Headlines News :
Home » » Tidak Mau Anak Selusin

Tidak Mau Anak Selusin

Diposting Oleh aosin suwadi pada Sabtu, 01 Februari 2014 | 10.00

Tidak Mau Anak Selusin
Oleh: Aosin Suwadi
Guru SMA Negeri 6 Kota Serang
Alkisah diceritakan pasangan keluarga Muksin dengan Saripah yang hidupnya serba kekurangan. Mereka  tinggal di rumah pangung yang berbilik bambu beratap alang-alang, di sebuah kampung yang sangat jauh dari keramaian kota. Secara fisik biologis Muksin adalah  seorang lelaki perkasa. Sedangkan Saripah waktu masih gadis, dijuluki bunga desa di kampungnya. Menurut paraji yang biasa menolong persalinannya, kandungan Sariah memiliki kesuburan yang luar biasa. Nanti ibu akan melahirkan tunji. “Apa tunji itu bi?” “Satahun hiji”. Kata paraji kepada Saripah waktu menolong kelahiran ana pertamanya. Rupanya ucapan paraji itu terbukti. Sekarang Saripah baru umur 37 tahun, tapi keluarga mereka telah memiliki anak 11 orang. Jarak kelahiran anaknnya rata-rata hanya satu tahun, bahkan ada beberapa anak yang lahir dengan jarak yang kurang dari satu tahun.

