sebagai hal yang berharga, kemasan itu
bisa menjadikan bencana untuk kita. Karena amanat itulah yang membuat aku
selalu nongkrong di dekat tong sampah. Menurutku berteman dengan tong sampah
lebih baik daripada berteman dengan produk. Yaa walaupun aromanya kurang
sedap, tapi menurutku itu lebih baik.” Jelas
Rafli panjang lebar. “Tapi kan gak dengan nongkrong deket tong sampah
gitu dong, tiap hari lagi! Kamu kan bisa
nongkrong di mana kek,
dimana gitu, atau kalau gak
di toilet mungkin..” Saran Fina. “Eeeh, itu sih beda lagi nongkrongnya. Yaa masih sama
alasannya, karena aku teringat
almarhum ayahku. Sebelum beliau sukses, beliau pernah menjadi tukang sampah
dan pemulung.” Jelas Rafli.
Ternyata, dibalik
keanehan Rafli, ada kenangan tersendiri yang tersimpan. Dan menurutku itu hal
yang wajar. “Oooh, ternyata seperti itu ceritanya. Aku jadi malu
mendengarnya.”
Jawabku sambil menunduk karena malu. “Ya seperti itulah. Terus bagaimana
dengan pertanyaanku tadi?” Rafli bertanya. Aku sangat terkejut, lagi-lagi
pertanyaan menakutkan itu muncul lagi dari mulut Rafli. “Mmmm, akuuu.. akuu ... karena… mmm karena
aku…..” Jawabku sambil
terbata-bata. “Ayolah Fina, ceritakan padaku, aku takkan mentertawaimu” Janji
Rafli. Dengan malu dan bercampur deg-degan aku bercerita pada Rafli “Ok, aku
terkena djentinphobia, semacam
ketakutan gitu sama jajanan dikantin. Kata dokter, kelainanku sangat jarang
diderita oleh gadis sepertiku.
Teman-temanku yang lain sangat senang jajan ini itu, sedangkan aku? Lihat
kantinnya saja sudah takut.
Aku malu sama teman-temanku yang hampir tiap hari bergelut dengan jajanan di
kantin, makan inilah itulah.
Sepertinya mengasyikan. Tapi aku gak bisa, aku takut. Dan aku belum berani untuk kasih tau mereka tentang kelainanku
ini, aku takut jika aku ceritakan ini pada temanku, mereka pasti
mentertawaiku, karena memang penyakit ini sangat jarang ditemukan. Aku mohon padamu
Raf, tolong jangan ceritakan hal ini pada siapapun ya? “. Aku memaksa Rafli
untuk berjanji.
“Oh, begitu!
Jadi, kita berdua punya keanehan yang bertolak belakang ya? Aku suka sampah,
dan kamu takut jajanan… Hehehe” ledek Rafli. “Aaah sudahlah aku malu nih”
Jawabku tersipu.
Tidak aku duga, ternyata aku
dan Rafli mempunyai keanehan tersendiri, itu yang membuatku aneh. “Ternyata
orang aneh itu belum tentu lebih aneh dari kita ya? Eh malah orang yang
menganggap kita aneh itu, adalah orang yang lebih aneh daripada kita. Buktinya pertanyaan
aneh terlontar dari seseorang yang aneh pula. Hhahahahaha”. Ledekku. “Berarti
diantara kita berdua, yang aneh itu aku atau kamu? Fina atau Rafli? “ Ledek
Rafli yang tak mau kalah dengan ledekkan ku. “Menurutku, kita berdua deh yang
paling aneh” Balasku.. “Hahahahahahahaha”. Aku dan Rafli tertawa bersama di samping pos satpam
berukuran 4 x 4 itu.
Keanehanku, terbayar
sudah, kini aku tak aneh lagi kenapa Rafli selalu dekat-dekat dengan tong
sampah. Begitu juga sebaliknya, Rafli tak aneh lagi dengan kebiasaanku kalau
istirahat tak pernah jajan dikantin. Awalnya, aku akan menjulukinya sebagai
“Pria Tong Sampah”.
Tapi, julukan itu aku buang jauh-jauh, sampai akhirnya kita tertawa berdua
seperti orang aneh di tempat yang aneh.
|
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !