Headlines News :
Home » » Pria Tong Sampah

Pria Tong Sampah

Diposting Oleh aosin suwadi pada Kamis, 30 Januari 2014 | 01.42



Pria Tong Sampah
Karya  :  Fitriyani Febriani

Kelas XII IPA 2 SMA Negeri 6 Kota Serang
Namaku Fina, gadis yang mempunyai kelainan phobia  terhadap jajanan kantin, karena itu, aku tak pernah terlihat jajan di kantin sekolah. Teman-temanku sering sekali bertanya, mengapa aku tak pernah jajan di kantin sekolah, padahal menu yang tersedia di kantin sekolah termasuk menu yang sudah tidak diragukan lagi kualitas kehigenisannya, tapi aku selalu menghiraukan pertanyaan mereka, karena aku merasa aneh dengan phobia ku sendiri seperti yang sudah dijelaskan oleh dokter Ani, bahwa kelainanku ini sepertinya jarang ditemukan pada orang lain. itu sebabnya aku selalu aneh dan malu dengan phobia ku. Selain keanehan dengan phobia itu, aku juga mempunyai keanehan yang lain saat
disekolah.
Suatu siang, saat istirahat tiba, seperti biasanya, teman-temanku berhamburan dan berlomba-lomba untuk pergi meninggalkan ruangan kelas. Dan seperti biasanya, aku lebih memilih duduk diam termenung sambil memainkan i-Pad yang selalu menemaniku kemana aku pergi. Keanehanku pada Rafli muncul ketika aku sedang asyik memainkan i-Pad ku, Rafli selalu nongkrong di dekat tong sampah samping kelas sambil membaca buku agak tebal  didepan matanya. Kejadian nongkrong dekat tong sampah itu tak hanya terlihat satu atau dua .kali. Tapi setiap hari. Karena itu, keanehanku bertambah. Sering aku bertanya pada diriku sendiri “Ngapain sih tuh orang tiap istirahat suka deket-deketin tong sampah? Apa dia punya kelainan penyakit tong sampah? Atau dia gak punya teman? Sampai-sampai tong sampah jadi temen dekatnya? Atau jangan-jangan tong sampah itu punya kekuatan gaib yang membuat orang betah untuk berada disampingnya? “ Pertanyaan itu selalu muncul ketika aku melihat Rafli sedang nongkrong dekat tong sampah. Tapi percuma saja, pertanyaanku itu tak pernah aku tanyakan pada Rafli, karena takut, jika aku tanyakan itu pada Rafli, ntar yang ada, dia malah marah lagi sama aku. Rafli adalah pria tampan, pintar, lugu, baik, sopan, agak jutek yang selalu datang ke sekolah lebih awal dari teman yang lainnya.
Selang beberapa bulan, keanehan yang dialami Rafli semakin menjadi, setiap hari dia selalu dan bertambah dekat dengan tong sampah samping kelas itu. Dan kepenasaranku pun semakin menjadi. Rasanya gregetan pengen  tanya ke Rafli, kenapa sih dia sebegitu betahnya dekat-dekat tong sampah. Sampai akhirnya, aku memberanikan diri untuk menanyakan itu pada Rafli, walaupun aku tahu resiko yang akan menimpaku. Yaaa tak apalah, daripada rasa kepenasaran ini semakin menjadi.
Aku mencoba keluar dari ruangan kelas, dan perlahan menghampiri Rafli yang sedang nongkrong sendirian dekat tong sampah, langkahku agak kupercepat sedikit, karena 15 menit lagi bel masuk kelas berbunyi, jarak antara aku dan Rafli semakin dekat, tapi aku berpura-pura memalingkan wajahku pada i-Pad yang tak pernah lepas dari genggamanku saat istirahat. Akhirnya aku menyapa Rafli, dengan gugup aku bertanya.
“Ha... haiiii Rafli”. “Hai…” Jawab Rafli dengan singkat, sambil terus membaca buku agak tebalnya itu, entah buku apa aku tak tahu. “Boleh aku bertanya?” Tanyaku sambil senyum manis. “Mm, mau bertanya tentang apa?“  Jawab Rafli dengan lembut. Aku memberanikan diri untuk menanyakan hal itu. “,Aku ingin bertanya tentang keanehanmu, eeehh mmm maksudku, aku merasa aneh dengan kelakuanmu.” Tanyaku yang hampir keceplosan mau bilang pria aneh. “Kelakuanku yang mana”. Lagi-lagi Rafli menjawab pertanyaanku dengan singkat dan tak penuh kebasabasian. “Kenapa sih kalau setiap istirahat, aku sering melihatmu nongkrong dekat tong sampah itu (sambil menunjuk tong sampah berwarna merah tua).“ “Kamu memperhatikanku?” Rafli menuduhku. “Mmm, bukan begitu… maksudku” Pertanyaanku terputus. “Kalau itu pertanyaanmu, aku juga punya satu pertanyaan tentangmu, mengapa setiap istirahat kamu selalu diam dikelas sendiri, dan tak pernah jajan kekantin?” Rafli balik bertanya kepadaku. Aku tersentak kaget tak mengira. Hal yang aku takutkan, kini terlontar jelas dari mulut seorang pria tong sampah. Tanpa menjawab, aku langsung pergi meninggalkan Rafli yang masih dekat dengan tong sampah, aku takut kalau pertanyaanku di jawab, Rafli akan memaksaku untuk menjawab pertanyaannya juga, so dia kan orangnya itungan.
Bel pulang sekolah berbunyi, tanpa halangan apa pun aku berjalan dan melangkahkan kaki untuk keluar dari lingkungan sekolah. Seperti biasa, aku selalu duduk dekat pos satpam, menunggu jemputan datang. Tiba-tiba seorang pria berjalan mendekatiku dan duduk di sebelahku. Ternyata dia adalah Rafli, si pria Tong Sampah. Dengan aneh dia berkata: “belum pulang?”. “Belum!  Jawabku singkat seperti  jawaban Rafli waktu istirahat. “Pertanyaan kamu tadi bagus, dan pertanyaanmu itulah yang aku tunggu. Selama aku dekat-dekat dengan tong sampah, tak pernah seorang pun bertanya seperti itu padaku. Aku selalu menganggap, mungkin tak ada seorang pun yang peduli denganku.” Jelas Rafli yang tiba-tiba jadi terbuka seperti itu. “Lantas, kenapa kamu sering banget dekat-dekat dengan tong sampah itu, apa tong sampah itu mempunyai kekuatan gaib,? Atau mungkin kekuatan mistis? Terus kamu kok gak merasa bau? Terus kenapa juga kamu betah? Terus kok, terus kok… (terputus). Maaf!” Pertanyaanku panjang lebar, seolah menjadi ajang kesempatan pertanyaan di acara tergengsi. “Dulu, sebelum ayahku meninggal, beliau selalu mengajarkanku arti kebersihan, arti keindahan, dan arti kenyamanan. Sekarang itu sudah jaman modern. Sampai-sampai sampah sekarang ikut termodernisasikan. Ayahku selalu mengajarkanku tentang bagaimana caranya mengubah barang bekas menjadi barang yang ramah lingkungan. Aku tertarik dengan pendapat ayahku, jika kita semakin mencintai produk berkemasan, kita juga harus lebih mencintai kemasannya. Jika kemasannya di biarkan begitu saja tanpa dijadikan sebagai hal yang berharga, kemasan itu bisa menjadikan bencana untuk kita. Karena amanat itulah yang membuat aku selalu nongkrong di dekat tong sampah. Menurutku berteman dengan tong sampah lebih baik daripada berteman dengan produk. Yaa walaupun aromanya kurang sedap, tapi menurutku itu lebih baik.” Jelas  Rafli panjang lebar. “Tapi kan gak dengan nongkrong deket tong sampah gitu dong, tiap hari lagi! Kamu kan bisa nongkrong di mana kek, dimana gitu, atau kalau gak di toilet mungkin..” Saran Fina. “Eeeh, itu sih beda lagi nongkrongnya. Yaa masih sama alasannya, karena aku teringat almarhum ayahku. Sebelum beliau sukses, beliau pernah menjadi tukang sampah dan pemulung.” Jelas Rafli.
Ternyata, dibalik keanehan Rafli, ada kenangan tersendiri yang tersimpan. Dan menurutku itu hal yang wajar. “Oooh, ternyata seperti itu ceritanya. Aku jadi malu mendengarnya.” Jawabku sambil menunduk karena malu. “Ya seperti itulah. Terus bagaimana dengan pertanyaanku tadi?” Rafli bertanya. Aku sangat terkejut, lagi-lagi pertanyaan menakutkan itu muncul lagi dari mulut Rafli. “Mmmm, akuuu.. akuu ... karena… mmm karena aku…..” Jawabku sambil terbata-bata. “Ayolah Fina, ceritakan padaku, aku takkan mentertawaimu” Janji Rafli. Dengan malu dan bercampur deg-degan aku bercerita pada Rafli “Ok, aku terkena djentinphobia, semacam ketakutan gitu sama jajanan dikantin. Kata dokter, kelainanku sangat jarang diderita oleh gadis sepertiku. Teman-temanku yang lain sangat senang jajan ini itu, sedangkan aku? Lihat kantinnya saja sudah takut. Aku malu sama teman-temanku yang hampir tiap hari bergelut dengan jajanan di kantin, makan inilah itulah. Sepertinya mengasyikan. Tapi aku gak bisa, aku takut. Dan  aku belum berani  untuk kasih tau mereka tentang kelainanku ini, aku takut jika aku ceritakan ini pada temanku, mereka pasti mentertawaiku, karena memang penyakit ini sangat jarang ditemukan. Aku mohon padamu Raf, tolong jangan ceritakan hal ini pada siapapun ya? “. Aku memaksa Rafli untuk berjanji. “Oh, begitu! Jadi, kita berdua punya keanehan yang bertolak belakang ya? Aku suka sampah, dan kamu takut jajanan… Hehehe” ledek Rafli. “Aaah sudahlah aku malu nih” Jawabku tersipu.
Tidak aku duga, ternyata aku dan Rafli mempunyai keanehan tersendiri, itu yang membuatku aneh. “Ternyata orang aneh itu belum tentu lebih aneh dari kita ya? Eh malah orang yang menganggap kita aneh itu, adalah orang yang lebih aneh daripada kita. Buktinya pertanyaan aneh terlontar dari seseorang yang aneh pula. Hhahahahaha”. Ledekku. “Berarti diantara kita berdua, yang aneh itu aku atau kamu? Fina atau Rafli? “ Ledek Rafli yang tak mau kalah dengan ledekkan ku. “Menurutku, kita berdua deh yang paling aneh” Balasku.. “Hahahahahahahaha”. Aku dan Rafli tertawa bersama di samping pos satpam berukuran 4 x 4 itu.
Keanehanku, terbayar sudah, kini aku tak aneh lagi kenapa Rafli selalu dekat-dekat dengan tong sampah. Begitu juga sebaliknya, Rafli tak aneh lagi dengan kebiasaanku kalau istirahat tak pernah jajan dikantin. Awalnya, aku akan menjulukinya sebagai “Pria Tong Sampah”. Tapi, julukan itu aku buang jauh-jauh, sampai akhirnya kita tertawa berdua seperti orang aneh di tempat yang aneh.
1
                        3
2
 
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Popular Posts

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bahasa dan Sastra - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Aosin Suwadi