Muksin tidak sempat mengurus dan memperhatikan pendidikan anaknya. Waktu dan konsentrasinya habis hanya untuk mecari makan anak-anaknya (layaknya mencari makan untuk ternak peliharaan). Setiap hari di rumahnya ramai oleh pertengkaran anak-anaknya. Pertengkaran yang sering terjadi yaitu ketika datang waktu makan. Perut yang lapar, membuat nafsu amarah sangat mudah terpancing. Bahkan sudah menjadi kebiasaan mereka bertengkar sambil berebut makanan. Saripah sendiri sering marah-marah kepada suaminya, untuk saja Muksin memiliki watak yang sangat sabar.
Pada suatu malam Saripah memanggil siaminya untuk membicarakan tentang keluhannya.
Muksin            :  “Apa yang mau dibicarakan Pah?”
Saripah            :  “Kang, apa akang ga sadar, anak kita sekarang berapa?
Muksin            :  “Kalau .. ga ....salah ... sepuluh, eh ... sebelas!”
Saripah            :  “Akang mau terus kerja jadi buruh tani?”
Muksin            :  “Terus akang harus bagaimana?”
Saripah            :  “Mikir kang, mikiiiir !!!!” (Melotot sambil menunjuk ke pelipisnya sendiri)
Muksin            :  “Sabar Nyai, hidup mah kudu sabar, biar disayang Tuhan.”
Saripah            :  “Sabar, sabar!!! Lebok tuh sabar!!!” (Sambil membuang muka)
Muksin            :  “ Nyi .... “ (Tidak sempat melanjutkan karena disentak Saripah)
Saripah            :  “Mulai malam ini kita tidur misah! Ipah tidak mau melahirkan anak yang
kedua belas, malu ama tetangga!!” (Dengan suara  keras yang ditahan)
            Rupanya Saripah sudah tidak mau berdamai lagi, dan tidak main-main dengan apa yang diusulkanya. Beberapa kali Muksin memanggil Saripah, tapi tetap bunkam. Selang setengah jam, Muksin kedatangan tamu. “Asalaamu’alaikumm!” Pak Rakiman bediri di depan pintu. “Wa’alaikum salaaam!” Muksin menjawab salam dengan tenang dan fasih seperti tidak pernah terjadi apa-apa. “Ada apa Pak Imong?” Tanya Muksin dengan sopan. “Mohon ma’af Pak Muksin, saya tidak bisa menepati janji saya” Pak Rakiman pernah menyuruh Muksin membajak sawah dengan bajak tradidional (waluku) yang ditarik oleh seekor kerbau selama tiga hari. “Sekali lagi mohon ma’af baru hari ini saya bisa membayarnya.” “Oh, kalau belum ada sih, ga apa-apa Mang Imong”. Muksin memanggil Pak Imong dengan panggian “Mang” karena di wilayah itu dianggap panggilan yang sangat familier.
            Sepulangnya Pak Rakiman, Muksin memanggil Saripah untuk melnjutkn diskusinya. Kali ini Saripah mau diajak berdamai lagi. Sepertinya dia mendengar kata rupiah dari Pak Rakim.
Saripah            :  “Mana uang dari mang Imong tadi!” (Dengan suara yang agak lemah)
Muksin            :  “Iya, iya sabar dulu!!!” (Dengan nada agak keras)
Saripah            :   (Menunduk sambil menari-narik ujung kebayanya, tapi sudut matanya
sekilas melirik ke arah Muksin)
Muksin            :  “Coba pertimbangkan lagi usulan Nyai tadi, Akang ga yakin kalau kita
sanggup misah tidur. Nyai sanggup?”
Saripah            :  “Sanggup!!!! (Dengan nada yang ketus)
Muksin            :  “Kalau gitu, Nyai ga kasihan sama Akan dong.” (Dengan nada merayu)
Saripah            :  “Bodo! Sini uangnya tuh, jangan ngomong aja!!!”
Muksin            :  (Muksin mengambil uang bayaran dari Pak Rakiman yang disimpan di laci
meja) “Nih uangnya!!”
Saripah            :  “Kang, kalau niatnya serius pasti kita bisa tidur misah”
Muksin            :  “Wadduh, Akang mah kayanya ga sanggup Nyai!”
Saripah        :  “Kang, tetangga kita Mang Sarpan yang perokok berat itu, sehari menghabiskan dua bungkus. Kalau tidak punya rokok dia merah marah, kadang-kadang sampai memukul istrinya. Sekarang dia berhenti merokok tuh!” (Berjalan menuju ruang tengah tempat anak-anaknya tidur)
            Sejak saat itu mereka tidur terpisah, Saripah tidur dengan anak keenam sampai yang kesebelas. Sedangkan anak yang lainnya tidur dengan Santi. Santi baru berumur  dua belas tahun, tapi sudah punya adik sepuluh orang. Dia bersikap jauh lebih dewasa dibandingkan dengan umurnya. Jika tidak ada Santi  Saripah tidak akan mampu menyelesaikan semua kewjibannya sebagai ibu rumah tangga. “Ti, cucian udah dijemur belum?” Tanya Saripah kepada anak sulungnya, dengan bahasa yang lembut. Kepada anak yang lainnya Saripah tidak pernah berkata dan bersikap lembut. Sedangkan kepada suaminya sikap Saripah kadang-kadang lembut kadang-kadang kasar, tergantung berapa besar dia menerima penghasilan waktu itu.
            Sudah tiga minggu mereka tidur misah. Pada suatu malam turun hujan disertai dengan hembusan angin membawa udara dingin, membuat suhu menjadi tambah dingin. Muksin tidur memeluk guling dengan selimut yang rapi, hingga seluruh badannya tidak terlihat. Sementara di ruangan lain Saripah tidak bisa tidur. Jarum jam telah menunjukan pukul dua. Saripah terus gelisah sambil sesekali menarik nafas pajang, dan membalikkan badan ke kanan dan ke kiri berulang-ulang. Entah Apa yang ada di fikirannya. Dan entah apa yang akan di lakukannya, Saripah mengendap-ngendap menghampiri kam'ar Muksin. “Kang, kang!” Saripah memanggil Muksin dengan suara setengah berbisik. “Mau apa Pah, kan kita sudah janji mau tidur misah!” Sepertinya Kasim juga belum tidur. Dengan sikap ragu dan malu-malu, serta gengsi yang tinggi Saripah menjawab juga pertanyaan Muksin. “Engga Kang, Ipah juga takut dengan sumpah Ipah.” “Terus Ipah mau apa ke sini? “Muksin tidak jadi menutup pintu, karena Saripah memasukkan tangannya ke sela-sela pintu. “Kang, ... sebenernya Ipah ..... hanya mau ngasih tahu.” “Ngasih tahu apa?” Tanya Muksin Sambil memegang tangan Saripah. ”Ipah mau ngasih tahu .... mang Sarpan .... . “Kenapa mang Sarpan?” Tanya Muksin sambil menguap. “Mang Sarpan udah merokok lagi Kang!!!

Sumber : http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/02/02/tidak-mau-anak-selusin-632191.html
Share this article :

2 komentar:

  1. Hahahahahah.........cerpen 40 tahun ke atas ! Siplah...cuma ini gk ngerti lho :

    “Mohon ma’af Pak Kasim saya tidak bisa menepati janji saya” Pak Rakiman pernah menyuruh Kasim membajak sawah dengan bajak tradidional (waluku) yang ditarik oleh seekor kerbau selama tiga hari.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mohon maaf kpd para pembaca. dialog “Mohon ma’af Pak Kasim saya tidak bisa menepati janji saya” sebenarnya sudah diralat: yang dimaksud bukan pak Kasim, tapi Muksin. Terima kasih atas koreksinya. Ditunggu komentar berikutnya di karya yang lain. Sekali lagi terima kasih!!!!!!

      Hapus

Content yang Anda baca semoga bermanfaat. Terima kasih atas kunjungannya, silahkan tinggalkan komentar.

Popular Posts

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bahasa dan Sastra - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Aosin Suwadi