Oleh Aosin Suwadi, S. Pd., M. Si.
A. Pendahuluana
Dalam hitungan satu atau dua tahun kita tidak dapat
melihat pergeseran nilai-nilai dan moral
hidup bangsa. Akan tetapi jika diukur
dalam selisih waktu satu atau dua dasa warsa, apalagi dalam hitungan setengah
atau satu abad, dapat kita lihat atau rasakan dengan jelas betapa jauh
perbedaannya. 350 tahun Belanda menjajah dan membelenggu bangsa kita,
mengakibatkan berbagai kesengsaraan dalam berbagai lini kehidupan. Kita tahu
bahwa pendidikan feodalisme pada zaman penjajahan Belanda telah mengajarkan
tata karma dan penghormatan yang berlebihan terhadap bangsa Belanda, sebagai penguasa. Sejalan
dengan definisinya bahwa féodalisme adalah sistem sosial atau politik yang
memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan, atau sistem sosial
yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan
prestasi kerja (KBBI, 2007 : 215).
Akan tetapi harus kita akui bahwa
pendidikan tersebut menyisakan sikap hormat dan patuh dari bawahan kepada
atasan, anak kepada orang tua, istri kepada suami, terlebih lagi siswa kepada
guru. Sikap dan prilaku ini membekas dalam waktu yang cukup lama, bahkan
melekat menjadi karakter bangsa kita.
B. Karakter
Pendidikan
Pada zaman Orde Baru kita melihat ada
perubahan sedikit demi sekikit prilaku
dan karakter kehidupan sosial warisan feodal mulai berkurang. Akan tetapi masih
memperlihatkan sikap hormat yang cukup tinggi. Dalam kurikulum pendidikan pada
zaman Orde Baru, dimasukkan Tap MPR No II Tahun 1978 tentang Eka Prasetia
Pancakarsa, yang berisi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Karakter pendidikan ini sangat dominan terutama dalam kurikulum pendidikan
tahun 1968 dan 1975.
Sejak rezim Orde baru tumbang dan
dibukanya kran reformasi dalam era globalisasi, tentu saja kurikulum harus
fleksibel mengikuti perkembangan zaman. Pendidikan dalam era ini, cenderung
menonjolkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kurikulum ini telah
menyeret bangsa kita dipaksa untuk sejajar dengan bangsa-bangsa lain dunia.
Akibatnya, pendidikan moral, nilai-nilai, dan karakter sebagai akar budaya
bangsa kita, terabaikan.
Fakta nyata dapat kita lihat khususnya
di dunia pendidikan, para siswa secara umum sudah tidak menaruh homat dan tidak
patuh terhadap tata tertib di sekolah. Siswa-siswa tersebut diantaranya tentu
ada yang menjadi guru. Hal ini akan terjadi terus menerus, dan tentunnya akan
terjadi penyusutan nilai moral dan karakter secara terus menerus. Di sisi lain
kita juga melihat fakta-fakta, seperti curanmor penodongan, penipuan hiopnotis,
dan sebagainya. Secara jujur harus kita akui bahwa hal itu merupakan andil
besar dari produk kurikulum pendidikan.
C. Pendidikan
Berkarakter
Krisis nilai dan moral bangsa,
kejahatan-kejahatan yang terjadi di negara kita, menyadarkan bangsa kita bahwa
pendidikan dan pengajaran keduanya memang penting. Pendidikan berkonotasi
kepada prilaku baik tidak baik, sedangkan pengajaran berkonotasi pintar tidak
pintar, atau terampil tidak terampil. Asumsi ini ikut mengilhami lahirnya
pendidikan berkarakter yang disertakan dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan. Selain itu pendidikan berkarakter ini juga sepertinya sejalan
dengan pendidikan P4 yang dijabarkan ke dalam 36 butir perbuatan baik yang
harus dilakukan oleh bangsa Indonesia yang pancasilais.
D. Kesimpulan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah memaksa kita untuk sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Akan tetapi pada kenyataannya telah menggeser nilai-nilai dan moral bangsa kita. Dalam situasi seperti ini Kurikulum pendidikan selalu berusaha mencari jalan keluar, walaupun pada kenyataannya kita belum melihat satu kurikulum pun yang berhasil dengan sempurna sesuai dengan harapan.
Kunjungan baliknya Pak yah
BalasHapushttp://petir-fenomenal.blogspot.com